KH. Ahmad Asrori al-Ishaqi merupakan putera dari KH. Utsman al-Ishaqi. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdirilah Pondok Pesantren al-Fithrah. Beliau adalah yang mengasuh Pondok Pesantren al-Fithrah, tepatnya di Kelurahan Kedinding Lor Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya.
Latar Belakang Keluarga
Nama al-Ishaqi dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena KH.Utsman masih keturunan Sunan Giri. Semasa hidup, KH. Utsman adalah mursyid Thari qah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, Thariqah Naqsyabandiyah dikenal sebagai thariqah yang penting dan memiliki penyebaran paling luas. Cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan China di belahan timur. Sepeninggal KH. Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung KH. Utsman, KH. Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan KH. Asrori berawal dari sini.
Nasab KH. Asrori
Jika dirunut, KH. Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Saw., baik dari jalur ayah maupun ibu. Dari jalur ayah beliau adalah keturunan Sunan Gunung Jati, sedangkan dari jalur ibu adalah keturunan Maulana Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri. Namun catatan nasab beliau yang sudah beredar luas hanyalah yang dari jalur ibu. Berikut ini silsilahnya:
Ahmad Asrori al-Ishaqi bin Muhammad Utsman bin Surati binti Abdullah bin Mbah Deso bin Mbah Jarangan bin Ki Ageng Mas bin Ki Panembahan Bagus bin Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana bin Panembahan Agung Sido Mergi bin Pangeran Kawis Guo bin Fadhlullah Sido Sunan Prapen bin Ali Sumodiro bin Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri bin Maulana Ishaq bin Ibrahim al-Akbar bin Ali Nurul Alam bin Barakat Zainul Alam bin Jamaluddin al-Akbar al-Husain bin Ahmad Syah Jalalul Amri bin Abdullah Khan bin Abdul Malik bin Alawi bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa an-Naqib ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib suami Fathimah az-Zahra binti Rasulullah Saw.
Keistimeaan KH. Asrori Nampak Sejak Muda
KH. Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya.
Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda KH. Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan. Mondoknya tak teratur, ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, KH. Mustain Romli, ia seperti memaklumi: “Biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.”
Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, KH. Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ ‘Ulumiddin karya Imam al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu laduni.
Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika KH. Utsman pernah berkata: “Seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.”
Barangkali itulah yang mendasari KH. Utsman untuk menunjuk KH. Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Thariqah Qadiriyah wa Nasyabandiyah padahal saat itu usia KH. Asrori masih relatif muda, yaitu sekitar 30 tahun.
Tanda-tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jamaahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, KH. Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.
Meneruskan Estafet Kemursyidan dalam Usia Muda
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut KH. Utsman yang menolak mengakui KH. Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada KH. Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap KH. Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut.
Ia mendirikan pesantren al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning.
Ia juga menggagas al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun. Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. KH. Asrori seolah menyediakan al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya.
Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, KH. Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.
Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
Menuai Sukses dalam Dakwah
Di tangan KH. Asrori inilah jamaah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah sebagai mursyid menggantikan sang ayah, KH. Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid. Secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga luasnya mencapai 2,5 hektar lebih.
Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus. Akan tetapi KH. Asrori mencegahnya: “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi.” Ujar beliau.
Di atas lahan seluas 2,5 hektar itu berdirilah Pondok Pesantren al-Fithrah dengan ratusan santri putera dan puteri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri serta bangunan masjid yang cukup besar.
Keberhasilan KH. Asrori boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, disamping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat kepada KH. Asrori tidak lagi terbatas pada masyarakat awam yang telah berusia lanjut, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jamaahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.
Jamaah beliau tersebar meluas ke berbagai penjuru negeri. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya cabang al-Khidmah yang dipimpinnya seperti di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Hong Kong, Australia, dan banyak negara yang lainnya.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, KH. Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Kewafatan KH. Asrori Al-Ishaqi
KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi wafat pada hari Selasa, 26 Sya’ban 1430 H bertepatan dengan 18 Agustus 2009 pukul 02:20 WIB. Meninggalnya KH. Asrori sungguh mengagetkan banyak orang khususnya jamaah al-Khidmah dan warga Nahdliyin. Kepergiannya untuk menghadap Sang Khalik membuat ribuan jamaahnya merasakan duka mendalam dan meneteskan air mata.
Mendengar kabar kewafatan KH. Ahmad Asrori al-Ishaqi, ribuan pelayat langsung mendatangi ponpes yang tidak jauh dari Jembatan Suramadu. Sejak pagi kawasan itu dipenuhi oleh pelayat. Ini berpengaruh pada akses masuk ke jalan itu. Kemacetan pun terasa di Jalan Kenjeran, Rangkah hingga ke Jalan Kedung Cowek. Polisi lalu lintas Surabaya Timur terlihat sibuk mengatur arus lalu lintas.
Saat dilangsungkan prosesi pemakaman di komplek pondoknya, umat Islam menyemut dan melantunkan kalimah thayyibah. Tak ketinggalan karangan duka cita dari banyak tokoh nasional, Jatim dan Surabaya dikirimkan ke rumah duka. Diantaranya karangan bunga dari Presiden SBY, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Gubernur Jatim Soekarwo, Kapolda Jatim Irjen Pol. Anton Bahrul Alam, Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono, Wakil Wali Kota Surabaya Arief Afandi, dan pejabat lainnya.
KH. Asrori al-Ishaqi dikenal sebagai kiai NU yang istiqamah bergerak di bidang sosial kemasyarakatan terkait peran kiai melalui kanal thariqah. KH. Asrori tak tergerus dalam gerakan kemasyarakatan di ranah politik praktis sebelum maupun pasca reformasi. Jamaah thariqah terus dibina dan digerakkan ke tataran umat dalam konteks memberikan bekal moral spiritual kepada umat Muhammad Saw.
Fatwa dan pandangannya sangat dihormati serta dipatuhi ummat. NU sangat kehilangan sepeninggal beliau. Dunia thariqah terus digeluti dan dijalankan dengan istiqamah. Itu salah satu amalan penting NU dan menjadi pembeda NU dengan ormas Islam lainnya.
KH. Asrori meninggalkan seorang istri, Hj. Sulistyowati, dan 5 anak, yakni Siera Annadia, Sefira Assalafi, Ainul Yaqien, Nurul Yaqien dan Siela Assabarina.
Sebelumnya, sejak 29 Juli sampai 16 Agustus 2009, KH. Asrori sempat menjalani perawatan medis di Graha Amerta RSU dr Soetomo Surabaya dan beliau juga sempat menjalani operasi dan check up di Singapura. KH. Asrori mengidap kanker dan komplikasi penyakit lainnya.
KH. Asori wafat dalam usia 58 tahun. Namun berdasar pengakuan salah seorang kerabat yang biasa mengurus paspor, KH. Asrori memiliki 3 paspor dengan tanggal lahir berbeda. Tapi diperkirakan KH. Asrori lahir pada tanggal 17 Agustus 1951.
Prosesi pemakaman KH. Ahmad Asrori al-Ishaqi diwarnai adu dorong santri dan petakziyah. Mereka berebut agar bisa menyentuh keranda jenazah kiai kharimastik itu. Para panitia prosesi pemakaman kewalahan menahan aksi saling dorong antara santri dan para pelayat. Panitia meminta kepada santri dan petakziyah untuk kembali duduk sambil membacakan dzikir dan tahlil. Usai dishalati, jenazah KH. Ahmad Asrori al-Ishaqi akhirnya dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren al-Fithrah.
Lahu al-Fatihah…
1 komentar:
saya izin copy dan saya publis di blog saya
Posting Komentar