Pondok berusia tua yang didirikan oleh KH. Ali Imron beratus-ratus tahun yang lampau ini memang tergolong cukup antik dan aneh (kontroversial). Bila Anda datang bertamu ke sana mungkin akan merasa kaget atau asing. Seringkali ada tamu atau santri baru yang datang langsung disambut oleh para santri Mojosari, lalu digendong beramai-ramai sambil dibacakan shalawat. Bila santri baru ini berani membalas dengan kata-kata, kontan dimasukkan ke dalam kamar dan diambilkan pentung kemudian penggojlokan dilanjutkan. Tidak main-main apabila masih berani juga bisa dipentung sungguhan sampai tunduk.
Oleh-oleh berupa rokok, jajan atau uang recehan tak segan-segan diminta oleh santri dan dikeroyok dibagi rata beramai-ramai. Banyak tamu menjadi malu, jengkel bahkan marah, sehingga mengadukan hal ini langsung kepada kiai.
Pada zaman Kiai Zainuddin masih memangku pondok, beliau sering memarahi santrinya yang bertingkah kurang etis tersebut, bahkan sampai memukul-mukul dengan tongkat. Akan tetapi tradisi itu tak pernah sembuh, hanya sempat berkurang dan kambuh lagi. Akhirnya kiai pasrah menganggapnya sebagai suatu suratan pembawaan dari Pondok Mojosari. “Biarkah saja mereka nakal, ibarat padi mereka masih muda wajarlah kalau tengadah, nanti jika mereka sudah berisi akan merunduk dengan sendirinya,” begitu ungkapan beliau.
Namun santri Mojosari mengaku bahwa sama sekali tak ada maksud negatif apalagi akan menyakiti kepada para tamu atau santri baru. Gojlokan hanyalah suatu tradisi yang maksudnya untuk melatih kesabaran dan memperkuat mental dalam menerima cobaan. Sebagaimana layaknya perpeloncoan untuk mahasiswa baru di universitas.
Suasana setiap hari di Pondok Mojosari sangat berbeda dengan pondok-pondok salafiyah pada umumnya. Di pondok ini tidak nampak santri-santri tekun belajar, melakukan riyadhah atau tirakat puasa, ngrowot, mutihan dan sebagainya. Banyak santri yang bergerombol bersenda-gurau, ngobrol dengan bebas, yang penting mereka mengaji dengan tertib dan rajin shalat berjamaah.
Namun bukan berarti permasalahan ukhuwah sesama santri diabaikan. Bahkan suasana keakraban dan persamaan nasib nampak sangat menonjol. Tidak ada seorang santripun dapat menyimpan jajan untuk dimakan besok pagi, semuanya mesti dibagi-bagi.
Ada lagi yang lebih antik, pada zaman dahulu belum ada fasilitas kamar mandi dan WC, jadi para santri seluruhnya mandi ke sungai. Sudah lumrah bagi santri Mojosari apabila telanjang bulat dari kamarnya bergerombol menuju sungai, padahal santri-santri pada zaman itu sudah besar-besar, suatu pemandangan yang sungguh mengerikan. Terkadang mereka ke sungai sambil mencari ikan dan tentu saja hasilnya buat dimakan keroyokan. Solidaritas (persaudaraan) sesama santri tidak hanya sampai di situ, sudah menjadi kebiasaan pula apabila mereka merokok terjadilah salome (satu batang ramai-ramai). Dan banyak lagi contoh yang lain.
Keantikan Pondok Mojosari ini ada asal-usulnya. Alkisah, KH. Ali Imron, asal Grobogan Purwodadi Semarang, tatkala masih muda pergi berguru kepada Kiai Salimin di Lasem Jawa Tengah. Suatu malam Kiai Salimin keluar melihat-lihat santrinya yang tengah nyenyak tidur di lokasi pondok. Tiba-tiba beliau melihat pancaran sinar yang keluar dari balik sarung seorang santri. Beliau mendekati santri tersebut dan sarungnya diikatkan.
Lalu esok paginva semua santri ditanya. Ternyata si empunya sinar adalah Ali Imron. Oleh karena itu setelah dirasa cukup ilmu yang diperoleh, Kiai Salimin memilihnya menjadi menantu dan menugaskannya untuk membuka hutan di daerah Nganjuk dan kemudian didirikan pondok pesantren yang tak lain adalah Pondok Mojosari sekarang ini.
Demi pengabdian kepada ilmu dan ta’dzim kepada gurunya, Kiai Ali Imron berangkat menuju lokasi yang diperintahkan. Dijalaninya tirakat luar biasa sampai bertahun-tahun lamanya di tengah hutan belantara yang sangat angker. Menghadapi para penghuni rimba raya yang terdiri dari macan, ular, jin dan hantu bukan perkara yang ringan. Rupanya Kiai Ali Imron sangat dekat dengan Allah Sang pemilik hutan dan jagat raya, sehingga tak satupun makhluk jahat yang sanggup merintanginya dan akhirnya sukseslah beliau mengemban amanat guru sekaligus mertuanya. Tirakatnya benar-benar mengeluarkan daya kekuatan batin yang luar biasa dan doa-doanya sangat makbul.
Di tengah-tengah tirakat yang amat berat itulah beliau mengucapkan rangkaian kalimat nadzar: “Santri santri yang belajar di pondok ini kelak, tak perlu puasa dan tirakat macam-macam, seluruh tirakat aku yang menanggung. Pokoknya mereka mau mengaji dengan tekun di sini, insya Allah diberkahi.” Sebuah nadzar yang makbul dan menjadi kenyataan di kemudian hari.
Mantapnya keyakinan para santri Mojosari akan keampuhan nadzar Kiai Ali Imron lambat laun membawa warna lain di Pondok Mojosari. Para santri benar-benar tidak menjalani tirakat semata-mata mengandalkan tirakatnya sang pendiri pondok. Ciri khas ini terus berkesinambungan dari generasi ke generasi sampai sekarang.
· Siapakah Kiai Zainuddin?
KH. Zainuddin berasal dari Padangan Bojonegoro Jatim. Di masa mudanya ia belajar di Pondok Langitan Babat. Sudah menjadi tradisi yang baik di kalangan para ulama untuk menjodohkan putrinya dengan santri-santri berbobot, begitu pula dengan Kiai Zainuddin. Karena prestasinya yang menonjol beliau lalu dijadikan menantu oleh gurunya. Kemudian diutus untuk meneruskan kepemimpinan Pondok Mojosari.
Beliau tampil pada urutan kelima sebagai pengasuh terhitung dari KH. Ali Imron sang pendiri pondok. Berkat kepribadian dan kepemimpinan Kiai Zainuddin yang agung nama Pondok Mojosari melejit ke segenap penjuru.
Beliau dikenal oleh masyarakat sebagai waliyullah, namun aktivitas sehari-harinya tak beda dengan petani-petani desa yang bersahaja, karamahnya tak pernah dibuat pameran. Bahkan beliau lebih nampak sebagai seorang ulama syari’ah yang kokoh, tugas-tugasnya dijalankan dengan disiplin dan istiqamah. Setelah selesai mengajar di malam hari, sekitar pukul 22.00 beliau istirahat dan bangun jam 02.00 akhir malam, beliau menjalankan tahajjud, tilawah al-Quran dan lain-lain, mendekatkan diri kepada Allah Swt. sampai menjelang Shubuh.
Terkadang selepas ibadah tengah malam, beliau keluar dari rumah mungkin sebagai refreshing dari rasa penat. Lalu beliau berputar-putar di sekitar pekarangan yang dipadati dengan pohon buah buahan. Beliau mengumpulkan sawo, jambu dan sebagainya yang jatuh akibat bosok atau sisa kelelawar. Makanan itu cukup lezat untuk sarapan ternaknya besok pagi.
Tatkala fajar menyingsing beliau berkeliling membangunkan santri di pondok, disebutnya nama masing-masing santri yang dibangunkannya. Begitu banyak nama santri yang mampu beliau hafal. Apabila musim dingin telah tiba, biasanya santri agak sulit bangun pagi. Untuk mengatasinya Kiai Zainuddin tak pernah kehilangan taktik. Beliau keliling membawa wadah air dan selembar serbet. Serbet yang sudah dibasahi itu kemudian ditempelkannya atau diteteskan airnya ke tubuh siapa saja yang belum bangun, tak peduli tamu atau bukan.
Beliau memang memiliki sifat humor sehingga santri-santri menjadi sangat akrab dengannya. Santri yang terkejut merasakan tetesan air sangat dingin itu mulai bergerak bangun, namun lucunya Kiai Zainuddin dengan sigap segera bersembunyi di balik pintu tak beda dengan anak-anak yang bermain kucing-kucingan (petak umpet). Apabila si santri merapikan kembali selimut atau sarungnya karena enggan bangun, dengan sangat sabar beliau mengulangi tetesan-tetesan berikutnya sampai akhirnya si santri bangun dengan sendirinya.
Untuk santri-santri yang masih juga membandel, diteteskannya minyak tanah dari sumbu lampu kaleng bekas yang dipergunakan para santri zaman listrik belum menyebar itu. Si santri pun bisa marah seketika sambil berteriak: “Wo nakal! Mbeling nganggo lengo gas” (Wah nakal sekali! Nakal sampai pakai minyak tanah segala).
Dan si santri hanya bisa tersenyum tersipu malu ketika tahu pelakunya adalah kiai yang mengajak shalat. Begitu juga ketika adzan shalat Dzuhur berkumandang Kiai Zainuddin naik ke masjid lebih awal. Dan dengan penuh kesabaran beliau memanggil-manggil santrinya selama hampir satu jam. “Ayo sholat Co, ayo sembahyang Co,” seru beliau berulang-ulang.
Pengajian yang beliau asuh amat banyak, dari kitab kecil sampai yang besar. Usai pengajian di pagi hari beliau mengganti pakaian dan memegang sapu. Disapunya halaman, kandang sapi, kandang kambing, ayam, bebek dan kuda. Beliau sangat suka memelihara binatang dari sapi sampai kucing, seakan-akan rumahnya mirip kebun binatang. Walaupun ada pembantu yang bertugas merawat dan memberi makan binatang-binatang peliharaannya, beliau sendiri turun tangan membagi-bagi makanan menunjukkan bahwa kiai ini benar-benar seorang penyayang binatang. Kedisiplinannya pada kebersihan sungguh mengagumkan, sehingga kandang-kandang binatang itu tak terkesan kotor sama sekali, apalagi halaman atau kamar-kamar rumahnya.
Adalah budi pekerti yang pantas diteladani disaat-saat kita sebagai umat Muhammad merasa bangga punya agama yang menjunjung kesucian dan kebersihan. Akan tetapi rumah kita lebih kotor dari orang Majusi. Kita gantung kaligrafi bertuliskan sabda Nabi Saw. “النَّظَفَةُ مِنَ اْلاِيْمَانِ”, namun sampah berserakan di bawahnya.
Kiai Zainuddin tidak hanya pandai menganjurkan sunnah Rasul, tetapi beliau praktekkan sendiri dalam kehidupan, sesuai dengan nasihat yang sering disampaikannya kepada para santri:“Co, ojo lali karo ayat
أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ
“Apakah kamu perintah orang lain untuk berbuat baik, padahal kamu melupakan dirimu sendiri?”
Syariat Islam dijalankannya dengan nyata dan konsekuen. Untuk keperluan hidup sehari-hari beliau mengolah tanah pertanian secukupnya. Beliau sendiri sering memegang pacul (cangkul) menanam singkong, jagung atau pisang. Beliau tidak menunjukkan tingkah khariqul ‘adah di hadapan masyarakat.
Akan tetapi sepandai-pandai menyimpan durian, tercium juga baunya. Begitu juga halnya Kiai Zainuddin, banyak ulama arif mengakui kewaliannya. Pada suatu ketika KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri dan Rais Akbar NU) membuat surat edaran untuk meluruskan acara perayaan Maulid Nabi, berhubung Mauludan di Pondok Mojosari dinilai kurang Islami.
Konon para santri Mojosari mengadakan pertunjukan wayang wong, kuda lumping, pencak, ketoprak dan sebagainya untuk memeriahkan perayaan Maulid. Sponsornya adalah santri-santri dari Blitar, Jombang, Ponorogo dan Banyumas. Setelah surat edaran siap dikirim, malam harinya Kiai Hasyim bermimpi bahwa alim ulama seluruh Indonesia shalat berjamaah di sebuah masjid jami’. Dengan jelas beliau melihat yang bertindak selaku imam adalah Kiai Zainuddin Mojosari. Surat edaran tersebut praktis tidak jadi dikirim, sebab pada dasarnya Kiai Hasyim cukup segan terhadap Kiai Zainuddin yang merupakan guru dari KH. Wahab Hasbullah, pendiri NU dan Rois Aam setelah KH. Hasyim Asy’ari. Tentu saja terdapat rasa sungkan di tubuh NU untuk mengatur (menegur) gurunya sendiri.
Ketenaran nama Kiai Zainuddin ternyata membawa dampak lain. Sehubungan dengan kewaliannya itulah, banyak orang datang mohon ijazah doa. Namun beliau tetap mengaku tidak punya doa khusus dan memang seperti itulah yang dapat disaksikan, beliau bukan ahli thariqah. Bila ada orang yang datang minta ijazah doa beliau spontan menjawab: “Enggih, sampun kulo ijazahi” (Iya, sudah saya ijazahkan). Entahlah apakah memang benar sudah atau belum, Wallahu a’lam bishshawab.
(Sumber: Buku biografi KH. Dzazuli Utsman, Kyai Blawong Ploso)