Meski usianya masih muda, tapi semangat dakwahnya luar biasa. Ia berhasil meyakinkan masyarakat akan bahaya kemaksiatan. Dan para preman pun segan, tak berani membuka tempat-tempat maksiat.
Kalau Anda lewat di Jl. Pahlawan Revolusi, Jakarta Timur, mulai dari Klender sampai perempatan Pangkalan Jati menuju Pondok Gede, Bekasi, perhatikanlah sebelah kiri dan kanan jalan dengan cermat. Di sana Anda tidak akan menemukan tempat-tempat perjudian, narkoba, biliar, penjual minuman keras dan tempat-tempat hiburan lain yang akrab dengan maksiat.
Apalagi jika Anda masuk ke dalam perkampungan di dalam. Secara sembunyi-sembunyi, mungkin saja ada orang yang membuka tempat-tempat seperti itu. Tapi, jangan harap mereka berani terang-terangan melakukannya. Mengapa? Sebab, jika hal itu terdengar oleh Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan, dalam tempo singkat ia bersama masyarakat Pondok Bambu dan sekitarnya akan segera menggusurnya. Tak peduli siapa yang membuka tempat maksiat dan yang menjadi backingnya.
a. Muda Berwibawa
Ketokohan Habib Ahyad Banahsan dan kekompakan masyarakat Islam setempat membuat lingkungan tersebut relatif bersih dari maksiat – hal yang cukup sulit dilakukan di tempat-tempat lain di Jakarta.
Kaum Muslimin, khususnya yang bermukim di Pondok Bambu dan sekitarnya, patut bersyukur. Sebab, anak-anak mereka relatif lebih aman dari pengaruh yang dapat merusak masa depan mereka, meskipun hal itu tidak menjamin mereka tidak akan terpengaruh sama sekali. Sebab, bisa saja mereka melakukannya di tempat lain atau secara sembunyi-sembunyi. Tapi, upaya seperti itu setidaknya bisa menjadi pagar yang cukup penting buat melindungi mereka.
Habib Ahyad memang dikenal sangat keras – bahkan ada yang menilainya nekat – dalam memberantas kemaksiatan. Jika membasmi tempat-tempat maksiat, ia tidak seperti jenderal di medan tempur yang mengerahkan pasukan sementara ia hanya menonton di belakang. Tidak. Ia selalu maju memimpin murid-murid dan para pengikutnya dalam memperjuangkan kebenaran menurut keyakinannya. Bahkan, terkadang ia sendiri tampil melakukannya, sementara yang lain cuma mengamati dari jauh.
Sikapnya yang konsisten dan keberaniannya memberantas kemaksiatan didasari keyakinannya yang kuat bahwa Allah Swt. akan membantu dan menolong orang-orang yang berjuang di jalanNya. Keyakinan itu semakin mantap, terutama karena langkahnya tidak hanya didukung oleh para santrinya, melainkan juga berbagai elemen masyarakat di sekitarnya, termasuk para tokohnya.
Meski demikian, tidak berarti ia bersikap semena-mena atau serampangan tanpa pertimbangan dan perhitungan matang. Sebelum bertindak, ia selalu menjalin komunikasi dengan berbagai pihak. Selain itu, ia terlebih dahulu juga memberikan peringatan kepada mereka yang menggelar praktik-praktik kemaksiatan. Jika peringatan itu tidak diindahkan, barulah ia mengambil tindakan. Memang tidak semua orang setuju. Terhadap orang-orang yang tak sepakat, jawaban Habib Ahyad singkat saja: “Anda lebih sayang kepada anak-anak Anda, atau kepada mereka yang membuka tempat-tempat seperti itu?”
Dalam melakukan dakwah dan mendidik masyarakat, ulama ini bukan tak pernah mengalami kendala. “Kadang-kadang kami didatangi bos-bos biliar yang membawa segepok duit,” tuturnya.
Bukan hanya dengan cara halus, cara-cara keras pun sering dihadapinya. “Ini Arab sialan! Nanti kita bawain pistol aja, Bos,” katanya menirukan ucapan seorang preman kepada bosnya.
Itu semua hanya salah satu dari beberapa aktivitasnya. Itu pun terbatas di wilayah yang masuk dalam pengaruhnya. la tak mau mencampuri wilayah orang lain. Paling-paling, ia mengingatkan dan memberi saran kepada para tokoh masyarakat yang bersangkutan. Selebihnya, ia serahkan kepada kebijaksanaan masing-masing. Dan sampai sejauh ini aktivitas utama -insinyur lulusan Institut Pertanian Bogor kelahiran 7 Juli 1969 ini- ialah berdakwah dan mendidik masyarakat.
Menurut warga setempat , mereka merasa terayomi oleh kehadiran habib muda ini. Hal itu tiada lain disebabkan oleh upayanya yang sungguh-sungguh agar perbuatannya senantiasa sejalan dengan ucapannya. “Kalau saya menulis se suatu yang ingin saya sampaikan kepada masyarakat, saya minta murid saya membaca dulu, lalu saya bertanya: “Menurut ente saya ini bagaimana?” Setelah membaca, muridnya bilang: “Ya, seperti yang antum tulis.” Jadi, saya menghindari menulis atau menyampaikan sesuatu yang saya sendiri tidak mampu melaksanakannya. Kalau kita mengajarkan sesuatu yang kita enggak laksanakan, ilmu kita tidak bermanfaat, dan jauh dari hidayah. Kalau kita memberikan ilmu yang biasa kita amalkan, insya Allah murid bisa menerimanya. Tapi kalau ceramah tidak disertai amal saleh, tentu tidak berwibawa”, katanya.
b. Latar Belakang Keluarga
Siapakah tokoh muda yang disegani, yang selalu menjaga keseimbangan dalam berbagai hal ini? Ia, anak sulung dari lima bersaudara, putra-putri pasangan Habib Abdullah bin Umar bin Utsman Banahsan dan Syarifah Husna binti Ahmad bin Utsman Banahsan. Ayahnya, yang masih gagah dan energik dalam usia 60-an, juga dikenal sebagai ulama yang disegani. Ayah dan anak ini memang pasangan serasi, mereka berjalan beriringan dalam membina dan mengayomi masyarakat. Jika Habib Abdullah menjadi sesepuh bagi orang-orang tua, Habib Ahyad menjadi pemimpin anak-anak muda. Pada hari-hari tertentu, sang ayah menggelar pengajian untuk kaum bapak dan di hari lainnya untuk kaum ibu.
Habib Abdullah bin Umar Banahsan adalah orang yang sangat mementingkan pendidikan bagi anak-anaknya. Mereka semua, termasuk putri-putrinya, dibekali pendidikan yang memadai agar dapat menjalani kehidupan dan menghadapi tantangan zaman dengan baik. Semua didorong untuk menguasai ilmu. Uniknya, tidak seperti sebagian habib yang lebih cenderung memasukkan anak-anaknya ke sekolah agama, Habib Abdullah lebih memilih pendidikan umum bagi putra-putrinya, terutama untuk tingkat dasar. Salah seorang adik Habib Ahyad, Sayyid Kamil, setelah menyelesaikan pendidikannya di jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UI menjadi dosen di almamaternya. Kini ia sedang menyelesaikan program doktornya di Jerman. Adik-adik Habib Ahyad yang lain semuanya juga menempuh pendidikannya dengan baik hingga jenjang perguruan tinggi. Mereka adalah Syarifah ‘Abidah, Syarifah Mahmudah, dan Sayyid Syafiq.
Meskipun pendidikan anak-anaknya adalah pendidikan umum, tidak berarti ia tidak peduli akan bekal pendidikan agama bagi mereka. Justru ia benar-benar mengarahkan dan membina mereka secara langsung agar dapat menguasai ilmu agama, minimal untuk kebutuhan pribadi. Khusus bagi anak-anaknya yang diharapkan dapat berperan mendidik masyarakat, dorongan dan arahan yang diberikan lebih besar lagi.
c. Pendidikan dan Para Gurunya
Diantara anak-anak Habib Abdullah Banahsan, Habib Ahyad sejak masih duduk di bangku sekolah menengah memang telah menunjukkan kecenderungan yang kuat sebagai calon penerus kepemimpinan Ma’had Al-‘Abidin, baik dari segi kecerdasan, minat keilmuan, semangat perjuangan, bakat kepemimpinan, maupun aspek-aspek lainnya.
Sejak kecil, disamping menjalani sekolah formalnya, ia juga terus membekali diri dengan ilmu-ilmu agama. Ketika masih duduk di bangku SD, tepatnya di SD PR V Pondok Bambu, Jakarta Timur, ia telah mulai serius mempelajari al-Quran dan kitab-kitab dasar, seperti Kitab Sifat Dua Puluh, Irsyadul Anam, Adabul Insan, dan sebagainya kepada Ustadz H. Sanusi dan H. Musa. Kemudian ia belajar kepada guru-guru lain, termasuk kepada ayahnya sendiri dan kepada pamannya, Habib Fadhil bin Umar Banahsan.
Kepada ayahnya, ia mengaji kitab-kitab dasar yang menjadi standar di lembaga-lembaga pendidikan tradisional, diantaranya kitab Jurumiyah, Mukhtashar Jiddan, Kailani, Kafrawi, Kasyifatus Saja, Kifayatul ‘Awam. Sebelumnya, kepada pamannya ia mempelajari berbagai kitab maulid dan kitab Safinatun Naja disamping terus mempelajari al-Quran. Selain kepada mereka, di waktu kecil ia juga belajar kepada kakeknya, Habib Umar bin Utsman Banahsan dan kepada Syaikhah Salamah binti Soleh (guru perempuan).
Disamping dari ayahnya, kitab-kitab dasar menengah ia pelajari juga dari Ustadz H. Abdullah, antara lain kitab Fathul Qarib, Fathul-Majid, Ibnu Aqil. Setelah itu ia menimba ilmu dari KH. Mundzir Tamam dengan mempelajari Shafwatut Tafasir dan Asybah wa an-Nadzairdan kepada Habib Hamid bin Abdullah al-Kaf dengan membaca Qa’idah al-Asasiyah danTarikh Ibn Hisyam.
Antara tahun 1996 sampai tahun 2000, ia mengaji kitab-kitab kepada KH. Rodhi Soleh, yang pernah menjadi Wakil Rais Am PBNU. Kepada ipar KH. M.A. Sahal Mahfudz ini ia mempelajari kitab-kitab al-Manhalul Lathif, Adabul ‘Alim wal Muta’allim, Lathaiful Isyarah, Lubbul Ushul dan Faraidul Bahiyyah.
Sejak tahun 1996 hingga kini, Habib Ahyad, yang menyelesaikan pendidikan menengahnya di SMPN 51 dan kemudian SMAN 12 Jakarta, belajar kepada KH. Drs. Saifuddin Amsir, yang kini menjadi salah seorang Rais PBNU. Kepadanya ia mempelajari beberapa kitab, diantaranya Qawa’idul Lughah al-‘Arabiyyah dan Ushul al-Fiqh al-Islamiy. Sejak tahun 1983 ia juga menghadiri majelis Habib Syaikh bin Ali al-Jufri, yang memberikan pelajarannya di Masjid al-Abidin.
Disamping itu, ia pun sering mengikuti majelis-majelis KH. Syafi’i Hadzami, seorang ulama terkemuka, panutan kaum Muslimin di Jakarta dan sekitarnya, utamanya pada pengajian-pengajian pasarannya di bulan Ramadan, diantaranya ketika membaca kitab Idhahul Mubhamdan kitab Jauharul Maknun.
Ketika ditanya siapa diantara para gurunya yang paling berpengaruh dan berjasa baginya, ia menjawab: “Semua guru sama berjasa dan berpengaruhnya bagi perkembangan diri saya. Tetapi yang paling banyak membantu saya tentu saja ayah saya.”
d. Besar dalam Nuansa NU
Habib Ahyad dibesarkan dalam dua kultur yang berkaitan erat, habaib dan nahdliyin. Sejak muda ayahnya adalah aktivis Anshor, bahkan sang kakek juga memiliki kedekatan dengan salah satu pendiri NU, KH. A. Wahab Hasbullah, yang juga menjadi Rais Am sepeninggal KH. Hasyim Asy’ari.
Mereka berdua juga menggerakkan kegiatan Ma’had al-‘Abidin, lembaga pendidikan di masjid dengan nama sama di Jalan Kol. Sugiyono, Sawah Barat, Duren Sawit, Jakarta Timur. Kegiatan utamanya pengajian anak-anak dan remaja yang diselenggarakan setiap malam, kecuali malam Jum’at.
e. Pengabdian dalam Pendidikan
Meskipun dilangsungkan di masjid, pelajarannya tidak kalah dibanding pelajaran di madrasah atau pondok-pondok pesantren. Ia berusaha mempertahankan tradisi dan sistem yang telah diwariskan oleh kakeknya, Habib Umar Banahsan. Beliau berasal dari daerah Mesteer Cornelis, yang sekarang lebih dikenal sebagai Jatinegara. Kemudian pada tahun 1935, oleh Ki Demang, beliau diminta pindah ke daerah Sawah Barat untuk mengajar warga setempat. Sawah Barat adalah sebuah wilayah yang masih masuk Kelurahan Pondok Bambu.
Murid-murid di pengajian ini sekarang jumlahnya sekitar 500 orang putra-putri di bawah bimbingan 50 orang guru. Mereka dibagi ke dalam kelas athfal (kanak-kanak) dan kelas lanjutan yang dibagi lagi menjadi lima tingkatan.
Untuk kelas-kelas athfal, para murid dibimbing oleh seorang guru; sedangkan untuk kelas-kelas berikutnya, mereka dibimbing oleh banyak guru, tergantung pelajarannya. Jadi, ada guru yang khusus mengajar fikih, tauhid, nahu, saraf, tarikh, dan sebagainya.
Selain melestarikan pendidikan agama yang memadukan sistem halaqah dengan sistem madrasah, al-Abidin juga menyelenggarakan pendidikan umum untuk jenjang TK dan SD dengan kurikulum Depdiknas, dan sudah berjalan hampir 10 tahun. Mengapa tidak membuka sekolah agama saja? “Kalau ada anak-anak yang mau mendalami agama, silakan datang ke Masjid Abidin. Jika pendidikan umum dan agama disatukan di bawah sebuah lembaga pendidikan, biasanya ada salah satu yang kalah,” kata Habib Ahyad.
Selain itu, menurutnya, sistem halaqah punya kelebihan tersendiri. “Pendidikan halaqah di masjid punya beberapa kelebihan. Kalau diadakan di kelas, kita kan harus membangun ruang kelas dulu. Kedua, murid-murid dengan bebas mengenakan kain sarung dan kopiah, sehingga bisa langsung shalat berjamaah, bisa langsung mengikuti maulid atau berdzikir. Jadi, ilmu dan amal bisa berlangsung sekaligus. Sebab, masjidlah laboratorium yang sebenarnya. Kalau mereka sudah di situ, kan bisa langsung praktik,” katanya lagi.
Sasaran dakwahnya memang generasi muda. Apalagi, katanya, pemikiran orang tua sudah sulit diubah. “Saya baru 15 tahun terjun di masyarakat. Kebanyakan orang tua itu kan agak sulit kita ubah. Tapi, kalau anak-anak muda, setelah beberapa tahun kita ajak mengaji, insya Allah ada perubahan. Lebih mudah lagi kalau kita menggarap anak-anak kecil, yang memang bisa menjadi lahan dakwah. Anak-anak kecil itu, seperti kata orang Betawi, pegimane maunye kite,” tambahnya.
Menurut perhitungannya, untuk mendidik anak muda diperlukan waktu 10 tahun agar mereka punya sebuah kesadaran, merasakan dan menyadari ajaran agama sebagai kewajiban. Sedangkan untuk mendidik anak-anak, perlu waktu sekitar 20 tahun.
Namun, di lain pihak, cara Habib Ahyad yang keras dan berdisiplin dalam mendidik terkadang diprotes oleh sebagian orangtua murid. Tapi, karena orangtua yang mendukungnya lebih banyak, dan yakin bahwa cara yang ditempuhnya benar, ia tetap pada kebijakannya.“Sebenarnya ada sebagian orangtua murid yang pusing melihat kebijakan saya. Tapi, Alhamdulillah, ayah, yang cukup berpengaruh di lingkungan sini, mendukung saya,”ujarnya.
Meskipun keras dalam mendidik, Habib Ahyad – ayah dua putri dari pernikahannya dengan Syarifah, Yuli Atikah Yahya pada 1994 – selalu mencoba mencari cara yang pas agar murid-muridnya tetap dekat dengannya. Salah satunya dengan menyelenggarakan kegiatan yang disukai anak-anak muda tapi tidak bertentangan dengan agama.
“Di Jakarta ini musuh dalam mendidik anak-anak ialah lingkungan dan pergaulan bebas. Untuk benar-benar memutuskan hubungan mereka dari hal-hal negatif itu, tentu cukup berat. Akhirnya, saya melakukan kan beberapa kegiatan yang ngepop. Misalnya, kompetisi sepak bola antar majelis taklim, juga camping setiap akhir tahun. Kalau tahun baru, kami biasanya ke pantai. Setelah salat Maghrib dan Isya, kami ke pantai hingga pukul 02.00 dini hari. Itulah antara lain yang kami coba lakukan agar mereka tidak jenuh,” tuturnya.
f. Ulama yang Tidak Alergi Politik dan Keberagaman
Ulama dan mubaligh muda ini tidak alergi politik. “Politik itu bagian dari perjuangan Islam, sebab Nabi dulu juga menjadi kepala negara. Kalau orang Islam enggak ngerti politik, berarti ada salah satu sisi ilmu Islam yang tidak ia ketahui. Islam kan lengkap, di dalamnya termasuk ilmu politik dan ilmu perang. Selain itu, kaum Muslimin kan sudah memiliki jamaah. Baik NU, Muhammadiyah, maupun partai-partai Islam. Menurut saya, semua partai berbasis Islam itu bagus. Tinggal kita memilih mana yang paling tepat dan paling sesuai dengan jamaah kita,” ujarnya.
Habib Ahyad, dalam bidang ilmu, agama dan dakwah, mengidolakan Prof. Dr. as-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Dr. Yusuf Qaradhawi dan Syaikh Muhammad al-Ghazali. Sedangkan dalam politik dan perjuangan, tokoh favoritnya adalah pemimpin Revolusi Iran, Ayatullah Khomeini. “Saya mengidolakan beliau karena keberaniannya menegakkan kebenaran dan menentang negara adidaya yang dzalim. Meski orang alim saat ini banyak, yang berani berjuang kan enggak banyak.”
Berbeda dengan banyak ulama dan mubaligh muda, Habib Ahyad lebih banyak berdakwah dengan tindakan. Disamping memberi contoh, ia juga dikenal tegas bersikap ketika sesuatu yang menurutnya tidak benar. “Saya cuma tidak ingin jarkoni,” katanya merendah.“Misalnya, masa saya nyuruh teman-teman tidak merokok sementara saya sendiri merokok?”
Bagaimana ia memandang kondisi Indonesia saat ini, khususnya kota Jakarta, yang sudah sarat dengan kemaksiatan? Bagaimana resep menghadapinya? “Menurut saya, setiap orang mendapat beban dari Allah Swt. sesuai kedudukan, kekuatan dan kemampuan masing-masing. Silakan masing-masing berkaca sampai di mana ruang lingkup yang Allah bebankan kepadanya. Lalu, masing-masing bekerja sesuai kemampuannya. Jika itu sudah dilakukan, selesailah tanggung jawabnya. Di lingkungan yang bagus ada tanggung jawab kita, di lingkungan yang jelek pun ada tanggung jawab kita,” katanya.
Tapi, ia tidak setuju jika dikatakan Jakarta sudah benar-benar rusak. Mengapa? Habib Ahyad menyatakan: “Kita wajib bersyukur karena di Jakarta ada ribuan masjid, majelis taklim, dengan sekian ribu habib dan kiai. Memang, panti pijat, diskotek, bar dan tempat-tempat maksiat lain juga banyak. Kalau dihitung, mungkin ada ribuan. Tapi, secara garis besar saya melihat, Jakarta ini bagus. Saya bersyukur dilahirkan di Jakarta. Mau mengaji, banyak gurunya. Mau shalat, di mana saja bisa. Jadi, menurut saya, Jakarta itu kota yang bagus. Tapi, itu juga tergantung bagaimana orang memandangnya.”
Disinggung mengenai pola dakwah yang tepat untuk masyarakat Indonesia, ada yang keras tapi ada juga yang lebih toleran, Habib Ahyad dengan arif mengatakan: “Biar saja semua berjalan, karena dua-duanya perlu. Kadang-kadang umat memerlukan figur yang tegas tanpa kompromi seperti Habib Riziq Syihab, tapi suatu ketika umat juga memerlukan tokoh dengan pendekatan yang lembut dan toleran seperti Habib Alwi Syihab.” Habib Ahyad sendiri mengaku menempuh kedua jalan itu sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi.
sumber : Pustaka Muhibbin