Senin, 24 Februari 2014

HUBUNGAN ANTARA NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN NAHDLATUN WATHAN (NW)


Tampak dalam foto adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika sowan di kediaman Almaghfurlah Maulana Syaikh TGKH. Zainuddin Abdul Majid Pancor NTB. Gus Dur sudah terbiasa sowan dan bersilaturrahim kepada pendiri Nahdlatul Wathan (NW) itu. Di mata Gus Dur, Syaikh Zainuddin adalah sosok maha guru yang sangat disegani. Beliau adalah adik kelas dari kakek Gus Dur sendiri, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Sowan Gus Dur adalah sebagai tanda penyambung pipa sanad ilmu yang bertemu pada sanad yang sama yaitu Syaikh Amin al-Kutbi.

Biografi lengkap TGKH. Zainuddin Abdul Majid bisa Anda baca di: http://www.muslimedianews.com/2013/09/manaqib-tuan-guru-kh-muhammad-zainuddin.html

Berikut ini adalah hasil sebuah wawancara tentang Gus Dur (NU) dengan TGKH. Abdul Aziz Sukarnawadi (Pendiri PWK-NW/Perwakilan Khusus Nahdhatul Wathan), Mesir. Beliau adalah kandidat Master The American Open University, in Cairo. Beliau seorang intlektual muda dan kiyai ternama, penulis buku “Sabda Sufistik”, lahir di Saudi Arabia, dan pernah dianugerahi shalat di dalam Kakbah, karena termasuk pelajar yang berprestasi.

Gus Dur di Mata Tuan Guru KH. Abdul Aziz Sukarnawadi, Pendiri PWK-Nahdlatul Wathan

1. Sosok Gus Dur, Pendekar Bangsa yang Agamis

Gus Dur sebagai anak kandung tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU), KH. Abdul Wahid Hasyim. Dalam tulisan tinta sejarah, Kyai Wahid banyak sekali memberikan ide-ide brilian, diantaranya “menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta”, bersama KH. Bagus Hadi Kusumo dari Muhammadiyah yang berisi kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya.

Di sini jelas, bahwasanya bapak Gus Dur sebagai mantan Menteri Agama di era 40-an, sudah menggulirkan sumbangsih yang sangat bermanfaat bagi bangsa ini, karena Indonesia adalah negara Islam secara substansial namun nasionalis secara formal. Dari keberanian KH. Wahid Hasyim, banyak pihak yang tidak menyukainya. Sehingga tak heran bila beliau meninggal karena diakibatkan kecelakaan, yang diduga akibat ulah musuh-musuh politiknya untuk melenyapkannya.

Dari silsilah kakeknya, Hadhratus Syaikh KH. Hasim Asy’ari, seorang tokoh kharismatik sepanjang sejarah Nahdlatul Ulama yang mampu mengumpulkan kiyai-kiyai untuk menyelamatkan nasionalisme bangsa ini, tanpa meninggalkan tradisi dan ideologi sebagai seorang muslim dan kiyai kharismatik. Tak heran, bila Bung Karno dan Bung Tomo sering meminta petunjuk dari beliau sebelum melangkah mewarnai hitam putih bangsa Indonesia. Peristiwa 10 November yang dijadikan sebagai hari pahlawan, sebenarnya berawal dari tradisi memperingati jasa para pahlawan yang ada dalam NU setiap tahun, atau yang disebut dengan haul.

Apabila ditarik ke belakang, Gus Dur adalah cucu dari Syaikh Abdurrahman Basyaiban alias Sultan Hadiwijaya yang menyelamatkan pertikaian kerajaan Demak dari politisasi agama. Anda jangan heran, tatkala semasa hidupnya, Gus Dur sering mengunjungi makam Sang Joko Tingkir ini, di Pringgoboyo, Lamongan. Seorang datuk yang merupakan seorang ulama sekaligus pahlawan nasional.

Dari beberapa hal yang saya sebutkan di atas, Gus Dur memiliki darah pendekar bangsa, yang diimbangi dengan nuansa keagamaan yang kental. Seperti nama kecilnya, Abdurrahman Addakhil; seorang penakluk, yang mendobrak bangsa ini dari keterbelakangan. Jadi, bila dirunut dari darah birunya, dan kapabilitas intelektualnya, Gus Dur adalah tokoh segala-galanya.

2. Sumbangsih Gus Dur bagi Bangsa

Ibarat sebuah bangunan, Indonesia memerlukan banyak pasak atau sokoguru. Maka, saya memposisikan Gus Dur sebagai salah satu pasak negara ini. Mengapa? Coba Anda perhatikan, ormas Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang identik dengan tradisionalisme, kaum sarungan, dan orang-orang ndeso. Tapi, setelah Gus Dur menjadi pemimpin Nahdlatul Ulama, eksistensi NU tidak hanya memberikan sisi progresif bagi bangsa Indonesia, tapi diakui oleh dunia internasional. Diantaranya, tokoh-tokoh barat banyak yang tertarik untuk mengkaji Nahdlatul Ulama. Dengan kata lain, Nahdlatul Ulama sekarang, tidak hanya dibatasi dengan literatur-literatur lokal tetapi juga turut mewarnai ensiklopedia internasional.

Di sisi lain, kaum non-Muslim banyak yang menganggap Gus Dur adalah sang penyelamat. Karena Gus Dur tidak hanya seorang Muslim yang berjuang untuk orang-orang Islam saja, tapi juga memusnahkan ketertindasan yang dialami orang-orang non-Muslim di Indonesia, seperti orang-orang Cina yang dilarang untuk merayakan hari raya Imlek dan orang-orang Kristen yang selalu dianggap sebagai kaum yang layak untuk diperangi.

Al-Quran menyebutkan: “Walan tardha ‘ankal Yahudu walan Nashara hatta tattabi’a millatahum”, ayat tersebut diaktualisasikan dalam tafsir sang Abdurrahman Wahid sebagai keyakinan terhadap identitas agama masing-masing. Jadi, bukan orang Yahudi dan Nasrani yang membenci Muslim, lantas harus diperangi, tapi seorang Muslim harus berani bersaing sehat dengan Yahudi dan Nasrani untuk mengembangkan ajaran Islam. Kenapa kita harus takut dengan Kristenisasi dan Yahudisasi, sementara kita sendiri berlomba-lomba untuk melakukan Islamisasi. Islam adalah agama universal, keberadaannya untuk mengayomi alam semesta, sebagaimana Rasulullah diutus bukan untuk memerangi orang-orang kafir, tapi untuk menyelamatkan mereka dari penyakit kekufuran.

Kaum minoritas tidak disingkirkan oleh Gus Dur, tapi diberikan hak hidup dan dibebaskan untuk menentukan pilihannya. Saya jadi teringat Jendral Thariq bin Ziyad tatkala menaklukkan Andalusia. Penaklukan-penaklukan (futuhat) yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan Islam tempo dulu, untuk menyelamatkan manusia dari ketertindasan, bukan agar mereka memeluk agama Islam dan menjalankan syariatnya.

Tak heran bila dikenal istilah kafir dzimmi dalam literatur hukum Islam. Rasulullah Saw. bersabda: “Man adza dzimmiyyan faqad adzani.” Artinya, siapa yang memusuhi non-Muslim atau kelompok minoritas yang dilindungi oleh bangsa dan negara, berarti memusuhi Rasulullah Saw.

3. Ide-ide Gus Dur dalam Mencerahkan NW di Mesir dan di Indonesia

Berawal dari titik tolak NW di NTB yang eksklusif, saya ingin menjadikan NW tetap pada khittahnya, namun bersifat inklusif. Sehingga saya dan teman-teman mencoba menggagas kajian al-Abrar yang kemudian menjadi PwK-NW (Perwakilan Khusus Nahdlatul Wathan). Sebab, sebagai negara yang bebas, banyak mahasiswa Indonesia di Mesir yang kadang-kadang tertutup cara berfikirnya dan picik pandangannya. Namun, tak sedikit dari mereka yang kebablasan dan liberal. 

Nah, Gus Dur sebagai tokoh moderat yang pernah belajar di Mesir sudah sepatutnya menjadi figur yang bisa menjadikan NW dalam garis moderat (wasathiyah). Kenapa saya katakan moderat? Karena Gus Dur selalu hadir sebagai penyeimbang, tatkala kebanyakan orang berbondong-bondong menuju arah kanan, Gus Dur mengingatkan arah kiri, dan sebaliknya. Jadi, bagi saya itu bukan sesuatu yang nyleneh, tapi merupakan stabilisasi keadaaan agar tidak timpang dan carut-marut. Selama masih berpegang kepada apa yang kita yakini, kenapa tidak?

NW di Indonesia, sering mengalami krisis gaya berfikir yang modern, dengan menafikan pihak lain. Padahal, TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid sebagai pendiri NW menamakannya dengan kebangkitan bangsa (Nahdlatul Wathan), bukan kebangkitan pribadi atau golongan. Cara berfikir yang sempit, tentu akan mempengaruhi dalam prilaku keseharian dan interaksi sosial.

Apa yang saya alami tatkala memberikan taushiyah atau khutbah di salah satu masjid tentang NW, padahal realitanya pengurus masjid tersebut adalah orang-orang NU, ternyata dianggap tabu. Tentu, saya khawatir tatkala ingin mengambil teladan tokoh NU di kalangan orang-orang NW. Sungguh cara berinteraksi sosial yang perlu dirubah.

Soal suksesi kepemimpinan, sudah selayaknya NW berkembang secara organisasi, sekaliber NU dan Muhammadiyah. Bila kepemimpinan NW disyaratkan harus pewaris secara biologis, berarti sang pemimpin tersebut harus memiliki kapabilitas. Sebagaimana dicontohkan TGH. M. Zainul Majdi sebagai pimpinan NW sekarang dan terpilih menjadi Gubernur NTB. Sebuah organisasi yang sehat, bukanlah sebuah kerajaan yang diwarisi oleh para pangeran, namun “the right man in the right place”.

Sementara meneladani Gus Dur dari sisi ideologi, harus dipandang dengan pikiran terbuka dan wawasan yang luas, sebagaimana beliau sering mnyitir kaidah fikih “Tasharruful imam ‘alarra’iyyah manuthun bil mashlahah”. Artinya, apa yang dilakukan oleh Gus Dur sebagai sang pendobrak, selalu memberikan maslahat atau kebaikan bagi orang lain, walaupun sering tidak difahami oleh kebanyakan orang. Dengan catatan, keterbukaan ideologis yang revolusioner tetap pada khittah organisasi dan tidak menyimpang.

Ironi, ketika pengikut setia Nahdlatul Wathan malah menjadi aktifis PKS atau FPI, bahkan HTI dan lain-lain. Karena, Nahdlatul Wathan sebagai penganut nilai-nilai sufistik, sangat berbeda 180 drajat dengan kelompok-kelompok yang saya sebutkan tadi.

4. Teladan Gus Dur

Gus Dur adalah sosok nasionalis sejati, tidak hanya harta dan benda yang beliau korbankan untuk bangsa dan negara ini, namun beliau sering lupa akan kesehatan dan keselamatan diri sendiri. Pernah terjadi tatkala beliau menjadi presiden, dokter kepresidenan kebingungan, karena beliau kencing darah. Tapi ternyata beliau menanggapi dengan enteng dan santainya: “Saya yang kencing darah, kok kalian yang repot..!!”

Sebuah kepribadian yang patut kita contoh karena sangat perduli terhadap kemaslahatan orang lain, bangsa dan negara, hingga tidak menghiraukan dirinya sendiri.

Gus Dur adalah seorang pengamal tarekat, Kiyai Sonhaji dari Kebumen yang menjadi mursyid tarekatnya, banyak memberikan pencerahan terhadap dimensi spiritualnya. Seperti memaknai hadits “Tabassumuka ‘ala wajhi akhika kashshadaqah”, tidak hanya diartikan secara tekstual, dengan kata lain, senyum adalah sedekah. Akan tetapi, hakikatnya, senyum adalah sebuah wujud solidaritas kepedulian seseorang terhadap orang lain.

Manifestasi nasionalisme Gus Dur adalah cerminan seseorang yang selalu menyempurnakan imannya, karena hubbul wathan minal iman. Di sisi lain, Gus Dur sering dihujat karena keyakinannya untuk membela yang lemah dan teraniaya, seperti membela Ahmadiyah yang secara undang-undang tidak bisa dilarang dan diusir dari bumi Indonesia, walaupun secara ideologi, Gus Dur bukanlah seorang Ahmadiyah. Tuduhan Syiah, sesat, antek Zionis, dan sebagainya sering diterimanya dengan lapang dada. “Gitu aja kok repot” balasan santainya yang masyhur di antara kita.

Privasi antara hamba dengan Tuhannya, bagi Gus Dur tidak dapat diganggu gugat. Bahkan Gus Dur tidak segan-segan untuk melawan arus kelompok yang seolah-olah melakukan perlawanan, padahal tidak. Mencabut TAP MPRS 1966, tentang pelarangan komunis, misalnya. Gus Dur bukanlah seorang komunis, tetapi beliau tidak ingin komunis difitnah oleh oknum-oknum yang terlibat dalam sejarah dan terdzalimi begitu saja.

Tatkala kebanyakan orang meributkan soal pembelaan Indonesia terhadap Palestina, justru Gus Dur menginginkan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Cara pandang Gus Dur jauh ke depan, banyak yang tidak mengerti jurus-jurus saktinya.

Tidak ada musuh bagi Gus Dur. Seperti kekejian FPI tidaklah merupakan sebuah perlawanan, justru sebenarnya hukum rimba lah yang berlaku. Hanya moral binatang yang mudah memangsa yang lemah dan tak berdaya.

Bagi seorang Gus Dur, melawan sebuah kemungkaran harus dengan strategi dan tehnik yang teratur dan mengena sasaran. Adagium Arab menyatakan “Man ‘arafa lughata qaumin amina min makrihim”. Terjemahan bebasnya, sebuah perlawanan terhadap sesuatu yang tidak bisa dilawan, bisa dilakukan dengan hal-hal yang menurut kita tak terduga, seperti “melawan dengan lelucon”, hehehe!.

5. Menyikapi Gerakan Formalisasi Syariat, Seperti PKS dan HTI serta Partai-partai Islam

Partai Islam adalah sebuah kendaraan politik. Mungkin kita akan sering memperdebatkan tentang definisi politik itu sendiri. Tapi yang paling penting, eksistensi sebuah partai adalah sarana, bukan tujuan. Walaupun, realita dan fakta di lapangan berkata lain. Justru kendaraan politik yang seharusnya menjadi wasilah (sarana), sering malah menjadi ghayah (tujuan). Sehingga, tujuan mulia dari perjuangan politik menuju kemaslahatan umat sering terabaikan. Ketika terjadi sebuah bencana misalnya, peran partai politik justru memanfaatkan momen tersebut untuk mengapresiasi citra partainya sendiri dan seringkali mengatasnamakan agama atau kemanusiaan.

Meminjam istilah Habib Luthfi bin Yahya, fanatik kita kepada partai tidak lebih dari setinggi lutut kaki, sedangkan fanatik kita kepada bangsa dan negara tidak melebihi pusar, sedangkan fanatik kepada agama dan keyakinan merupakan titik tolak untuk memberikan maslahat bagi sinergi antara hubungan vertikal (hablun minallah) dan horizontal (hablun minannas).

Pemaksaan terhadap kepentingan yang dibungkus dengan baju agama sungguh menggiurkan, padahal secara substansial, nilai-nilai agama selalu dapat dimanifestasikan.

Menurut hemat saya, membeli minyak onta cap babi, jauh lebih menyenangkan daripada mengobral minyak babi cap onta. Buktinya, partai-partai Islam hanya mampu memberikan nuansa Islami pada saat-saat tertentu saja. Diharamkannya presiden wanita misalnya, suatu saat keharaman tersebut akan berubah sesuai dengan kepentingan yang diusungnya. Tatkala Megawati menjadi presiden, toh Hamzah Haz yang menjadi representasi partai Islam malah menjadi wakilnya. Baru-baru ini, kasus hebohnya Tifatul Sembiring bersalaman dengan istri Obama dibesar-besarkan, padahal kejadian yang biasa saja.

Perbedaan penafsiran, baik diformalisasikannya syariat atau tidak, biarlah terjadi. Namun, menghakimi orang lain dengan kesesatan atau bahkan menghalalkan darahnya dengan perbuatan anarkis dan kekerasan sungguh tidak etis, apalagi dilakukan oleh seorang Muslim. “Al-muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wa yadihi,” kata sebuah hadits. Islam tidak disebarkan dengan pedang, namun disebarluaskan dengan cinta dengan kasih sayang. Dakwah adalah ajakan, bukan ejekan. 

Mungkin PKS, HTI, dan lain-lain sedang digandrungi oleh sebagian kalangan, namun rasa kesengsem tersebut hanyalah temporal. Bila kita kaji sejarah, runtuhnya peradaban Islam di Andalusia disebabkan oleh partai yang mengatasnamakan agama. Nuansa cinta kasih sesama dan saling mengabdi satu sama lain, berubah menjadi keinginan untuk menjadi pimpinan yang memegang urusan penting. Agama yang sakral, menjadi tarik ulur sebuah kekuasaan. Begitu juga yang terjadi di Mesir, kasus IM yang banyak memakan korban. Tak heran bila al-Imam al-Akbar Grand Syaikh al-Azhar memiliki program untuk membersihkan al-Azhar University dari unsur-unsur Ikhwanul Muslimun.

Bila kita mau meneladani Gus Dur dalam perbedaan penafsiran, tentu kita tidak akan mudah menghakimi sesat dan kafir. Seperti kasus Mushaddiq yang mengaku nabi, Gus Dur membiarkan dia hidup, dan kebathilan itu akan mati dengan sendirinya tanpa harus diselesaikan dengan anarkisme. Merasa benar sendiri, seolah-olah telah melaksanakan syariat Islam adalah tindakan yang semena-mena. Apa bedanya Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku nabi dengan orang-orang yang merasa dirinya paling benar di sisi Tuhan. Biarlah Islam menjadi agama kasih sayang (rahmatan lil ‘alamin).

Sebagaimana doa pendiri NW, “Allahummanshur liwa-a Nahdlatil Wathan fil ‘alamin“, saya melihat NU tidak pernah memiliki doa seampuh itu. Tapi, Gus Dur memanifestasikan kasih sayang itu tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Semoga kita bisa meneladani beliau agar Gus Dur hidup kembali spiritnya untuk menebarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, bukan ruhamatan lil muslimin; rahmat bagi semesta alam, bukan hanya rahmat bagi orang Islam.

Tidak ada komentar:

Hukum “Pedekate” dengan Facebook dan Alat Komunikasi / sosmed Lainnya

Assalamualaikum wr.wb. Berikut ini adalah salah satu hasil bahtsul masail diniyyah atau pembahasan masalah keagamaan oleh Forum Musyawarah P...