Senin, 27 Januari 2014

Munarman : Ancaman Golongan Kristen Dengan Pembangkangan dan Revolusi

Dalam acara “Kajian Politik Islam” di Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Ahad (26/1), Munarman, dalam ceramahnya, menegaskan bahwa pemilu 2014 ini, nampaknya akan menjadi peristiwa yang sangat penting.

Karena, menurut Ketua Bidang Hukum FPI, Munarwan SH, golongan Kristen sangat percaya diri, dan mereka yakin akan berhasil “mengambil” kekuasaan di Indonesia. 

Lebih lanjut, golongan Kristen, menurut Munarman, usai kemenangan Jokowi-Ahok dalam pemilukada di DKI Jakarta, Dewan Gereja Indonesia (DGI) dan Majelis Wali Gereja Indonesia (MAWI), menyelenggarakan pertemuan di Cikini (Cut Mutiah), kantor MAWI, dan menurut Munarwan, mereka memutuskan, berencana mendirikan partai politik atau memasukkan aktivis-aktivis gereja ke seluruh partai politik yang ada.

Jika skenario pertama mendirikan partai politik kurang berhasil, seperti PDS (Partai Damai Sejahtera), maka skenario kedua dengan memasukkan aktivis gereja ke partai-partai politik.

Dengan masuknya aktivis-ktivis gereja ke partai-partai politik, maka mereka akan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan gereja. Seperti masuknya sejumlah aktivis gereja di PDIP, di mana PDIP menjadi sarana para aktivis gereja mengganjal kepentingan umat Islam.

Seperti saat membahas Undang-Undang Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), karena di dalam undang-undang SISDIKNAS itu, termaktub dalam tujuan pendidikan nasional, “menciptakan manusia beriman, bertakwa dan berilmu”, ini menjadi keberatan golongan kristen.

Lebih lanjut, Munarman mengutip Suara Pembaharun, yang terbit hari Sabtu-Ahad, (25-26/1), di mana fihak gereja menghadapi pemilu 2014 ini, secara eksplisit menegaskan, “Gereja sebagai kekuatan politik moral adalah posisi yang sangat tepat, tetapi peran itu harus dinamis, sesuai dengan keadaan. Teolog Amerika Serikat, J.Philip Wogoman, dalam bukunya ‘Christian Perspective on Politicts, menguraikan tujuh tingkat keterlibatan gereja dalam politik”.

Kemudian, Munarman menguraikan satu-satu tentang tujuh tingkat keterlibatan gereja dalam politik yang ditentukan oleh keadaan di mana gereja berada dan melayani.

"Tujuh tingkat langkah strategis gereja, pertama, diawali dengan etos. Kedua, mendidik warga gereja tentang isu tertentu. Ketiga, lobi gereja. Keempat, mendukung calon tertentu. Kelima, menjadi partai politik. Keenam, pembangkangan sipil, dan puncaknya revolusi".

Sementara itu, mereka mensikapi tentang kondisi yang ada sekarang ini, dan kedudukan mereka dalam NKRI, justru golongan kristen merasa termarjinalkan, dan mereka sangat gelisah dengan pembatasan tempat beribadah. Di era otonomi seperti sekarang, kalangan kristen, merasa di daerah golongan minoritas kristen, mereka merasa tidak memiliki jabatan dan akses kekuasaan.

Menurut Munarman, kenyataannya, sangat bertolak belakang. Seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan DKI Jakarta, Solo, dan sejumlah daerah lainnya, golongan kristen yang minoritas justru mendapatkan kedudukan yang tinggi, sebagai gubernur, bupati, dan bahkan sejumlah jabatan lainnya.

Sekarang pun dengan kekuatan ekonomi dan media di tangan mereka, kalangan kristen dapat mengebiri dan menghancurkan golongan Islam. Golongan Islam sudah sangat ‘tersibghah’ oleh nilai-nilai kristen dalam kehidupan mereka, ungkap Munarman.

Kalangan gereja mensikapi kondisi yang ada sekarang ini, menurut Munarwan, mereka membuat dua pilihan, terutama dari kalangan politisi kristen. Pertama, mereka akan berusaha mendirikan partai politik baru, dan partai baru itu, secara eksplisit sebagai partai kristen, tidak anonim lagi.

Secara terang-terangan wujudnya sebagai kristen, dan yang akan memperjuangkan kepentingan golongan kristen secara terbuka melalui wadah politik. Pilihan kedua, mereka yang memilih berjuang dengan bergabung pada partai politik yang menganut ideologi nasionalis dan atau membentuk lembaga sosial kemasyarakat, sebagai sarana gerakan mereka melakukan perubahan politik.

Sekarang pun, sudah sangat banyak aktivis gereja yang menjadi caleg. Ini sangat penting, dan bermanfaat dengan banyaknya aktivis kristen menjadi caleg.

Sebagai contoh, presentasi kalangan kristen di legislatif, jumlahnya sudah mencapai lebih dari 17 persen dari semua partai politik. Sedangkan DPD jumlah kalangan kristen, sudah hampir mencapai 28 persen. Ini sangat signifikan perubahan yang terjadi dalam kehidupan politik secara nasional, khususnya bagi kalangan kristen.

Namun, menurut Munarwan, tentang keterlibatan gereja dalam politik, dan tujuh tingkatan yang paling penting dicatat, mereka sudah pada tingkatan menggunakan pembangkangan sipil dan revolusi dalam mencapai tujuan mereka.

Tentu, kalangan gereja yang paling masygul, adanya aturan pemerintah yang dituangkan dalam SKB Tiga Menteri, yang dinilai menghambat perkembangan gereja dan pertumbuhan kristen di Indonesia. Maka mereka akan habis-habisan melawan dengan segala cara kebijakan dan keputusan pemerntah.

Ini dianggap tindakan marginalisasi terhadap kalangan kristen. Sekalipun, jumlah gereja yang baru, jauh lebih banyak dibandingkan masjid yang baru. Gereja naik 150 persen, dibandingkan masjid hanya 75 persen.

Kalangan kristen sudah melaporkan pemerintah Indonesia Komisi Hak Asasi Internasional PBB, karena dianggap membatasi hak dasar kalangan kristen dengan larangan Gereja Yasmin di Bogor. Mereka terus melakukan protes dan aksi.

Bahkan, saat berlangsung peringatan Natal mereka menyelenggarakan Natal di depan Istana Merdeka, di Medan Merdeka Utara. Ini wujud dari pembangkangan sipil, dan menuju revolusi. Segala langkah mereka lakukan dalam memperjuangkan kepentingan mereka.

Di Malaysia segala aktifitas kalangan kristen yang mengarah kepada penyebaran agama kristen, dilarang, bahkan tidak ada acara “mimbar agama kristen” di telivisi Malaysia. Konstitusi Malaysia yang secara eksplisit Islam sebagai agama negara, pemerintah Malaysia melindungi agama Islam, dan berbagai tindakan dan aktivis yang mengancam Islam.

Bahkan, belum lama ini, pemerintah Malaysia memulangkan (persona non grata) Dubes Vatikan, karena mendukung penggunaan kata “Allah” oleh kalangan kristen Malaysia. Padahal, di Malaysia golongan Melayu hanyalah 54 persen dari seluruh jumlah penduduk Malaysia.

Di Indonesia jumlah penduduknya 90 persen Muslim, tetapi sudah kehilangan “ghirah” (kecemburuan) dan “hamasah” (semangat), sehinngga mereka tidak merasakan kejadian apapun, walaupun setiap hari banyak Muslim yang murtad. Tidak ada kemarahan sedikitpun atas segala tindakan oleh orang-orang kristen.

Mereka mendirikan gereja, di mana-mana, sekalipun didaerah itu tidak ada penganut agama kristen. Sekolah-sekolah kristen di mana-mana. James Riyadi mendirikan rumah sakit Siloan yang menjadi “cover”gerakan kristen. Bahkan, James Riiyadi mendirikan rumah sakit Siloan di Padang.

Munarwan menggarisbawahi, bahwa di era demokrasi, dan liberalisasi, hanya kalangan kristen yang sangat diuntungkan. Mereka dengan bebas dapat mempropagandakan, mengembangkan, dan menyebarkan, dan bahkan melakukan pemurtadan secara bebas, melalui sarana-sarana yang mereka miliki dengan jargon kebebasan dan hak asasi manusia. Ummat Islam tidak menyadari ancaman di depan mata mereka.

Bahkan, ada kalangan NU, Kiai Nurul Arifin yang bersedia ceramah di gereja, saat berlangsung perayaan Natal di daerah Jawa Tengah. Belum lagi, ribuan anggota Banser (NU) yang disebarkan di berbagai gereja dalam rangka melakukan pengamanan saat perayaan Natal. Umat Islam tidak paham muslihat kalangan kristen dengan berbagai muslihat mereka dengan kedok toleransi dan pluralisme.

Tidak ada komentar:

Hukum “Pedekate” dengan Facebook dan Alat Komunikasi / sosmed Lainnya

Assalamualaikum wr.wb. Berikut ini adalah salah satu hasil bahtsul masail diniyyah atau pembahasan masalah keagamaan oleh Forum Musyawarah P...