Selasa, 26 November 2013

MANAQIB SULTHANUL AULIYA SAYYIDI SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI




Keterangan foto: Prof. KH. Syukron Ma’mun bersama Prof. Dr. Syaikh Afifuddin al-Jailani (cucu ke-16 Syaikh Abdul Qadir al-Jailani).

Sewaktu kecil , ada malaikat yang selalu datang kepadaku setiap hari dalam rupa pemuda tampan. Ia menemaniku ketika aku berjalan menuju madrasah dan membuat teman-temanku selalu mengutamakan diriku seharian hingga aku pulang. Dalam sehari, aku peroleh lebih banyak daripada yang diperoleh teman-teman sebayaku selama satu minggu.

Aku tak tak pernah mengenali pemuda itu. Di saat yang lain, ketika aku bertanya kepadanya, ia menjawab: “Aku adalah malaikat yang diutus Allah. Dia mengutusku untuk melindungimu selama engkau belajar.”
Itulah sepenggal kisah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tentang pengalamannya pada masa kecil.

Kelahiran Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Beliau lahir pada tahun 470 H. (1077-1078 M) di al-Jil (disebut juga Jailan dan Kilan), kini termasuk wilayah Iran. Tahun kelahirannya ini didasarkan atas ucapannya kepada putranya bahwa ia berusia 18 tahun ketika tiba di Baghdad, bertepatan dengan wafatnya seorang ulama terkenal , at-Tamimi, pada tahun 488 H.
Tahun itu juga bertepatan dengan keputusan Imam Abu Hamid al-Ghazali untuk meninggalkan tugasnya mengajar di Universitas Nidzamiah, Baghdad. Sang imam ternyata lebih memilih uzlah.
Penentuan Awal Ramadhan Melalui Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani saat Balitanya
Ibunya, Ummul Khair Fatimah binti Syaikh Abdullah Sumi, adalah keturunan Rasulullah Saw. Beliau pernah menuturkan: “Anakku , Abdul Qadir , lahir di bulan Ramadhan. Pada siang hari bulan Ramadhan, bayiku itu tak pernah mau diberi makan.”
Dikisahkan pada suatu Ramadhan ketika Abdul Qadir masih bayi, orang-orang tak dapat melihat hilal karena tertutup awan. Akhirnya untuk menentukan awal puasa, mereka mendatangi rumah Ummul Khair dan menanyakan apakah bayinya sudah makan hari itu. Saat mengetahui bayi itu tak mau makan, mereka yakin bahwa Ramadhan telah tiba.
Dalam kesempatan lain Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bercerita: “Setiap kali terlintas keinginan untuk bermain bersama teman-temanku, aku selalu mendengar bisikan: “Jangan bermain, tetapi datanglah kepadaku wahai hamba yang dirahmati.” Karena takut, aku berlari ke dalam pelukan ibu. Kini, meskipun aku beribadah dan berkhalwat dengan khusyuk, aku tak pernah bisa mendengar suara itu sejelas dulu.”
Tauladan Kejujuran Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Ketika ditanya mengenai apa yang menghantarkannya kepada maqam ruhani yang tinggi, beliau menjawab: “Kejujuran yang pernah kujanjikan kepada ibuku.” Kemudian Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menuturkan kisah berikut:
“Pada suatu pagi di hari raya Idul Adha, aku pergi ke ladang untuk membantu bertani. Ketika berjalan di belakang keledai, tiba-tiba hewan itu menoleh dan memandangku, lalu berkata:“Kau tercipta bukan untuk hal semacam ini.” Mendengar hewan itu berkata-kata, aku sangat ketakutan. Aku segera berlari pulang dan naik ke atap rumah. Ketika memandang ke depan, kulihat dengan jelas para jamaah haji sedang wukuf di Arafah.
Kudatangi ibuku dan memohon kepadanya: “Izinkanlah aku menempuh jalan kebenaran, biarkan aku pergi mencari ilmu bersama para bijak bestari dan orang-orang yang dekat dengan allah.”
Ketika ibuku menanyakan alasan keinginanku yang tiba-tiba, kuceritakan apa yang terjadi. Mendengar penuturanku, ia menangis dengan sedih. Namun, ia keluarkan delapan puluh keping emas, harta satu-satunya warisan ayahku. Ia sisihkan empat puluh keping untuk saudaraku. Empat puluh keping lainnya dijahitkannya di bagian lengan mantelku. Ia memberiku izin untuk pergi seraya berwasiat agar aku selalu bersikap jujur apapun yang terjadi.
Sebelum berpisah ibuku berkata: “Anakku, semoga Allah menjaga dan membimbingmu. Aku ikhlas melepas buah hatiku karena Allah. Aku sadar aku takkan bertemu lagi denganmu hingga hari kiamat.”
Aku ikut kafilah kecil menuju Baghdad. Baru saja meninggalkan kota Hamadan, sekelompok perampok, yang terdiri atas enam puluh orang berkuda, menghadang kami. Mereka merampas semua anggota kafilah. Salah seorang perampok mendekatiku dan bertanya: “Anak muda apa yang kau miliki?” Kukatakan bahwa aku punya empat puluh keping emas.
Ia bertanya lagi: “Di mana?” Kukatakan di bawah ketiakku.
Ia tertawa-tawa dan pergi meninggalkanku. Perampok lainnya menghampiriku dan menanyakan hal yang sama. Aku menjawab sejujurnya. Tetapi seperti kawannya, ia pun pergi sambil tertawa-tawa mengejek.
Kedua perampok itu mungkin melaporkanku kepada pimpinannya, karena tak lama kemudian pimpinan gerombolan itu memanggilku agar mendekati mereka yang sedang membagi-bagi hasil rampokan. Si pimpinan bertanya apakah aku memiliki harta. Kujawab bahwa aku punya empat puluh keping emas yang dijahitkan di bagian lengan mantelku.
Akhirnya ia menyobeknya dan ia temukan keping-keping emas itu. Keheranan, ia bertanya: “Mengapa engkau meberi tahu kami, padahal hartamu itu aman tersembunyi?”
Jawabku: “Aku harus berkata jujur karena telah berjanji kepada ibuku untuk selalu bersikap jujur.”
Mendengar jawabanku, pimpinan perampok itu tersungkur menangis. Ia berkata: “Aku ingat janjiku kepada Dia yang telah menciptakanku. Selama ini aku telah merampas harta orang dan membunuh. Betapa besar bencana yang akan menimpaku!?”
Anak buahnya yang menyaksikan kejadian itu berkata: “Kau memimpin kami dalam dosa. Kini, pimpinlah kami dalam taubat!”
Keenam puluh orang itu memegang tanganku dan bertaubat. Mereka adalah sekelompok pertama yang memegang tanganku dan mendapat ampunan atas dosa-dosa mereka.
Perjumpaan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dengan Nabi Khidhir di Baghdad
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berusia delapan belas tahun ketika tiba di Baghdad. Saat tiba di gerbang kota, Nabi Khidhir muncul dan melarangnya memasuki kota. Nabi Khidhir mengatakan bahwa Allah melarangnya memasuki kota itu selama enam tahun. Kemudian Nabi Khidhir membawanya ke sebuah bangunan tua dan berkata: “Tinggallah di sini dan jangan pergi meninggalkan tempat ini.”
Akhirnya beliau menetap di sana selama tiga tahun. Setiap tahun Nabi Khidhir datang dan memerintahkannya menetap di sana. Mengenai pengalamannya di tempat itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bercerita:
“Selama menetap di padang pasir di luar Bagdhad, semua yang kulihat hanyalah keindahan dunia. Semuanya menggodaku. Namun, Allah melindungiku dari godaannya. Setan, yang muncul dalam berbagai paras dan rupa, terus mendatangiku, menggoda, mengusik, bahkan menyerangku. Allah selalu menjadikanku sebagai pemenang.
Hawa nafsuku pun datang setiap hari dengan paras dan rupa diriku sendiri memohon agar aku sudi menjadi sahabatnya. Ketika kutolak, ia menyerangku. Allah menjadikanku sebagai pemenang dalam peperangan tanpa henti itu. Aku berhasil menjadikannya sebagai tawananku selama bertahun-tahun dan memaksanya tinggal di bangunan tua di padang pasir itu.
Selama beberapa tahun aku hanya makan rerumputan dan akar-akaran yang dapat kutemukan. Selama itu pula aku tak pernah minum. Tahun berikutnya aku hanya minum tanpa makan apa-apa. Dan tahun berikutnya aku tak makan, tak minum, bahkan tak tidur. Aku tinggal di bangunan tua istana raja-raja Persia di Karkh.
Aku berjalan bertelanjang kaki di atas duri-duri padang pasir dan tak merasakan apa-apa. Aku terus berjalan. Setiap kali kulihat tebing, aku merasa mendakinya. Tak sedikitpun kuberikan kesempatan kepada hawa nafsuku untuk beristirahat atau merasa nyaman.
Pada akhir tahun ketujuh, pada suatu malam, aku mendengar satu suara menyeru: “Hai Abdul Qadir kini kau dapat memasuki Baghdad.”
Akhirnya kumasuki kota Baghdad dan tinggal beberapa hari. Namun, aku tak tahan menyaksikan kemaksiatan, kesesatan dan kelicikan yang merajalela di kota itu. Agar terhindar dari pengaruh buruknya, aku pergi meninggalkan Baghdad dengan hanya membawa al-Quran.
Namun, ketika tiba di gerbang kota itu untuk kembali menyendiri di padang sahara, kudengar satu suara berbisik: “Ke mana kau akan pergi? Kembalilah. Kau harus menolong masyarakat.”
“Kenapa harus kupedulikan orang-orang bobrok itu? Aku harus melindungi imanku!” Seruku lantang.
“Kembalilah, dan jangan khawatirkan imanmu.” Bisikan suara itu terdengar lagi.“Tak ada sesuatu pun yang akan membahayakan dirimu.” Aku tak dapat melihat siapa gerangan yang berbicara itu.
Kemudian sesuatu terjadi atas diriku. Entah apa yang mendorongku, tiba-tiba aku bertafakur. Seharian aku berdoa kepada Allah semoga Dia berkenan membuka tabir dariku sehingga mengetahui apa yang harus aku lakukan.

Awal Mula Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Belajar Tasawuf

Hari berikutnya, ketika aku mengembara di pinggiran kota Baghdad, di sekitar Mudzafariyah, seorang lelaki yang tak pernah kukenal sebelumnya, membuka pintu rumahnya dan memanggilku: “Hai Abdul Qadir.”
Ketika berada tepat di depan pintu rumahnya, ia berkata: “Katakan padaku apa yang kau minta kepada Allah. Apa yang kau doakan kemarin?”
Aku diam terpaku, tak dapat kutemukan jawabannya. Orang itu menatapku, lalu tiba-tiba membanting pintu dengan sangat keras sehingga debu-debu berterbangan dan mengotori nyaris seluruh tubuhku.
Aku pergi, sambil bertanya-tanya apa yang kupinta kepada Allah sehari sebelumnya. Aku berhasil mengingatnya, lalu kembali ke rumah itu untuk memberikan jawaban. Namun, rumah tadi tak dapat kutemukan, begitu pun orang itu. Rasa takut menyelubungiku. Pikirku, ia tentu orang yang dekat dengan Allah. Kelak , aku mengetahui bahwa orang itu adalah Syaikh Hammad ad-Dabbas, yang kemudian menjadi guruku.
Pada suatu malam yang dingin, di tengah guyuran hujan deras, tangan ghaib menuntun Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ke padepokan tasawuf milik Syaikh Hammad bin Muslim ad-Dabbas. Pimpinan padepokan itu mengetahui kedatangan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani melalui ilham. Syaikh Hammad memerintah agar pintu padepokan ditutup dan lampu dipadamkan.
Setibanya di depan pintu padepokan, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dilanda kantuk yang hebat dan langsung tertidur lelap. Dalam tidurnya beliau berhadats besar sehingga beliau pergi untuk mandi dan berwudhu di sungai. Usai bersuci kembali beliau tertidur dan berhadats lagi, hingga tujuh kali dalam semalam. Tujuh kali beliau mandi dan berwudhu dengan air yang nyaris membekukan tubuh.
Keesokan paginya, pintu padepokan dibuka dan beliau pun masuk ke dalamnya. Syaikh Hammad bangkit untuk mengucapkan salam kepada beliau. Dengan penuh suka cita, Syaikh Hammad memeluk beliau dan berkata: “Anakku, abdul Qadir, hari ini keberuntungan milik kami. Esok, engkaulah pemiliknya. Jangan pernah tinggalkan jalan ini.”
Syaikh Hammad menjadi guru pertama beliau dalam bidang tasawuf. Melalui tangan Syaikh Hammad itulah beliau bersumpah dan memasuki jalan thariqah. Mengenai hal ini, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bercerita:
“Aku belajar kepada banyak guru di Baghdad. Namun, setiap kali aku tak dapat memahami sesuatu atau ingin mengetahui suatu rahasia, Syaikh Hammad memberiku penjelasan. Kadangkal aku dimintanya mencari ilmu dari ulama lain, mengenai akidah, hadits, fiqih dan lain-lain. Setiap kali aku pulang ke padepokan, ia selalu bertanya: “Ke mana saja kau? Selama kepergianmu, kami mendapatkan begitu banyak makanan yang sangat lezat bagi tubuh, akal, serta jiwa dan tak sedikitpun yang kami sisakan untukmu.”
Di saat yang lain ia berkata: “Demi Allah, dari mana saja kau? Adakah orang lain di sini yang lebih tahu (alim) daripada engkau?”
Murid-muridnya mengusikku dengan mengatakan: “Kau adalah ahli fiqih, mahir menulis dan ahli ilmu. Mengapa kau tidak keluar saja dari sini!?”
Syaikh Hammad menegur dan menenangkan mereka: “Sungguh memalukan! Aku bersumpah, tak ada seorang pun diantara kalian yang lebih tinggi dari tumitnya. Jika kalian kira bahwa aku iri kepadanya (Syaikh Abdul Qadir al-Jailani) dan kalian mendukungku, ketahuilah bahwa aku justru akan mengujinya dan mengantarkannya kepada kesempurnaan. Ketahuilah, di alam ruhani, kedudukannya seperti batu sebesar gunung.”

Kesengsaraan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani saat Belajar di Baghdad

Semasa belajar di Baghdad, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah mengalami masa penceklik. Semua orang merasa kesulitan, termasuk beliau. Mengenai hal ini, beliau menuturkan:
“Aku Cuma makan duri, kacang dan daun kubis yang ada di tepian sungai dan danau. Kesulitan lain tiba-tiba masih menyusul di Baghdad. Kesulitan itu yaitu melambungnya harga-harga. Ketika itu aku sampai tidak bisa makan apa-apa. Aku bahkan harus mencari sisa makanan yang bisa dimakan. Saking laparnya, aku lalu pergi ke danau. Aku berharap bisa menemui daun kubis, kacang atau apapun yang bisa dimakan.
Sayangnya, setiap kali aku pergi ke suatu tempat , pasti sudah ada orang yang sudah lebih dulu di sana. Ketika mendapati ada orang fakir yang ikut mencari makanan, aku langsung pergi. Aku malu. Aku kembali berjalan ke tengah kota.
Setiap menemukan satu biji-bijian, aku pasti keduluan. Aku terus mencari sampai aku tiba di suatu masjid yang ada di pasar Raihaniyin, Baghdad. Aku sudah terlalu lelah. Bahkan, untuk untuk memegang sesuatu saja aku sudah tidak mampu lagi. Aku lalu masuk ke dalam masjid . Aku duduk-duduk di sana.
Aku hampir mati saat itu. Untungnya ada seorang pemuda non Arab yang juga baru masuk ke masjid. Ia membawa kue lapis dan roti bakar. Ia duduk lalu makan roti yang dibawanya. Setiap kali pemuda itu hendak memasukkan makanan ke dalam mulut, mulutku seolah mengikuti gerak mulutnya seperti orang yang hendak memasukkan makanan. Itu aku lakukan karena terlalu lapar. Sebetulnya aku merasa aneh dengan apa yang aku lakukan. “Apa yang aku lakukan ini?” kataku dalam hati.
Sejurus kemudian, pemuda itu menengok ke arahku. Ia pun menawariku. Aku menolak. Dia lalu membagi makanannya untukku. Nafsukku terus menggoda, tetapi aku terus menolak. Ia pun membagi lagi. Akupun menerimanya. Aku lalu memakan makanan itu. Ia lalu menanyaiku:“Kamu dari mana? Namamu siapa?”
“Aku pelajar dari Jailan,” jawabku.
“Aku juga dari Jailan. Apakah kamu mengenal seorang pemuda dari Jailan yang bernama Abdul Qadir. Ia lebih dikenal dengan panggilan Abu Abdullah as-Sama’i az-Zahid,” kata pemuda itu
“Itu aku,” jawabku.
Mendengar jawabanku, pemuda itu kaget dan wajahnya langsung berubah. “Demi Allah, aku sudah sampai di Baghdad semenjak tiga hari yang lalu. Kemarin aku masih memiliki beberapa bekal. Aku sudah bertanya ke mana-mana tentang keberadaanmu, tetapi tidak ada yang membantuku. Akupun menghabiskan bekalku. Selama tiga hari, aku tidak menemukan apa yang bisa aku makankecuali yang kita makan ini. Padahal kematian sudah mengancamku. Aku pun memutuskan kue lapis dan roti bakar itu aku berikan padamu. Makanlah! Habiskan saja! Itu untukmu. Sekarang aku tamumu. Sebelumnya kamu memang tamuku.” Kata pemuda itu.
Aku bertanya padanya: “Apa itu?”
“Ibumu menitipkan delapan dinar untukmu, aku pakai sebagian untuk membeli roti ini karena terpaksa. Aku benar-benar minta maaf padamu.”
Mendengar itu, aku pun menenangkannya. Aku memuji pemuda itu. Aku pun menyerahkan sisa makanan dan sedikit emas. Dia pun menerimanya lalu pergi.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani baru sadar bahwa ibunya selalu mengirimi beliau sejumlah uang. Sebagiannya sampai kepada beliau, dan sebagian lagi tidak sampai. Baghdad teralu besar dan luas. Beliau tidak mungkin mengetahui hal serumit itu sebelumnya.

Baju Kesufian Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tampil sebagai contoh penting yang menunjukkan bahwa mencari ilmu merupakan kewajiban suci setiap muslim dan muslimat, dari buain hingga liang lahat. Beliau mengungguli sufi terbesar pada zamannya. Beliau hafal al-Quran dan belajar tafsir kepada Syaikh Ali Abul Wafa al-Qail, Abul Khattab Mahfudz dan Abul Hasan Muhammad al-Qadhi.
Menurut sebagian sumber, beliau belajar kepada Qadhi Abu Sa’id al-Mubarak bin Ali al-Muharami, ulama besar pada zamannya di Baghdad. Meski Syaikh Abdul Qadir al-Jailani belajar tasawuf dari Syaikh Hammad ad-Dabbas dan memasuki jalan thariqah melaluinya, namun beliau juga dianugerahi jubah darwis, simbol jubah Nabi Saw. dari Qadhi Abu Sa’id melalui jalur Syaikh Abul Hasan Ali Muhammad al-Qurasyi dari Abul Faraj at-Tarsusi dari at-Tamimi dari Syaikh Abubakar asy-Syibli dari Abu Qasim dari Sari as-Saqati dari Ma’ruf al-Karkhi dari Dawud ath-Tha’I dari Habib al-A’dzami dari Hasan al-Bashri hingga sampai kepada Sayyidina Ali Bin abu Thalib Ra. Sayyidina Ali menerima jubah pengabdian dari Nabi Muhammad Saw. kekasih Allah semesta alam, yang menerimanya dari Jibril dan ia menerimanya dari Yang Maha Besar Allah Swt.
Suatu hari, seorang bertanya kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tentang apa yang diperolehnya dari Allah Swt. Beliau menjawab: “Ilmu dan akhlak mulia.”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Disuwuk oleh Rasulullah Saw. dan Sayyidina Ali saat Kesulitan di Awal Mengajar
Qadhi Abu Sa’id al-Muharrami mengajar di madrasahnya di Bab al-Azj, Baghdad. Kemudian ia serahkan madrasah itu kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, yang telah menjadi pengajar di sana. Ketika itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berusia lima puluh tahun. Ucapan beliau sangat fasih dan dahsyat, mampu memengaruhi siapa saja yang mendengarnya. Murid-murid dan jamaahnya bertambah pesat. Dalam waktu yang sangat singkat, tak ada lagi tempat di madrasah itu untuk menampung mereka. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bercerita tentang saat-saat pertama pengajarannya:
“Suatu pagi aku bertemu Rasulullah Saw. yang bertanya kepadaku: “Mengapa kau diam saja?”
Aku menjawab: “Aku orang Persia, bagaimana aku dapat berbahasa Arab dengan fasih di Baghdad?”
“Bukalah mulutmu,” ujar Rasulullah Saw.
Aku menuruti perintahnya. Kemudian Rasulullah Saw. meniup (meludahi) mulutku tujuh kali dan berkata: “Berdakwahlah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan kata-kata yang baik.”
Lalu aku shalat Dzuhur dan beranjak menemui orang-orang yang telah menantikan ceramahku. Saat melihat mereka, aku gugup. Lidahku menjadi kelu. Tiba-tiba aku melihat Imam Ali mendekatiku dan memintaku membuka mulut. Lalu ia meniupkan napasnya ke mulutku sebanyak enam kali. Aku bertanya: “Mengapa tidak tujuh kali seperti yang dilakukan Rasulullah?”
“Karena aku menghormati Rasulullah,” ujar Imam Ali, dan ia berlalu.
Seketika itu pula meluncur kata-kata yang sangat lancar dari mulutku: “Akal adalah penyelam, yang menyelami samudera hati untuk menemukan mutiara hikmah. Jika ia membawanya ke tepian wujudnya, ia akan memicu pengucapan kata. Dan dengan itu ia membeli mutiara ibadah dan pengabdian kepada Allah.”
Lalu kukatakan: “Pada suatu malam seperti malam-malam yang kualami, jika diantara kalian mampu menaklukkan birahinya, kematian akan menjadi sangat indah. Sehingga baginya, tak ada sesuatupun yang dapat menandingi keindahannya.”
Sejak saat itu dan seterusnya, baik ketika terjaga maupun terlelap, aku senantiasa menjalankan kewajibanku sebagai pengajar. Ada banyak ilmu keimananan dan agama dalam diriku. Ketika aku tak membicarakan atau melafalkannya, aku merasa ilmu-ilmu meluncur dengan sendirinya. Saat mulai mengajar. Hanya ada beberapa murid yang mendengarkanku. Namun tak lama kemudian, mereka bertambah hingga tujuh puluh ribu orang.

Perluasan Madrasah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Madrasah dan pondok beliau tak lagi mampu menampung para pengikut beliau. Dibutuhkan tempat yang lebih luas. Orang kaya dan miskin membantu mendirikan bangunan. Orang kaya membantu dengan harta dan orang miskin membantu dengan tenaganya. Bahkan kaum wanita di Baghdad pun membantu.
Seorang wanita muda yang bekerja secara suka rela memperkenalkan suaminya yang enggan bergotong-royong kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. “Ini suamiku. Aku telah menerima mahar darinya sebanyak dua puluh keping emas, separuhnya akan kuberikan kembali kepadanya dan separuh lagi akan kubayarkan jika ia ikut bekerja di sini.” Kata wanita itu.
Lalu keping emas itu ia serahkan kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dan laki-laki itupun mulai bekerja. Ia pun terus bekerja meskipun jatah maharnya telah habis. Kendati demikian, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tetap membayarnya karena beliau tahu bahwa ia miskin.

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Menjadi Pemuka Agama yang Paling Mumpuni dan Disegani

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah ulama dan imam dalam ilmu-ilmu agama, kalam dan fiqih, serta tokoh terkemuka Madzhab Syafi’i dan Hanbali. Keberadaan beliau memberi manfaat yang sangat besar bagi semua orang. Doa dan kutukannya selalu dikabulkan. Beliau memiliki banyak keistimewaan. Beliau adalah manusia sempurna yang selalu mengingat Allah, bertafakur, merenung serta belajar dan mengajar.
Hati beliau lembut, perilaku beliau santun, dan paras beliau senantiasa tampak ceria. Beliau juga selalu bersimpati dan memelihara perilaku yang mulia. Di mata orang-orang, beliau tampil sebagai sosok yang berwibawa, dermawan dan gemar memberi bantuan berupa uang, nasehat, maupun ilmu. Beliau menyanyangi sesama, terutama kaum mukmin yang taat dan selalu beribadah kepada Allah.
Penampilan beliau selalu terjaga sehingga nampak tampan dan necis. Beliau tak suka berbicara berlebihan. Jika bicara, meski cepat, setiap kata maupun suku kata beliau terdengar jelas. Bicara beliau santun dan hanya yang diucapkan hanya kebenaran. Beliau sampaikan kebenaran dengan lantang dan tegas. Beliau tak peduli apakah orang lain akan memuji, mencela, mengkritik atau bahkan memaki beliau.
Ketika Khalifah al-Muqtafi mengangkat Yahya bin Sa’id sebagai Qadhi (kepala pengadilan), Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengkritiknya di hadapan khalayak: “Kau telah mengangkat orang yang sangat dzalim sebagai hakim atas kaum mukmin. Mari kita saksikan apa pembelaanmu ketika kau dihadapkan kepada Hakim Agung, Tuhan Semesta Alam.”
Mendengar kritikan pedas itu khalifah gemetar dan menangis . Ia segera memecat qadhi itu.
Saat itu, penduduk Baghdad mengalami kemerosotan moral dan perilaku. Berkat kehadiran Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, banyak penduduk yang benar-benar bertaubat, menjaga perilaku dan menjalankan syariat Islam dengan baik.
Orang-orang pun semakin mencintai dan menghormati Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Pengaruh beliau semakin meluas. Orang shaleh mencintai beliau dan para pelaku maksiat takut kepada beliau. Banyak orang, termasuk raja, menteri dan kaum bijak bestari, datang meminta nasehat beliau. Banyak kaum Yahudi dan Kristen yang masuk Islam karena beliau.

Pendeta yang Meragukan Mi’raj Rasulullah Saw. Dengan Ruh dan Jasadnya

Ada seorang pendeta yang sangat bijak dan berpengaruh di Baghdad yang memilki banyak pengikut. ia memiliki pengetahuan yang luas tidak hanya mengetahui tradisi Yahudi dan Kristen, tetapi juga mengenai Islam. Ia pun mengetahui kitab suci al-Quran dan sangat menghargai Nabi Muhammad Saw. Khalifah sangat menghormatinya dan berharap ia dan pengikutnya masuk Islam. sebenarnya, pendeta itu ingin masuk Islam. Hanya saja, ia masih meragukan bahwa Mi’raj Nabi Muhammad Saw. terjadi berikut raganya.
Mi’raj itu terjadi ketika Nabi Saw. diperjalankan dari Makkah ke Yerusalem dengan jasad dan ruh beliau. Kemudian naik ke tujuh lapis langit serta menyaksikan banyak hal. Beliau Saw. melihat surga dan neraka, lalu bertemu dengan Allah Swt. yang menyampaikan sembilan ribu kata. Saat pulang dari perjalanan itu, kasur Nabi Saw. belum mendingin dan daun yang tersentuh dalam perjalanan belum berhenti bergoyang.
Akal sang pendeta tidak menerima peristiwa Mi’raj itu dan segala yang disampaikan Nabi Saw. sepulang dari perjalanan itu. Bahkan, sesungguhnya banyak kaum Muslimin ketika itu yang tidak mempercayai penjelasan Nabi Saw., dan menjadi murtad. Peristiwa itu benar-benar menjadi ujian yang sangat berat bagi keimanan kaum Muslimin. Karena akal tidak dapat menerima fenomena serupa itu.
Khalifah mengundang para bijak bestari dan para syaikh untuk menyakinkan si pendeta. Namun tak ada satupun yang mampu. Kemudian pada suatu sore, ia memohon kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani untuk menyakinkan si pendeta mengenai kebenaran Mi’raj Nabi Saw.
Ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani datang ke istana, si pendeta dan khalifah tengah bermain catur. Saat pendeta mengangkat sebuah bidak catur, tiba-tiba matanya beradu pandang dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Si pendeta memejamkan matanya. Ketika membuka mata, tiba-tiba ia berada di sebuah sungai dan dihanyutkan oleh alirannya yang deras. Ia berteriak minta tolong.
Seorang penggembala pemuda lompat ke sungai menyelamatkannya. Ketika pemuda itu memeluknya, ia sadar bahwa ia tidak berpakaian dan dirinya telah berubah menjadi seorang gadis. Si penggembala menariknya keluar dan serta-merta menanyakan keluarga dan rumahnya.
Ketika gadis itu (pendeta) menyebutkan Baghdad, si penggembala itu mengatakan bahwa butuh waktu berbulan-bulan untuk sampai ke sana. Si penggembala menghormati, menjaga dan melindunginya. Namun karena tak ada tempat yang ditujunya, si penggembala menikahinya. Dari pernikahan itu mereka memiliki tiga orang anak.
Suatu hari, saat si istri mencuci pakaian di sungai yang menghanyutkannya beberapa tahun silam, ia tergelincir dan jatuh ke air. Ketika sadar dan membuka mata, ia dapati dirinya duduk di hadapan khalifah, memegang bidak catur dan masih bertatap pandang dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berujar kepadanya: “Hai pendeta yang malang, apakah saat ini kau masih enggan mengakui?”
Si pendeta yang masih ragu dan menganggap apa yang dialaminya itu hanyalah mimpi, menjawab: “Apa yang kau maksudkan?”
“Apakah engkau ingin berjumpa dengan anak dan suamimu?” Tanya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani seraya membuka pintu.
Di depan pintu istana itu telah berdiri si penggembala dengan tiga orang anaknya. Mengalami runtutan kejadian itu, si pendeta langsung menyatakan keimanan dan mengakui kebenaran Mi’raj Nabi Saw. Ia dan jamaahnya yang berjumlah sekitar lima ribu orang masuk Islam melalui Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Allah Mencatat Tidak Akan Murka kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Meskipun dikenal orang yang lembut, santun dan penyanyang, dan selalu menepati janji jika berurusan dengan keadilan, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bersikap tegas. Beliau tak pernah marah jika orang lain memperlakukan beliau dengan buruk. Namun, jika mereka mengusik agama dan keimanan, beliau akan sangat marah dan segera menimpakan hukuman yang berat.
Seorang syaikh kala itu, Abu Najib as-Suhrawardi, menceritakan:
“Pada tahun 523 H, dalam sebuah majelis yang dihadiri oleh Syaikh Hammad, guru Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengucapkan suatu pernyataan besar. Saat itu juga Syaikh Hammad menegur beliau: “Hai Abdul Qadir, kau berbicara terlalu lancing. Aku takut murka Allah akan menimpamu.”
Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menempelkan telapak tangan beliau ke dada Syaikh Hammad: “Lihatlah telapak tanganku dengan mata hatimu. Dan katakan tulisan yang terbaca di sana.”
Ketika Syaikh Hammad tak dapat menjawab, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengangkat tangannya lalu menunjukkan kepada Syaikh Hammad. Di sana nampak tulisan yang sangat jelas:“Ia (Syaikh Abdul Qadir al-Jailani) telah menerima tujuh puluh janji dari Allah bahwa ia tidak akan dimurkai.”
Manyaksikan itu, Syaikh Hammad berkata: “Takkan ada sedikitpun keburukan atas orang yang dikaruniai janji itu dari Allah. Tak seorang pun kesal kepadanya. Allah merahmati siapa saja yang dikehendakiNya diantara hamba-hambaNya.”

Para Pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Semua Mati dalam Keadaan Bertaubat

Dalam riwayat lain, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengatakan: “Tidak ada seorang pun pengikutku yang mati sebelum bertaubat. Mereka mati sebagai hamba yang beriman kepada Allah. Setiap satu orang pengikutku yang shaleh akan menyelamatkan tujuh orang saudaranya yang berdosa di api neraka. Seandainya ada aib salah seorang pengikutku, yang berada di bagian paling barat dunia, yang akan disingkapkan secara semena-mena, maka kami, meski berada di bagian paling timur dunia, akan menutupinya sebelum diketahui siapapun.”
“Aku dikarunia kitab. Tidak semua orang dapat melihatnya. Dalam kitab itu tercantum nama para pengikutku hingga hari kiamat. Dengan rahmat Allah akan kami selamatkan mereka. Beruntunglah orang yang pernah bertemu denganku. Aku prihatin kepada orang-orang yang tidak akan bertemu denganku.”
Semua orang yang dekat dengan beliau selalu merasakan ketenangan dan kebahagiaan. Seseorang pernah bertanya kepada beliau: “Kami tahu keadaan para pengikutmu yang shaleh dan apa yang telah disediakan bagi mereka di hari kiamat. Namun, bagaimana dengan pengikutmu yang berbuat maksiat?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Para pengikutku yang shaleh setia kepadaku. Dan aku setia untuk menyelamatkan mereka yang berbuat maksiat.”
Seorang wanita muda pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tinggal di Ceylon, suatu hari ketika melintas di tempat yang sepi, seorang laki-laki mencegat dan bermaksud memperkosanya. Dalam keadaan tak berdaya, wanita muda berteriak: “Wahai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani guruku tolonglah aku!”
Ketika itu di Baghdad, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sedang berwudhu. Orang-orang melihat beliau menghentikan wudhunya dan dengan marah beliaupun mencopot sandalnya lalu melemparkannya ke udara. Mereka tak melihat jatuhnya sandal itu. Ternyata sandal itu mengenai kepala si lelaki yang tengah menganiaya gadis itu dan menewaskannya. Konon, sandal itu kini masih ada di sana dan dijaga sebagai benda suci.
Aminnya Para Malaikat Didengar saat Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Mengimami Shalat
Sahl bin Abdullah at-Tustari meriwayatkan bahwa, pada suatu hari para pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di Baghdad mencari-cari guru mereka. Ke mana-mana mereka mencari namun tak juga diketemukan. Ketika seseorang mengatakan bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berjalan ke arah sungai Tigris, mereka bergegas ke sana. Setibanya di sana, mereka melihat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berjalan di permukaan sungai. Mereka melihat semua ikan muncul di permukaan dan menyalami Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Peristiwa ini terjadi pada waktu Dzuhur. Mereka melihat permadani luas terhampar di atas kepala mereka, dan menutupi angkasa. Pada permadani itu tertulis ayat dengan tinta emas dan perak: “Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Yunus ayat 62). “Para malaikat berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu) rahmat Allah dan keberkahanNya, dicurahkan atasmu hai Ahlul Bait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (QS. Hud ayat 37).
Layaknya permadani terbang Nabi Sulaiman As., permadani itu terbang melayang lalu turun ke tanah. Dengan rasa takjub , tenang dan tentram, orang-orang berjalan menuju permadani itu. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang tampak megah dengan pakaian yang indah juga melangkah ke arah permadani, lalu menjadi imam shalat.
Ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengangkat tangannya dan mengucapkan: “Allahu Akbar,” seluruh angkasa menggemakan kalimat yang sama. Ketika beliau shalat, para malaikat tujuh lapis langit secara tertib mengikuti beliau.
Ketika beliau mengucapkan: “Alhamdulillah,” sinar kehijauan memancar dari mulut beliau dan menyebar ke seluruh angkasa.
Di akhir shalat, seraya menengadahkan tangan beliau berdoa: “Ya Allah, demi leluhurku dan kekasihMu Muhammad Saw., dan demi para hambaMu yang bertakwa dan mencintaiMu, jangan cabut nyawa para pengikutku kecuali jika dosa-dosa mereka telah diampuni dan iman mereka telah disempurnakan.”
Semua hadirin mendengar para malaikat bersamaan berucap: “Aamiin.” Mereka mengikuti aminnya para malaikat. Lalu mereka semua mendengar suara dari dalam diri mereka sendiri: “Bergembiralah. Aku telah mengabulkan doamu.”
Rasulullah Saw. bersabda: “Syaikh yang sempurna laksana nabi bagi para pengikutnya. Dan sesungguhnya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani termasuk diantara syaikh yang sempurna yang telah membukkan pintu kebahagian dunia ini untuk para pengikutnya dan pintu surga di akherat kelak.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani telah berhasil menaklukan nafsunya dan telah berhasil menjadi manusia sempurna berkat ilham dan perintah Nabi Saw. Beliau menjadi guru yang punya hubungan kuat dengan manusia dan niat kuat meneladani Nabi Muhammad Saw.
Ketika Empat Istri Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Mengadu
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memiliki empat orang istri, yang semuanya sangat setia dan taat kepada beliau. Dari ke empat istri beliau, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memiliki 49 anak, 27 laki-laki dan 22 perempuan.
Suatu hari, istri-istri beliau mendatangi beliau dan berkata: “Wahai pemilik akhlak yang mulia, anak bungsumu wafat dan kami tak melihatmu menangis atau bersedih. Tidakkah kau menyanyangi orang yang menjadi bagian dari dirimu? Kami sangat berduka, tetapi engkau tetap sibuk dengan urusanmu seakan-akan tak ada yang terjadi. Kau adalah pemimpin, pembimbing dan harapan kami di dunia maupun di akherat. Tetapi, hatimu sekeras itu, bagaimana kami dapat bersandar kepadamu di hari kiamat dan berharap kau dapat menyelamatkan kami?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Sahabat-sahabatku tercinta, jangan pernah mengira hatiku keras. Aku mengasihi orang kafir karena kekafiran mereka. Aku mengasihi anjing yang menggigitku dan berdoa kepada Allah agar tidak menggigit orang lain dimana mereka akan melemparinya dengan batu. Tidaklah kalian tahu bahwa aku mewarisi kasih sayang dari orang yang telah diutus Allah sebagai rahmat bagi semesta alam?”
Para istri beliau berkata: “Engkau mengasihi bahkan kepada anjing yang menggigitmu, tetapi mengapa engkau tak menunjukkan rasa iba atas anakmu yang telah dipenggal pedang kematian?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Duh sahabat-sahabatku yang malang, kau menangis karena berpisah dengan anak yang kau cintai. Kau melihat anakmu dalam mimpi duniawi dan kau kehilangan dia dalam mimpi yang lain. Allah berfirman: “Dunia ini adalah mimpi.” Dunia ini adalah mimpi bagi orang-orang yang tidur. Sementara aku tetap terjaga. Aku melihat anakku ketika ia berada dalam lingkaran waktu. Kini, ia telah keluar dari lingkaran itu. Aku masih melihatnya, dan ia tetap bersamaku. Ia sedang bermain di dekatkku persis seperti saat-saat sebelumnya. Ketahuilah, jika kau melihat dengan mata hati, baik dalam keadaan hidup maupun mati, kebenaran tidak akan pernah hilang.”

Godaan Setan kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Dikisahkan bahwa pada suatu hari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan para pengikut beliau berjalan kaki di padang pasir dan saat itu padang pasir benar-benar panas. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bercerita:
“Aku merasa sangat lelah dan dahaga. Para pengikutku berjalan di depanku. Tiba-tiba sekumpulan awan muncul di atas kepala, seperti payung yang melindungi kami dari terik matahari. Di depan kami muncul sebuah mati air yang jernih dan sebatang pohon kurma penuh dengan buah yang telah masak.
Lalu, muncullah cahaya yang lebih terang dari matahari. Dari arah sinar itu terdengar suara:“Hai umat Abdul Qadir, akulah Tuhan! Makan dan minumlah, sebab telah kuhalalkan untukmu apa yang kuharamkan atas orang lain.”
Para pengikutku yang berada di depanku berlarian menuju mata air dan pohon kurma itu. Aku berteriak menghentikan mereka. Kutantang sinar itu seraya berteriak: “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk!”
Seketika, awan, cahaya, mata air dan pohon kurma itu lenyap. Setan itu berdiri di depan kami dengan rupa yang sangat buruk. Ia bertanya: “Bagaimana kau mengenaliku?”
Kukatakan pada setan terkutuk yang telah diusir dari rahmat Allah itu: “Firman Allah bukanlah dalam bentuk suara yang dapat didengar telinga. Selain itu, aku tahu hukum Allah bersifat tetap dan berlaku atas semua orang. Dia takkan mengubahnya atau menghalalkan yang haram bagi sekelompok orang yang disukaiNya.”
Mendengar ucapanku, setan menggoda agar aku menjadi angkuh: “Hai Abdul Qadir, aku telah memperdaya tujuh puluh nabi dengan muslihat ini. Sungguh ilmu dan kebijaksanaanmu lebih tinggi daripada nabi.”
Kemudian setan itu menunjuk ke arah pengikutku dan berkata: “Hanya sebanyak inikah pengikutmu? Seharusnya seluruh dunia menjadi pengikutmu karena kau laksana nabi.”
Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: “Aku berlindung darimu kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Bukan ilmu atau kebijaksanaanku yang dapat menyelamatkanku darimu, melainkan kasih sayang Allah.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memandang bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Beliau melakukan segala sesuatu hanya karena Allah, dan tidak menisbatkan sesuatupun pada makhluk, termasuk kepada beliau sendiri. Beliau selalu mengerjakan apa yang beliau katakan. Beliau anggap sama, baik pujian atau cercaan, manfaat atau mudharat. Ilmu beliau luas dan kebijaksanaan tinggi, bagi beliau, orang berilmu dan tak mengamalkan ilmunya laksana keledai yang membawa buku.”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan Ilmu Filsafat
Salah seorang syaikh yang sezaman dengan beliau, yaitu Syaikh Mudzaffar Manshur bin al-Mubarak al-Wasithi, meriwayatkan:
“Aku mengunjungi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bersama beberapa muridku. Aku membawa sebuah buku filsafat. Beliau menyalami dan memandang kami lalu berkata kepadaku:“Betapa kotor dan buruknya sahabat yang kau genggam itu. Pergi dan cucilah tanganmu.”
Aku terkejut mendengar ucapan marah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Tak mungkin beliau mengetahui isi buku yang memang kusukai dan nyaris kuhafal itu. Terlintas pikiran untuk berdiri dan menyembunyikan buku itu di suatu tempat untuk diambil kembali saat pulang.
Baru saja aku hendak bangkit, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menatapku tajam dan aku tak dapat berdiri. Beliau memintaku menyerahkan buku itu. Sebelum kuberikan, aku membukanya untuk terakhir kali. Namun, tak ada satupun hurup yang kulihat. Semuanya kosong. Putih. Semua yang tertulis di sana telah hilang.
Setelah menerima buku itu, beliau amati apa yang ada di dalamnya lalu menyerahkannya kembali kepadaku seraya berkata: “Inilah keutamaan al-Quran yang ditulis oleh Daris.”
Kuterima dan kubuka buku itu. Ternyata, buku filsafat itu telah diubah menjadi Fadhail al-Quran karya Ibn Daris, dengan tulisan yang sangat indah. Kemudian beliau berkata: “Maukah kau bertaubat dengan lisan dan hatimu?”
“Ya.” Jawabku.
“Berdirilah.”
Ketika aku bangkit, kurasakan semua ilmu filsafatku luruh dari fikiranku dan jatuh ke tanah. Tak satu pun kata mengenainya yang tersisa dalam fikiranku.”

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Dapat Membaca Pikiran Para Muridnya

Dikisahkan bahwa sekelompok orang berkumpul dekat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, berharap dapat mendengarkan ceramah beliau. Namun, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani duduk sangat lama tanpa berkata sepatah katapun. Jamaah juga duduk menanti dengan tenang.
Tiba-tiba mereka diliputi kenikmatan. Pikiran dan imajinasi mereka seakan-akan hilang. Lalu semuanya secara berbarengan memikirkan hal sama: “Apa yang tengah dipikirkan syaikh.”
Secepat pertanyaan itu muncul dalam pikiran mereka, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Baru saja seseorang tiba-tiba datang dari Makkah bertaubat di depanku lalu pulang kembali.”
Jamaah berfikir serentak: “Mengapa orang yang dapat terbang langsung dari Makkah ke Baghdad perlu bertaubat?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Terbang di udara adalah satu hal, namun merasakan cinta adalah hal lain. Aku telah mengajarinya bagaimana mencinta.”
Syaikh Abdullah Zayat mengkisahkan bahwa ketika itu tahun 560 H. Aku menjadi salah seorang murid di madrasah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Suatu hari, aku melihatnya pergi meninggalkan rumah dengan tongkat di tangannya. Aku berkata dalam hati: “Andai saja ia memperlihatkan keajaiban melalui tongkat itu.”
Tiba-tiba ia menoleh kepadaku, tersenyum, lalu mengetukkan tongkatnya ke pasir. Tiba-tiba tongkat berubah menjadi cahaya yang memancar ke langit, menyinari segalanya selama satu jam. Kemudian ia memegang cahaya itu, dan seketika berubah kembali menjadi tongkat. Beliau memandangku lagi dan berkata: “Hai Zayat, itukah yang kau inginkan?”

Riyadhah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Melalui diri beliau, lebih dari lima ribu orang Yahudi dan Kristen menjadi Muslim. Lebih dari seratus ribu bajingan, penjahat, pembunuh, pencuri dan perampok bertaubat dan menjadi orang shaleh. Beliau menuturkan bagaimana beliau mencapai keutamaan itu:
“Selama 25 tahun aku berkelana di padang sahara Irak. Aku tidur di reruntuhan bangunan. Selama 12 tahun aku menyepi di sebuah reruntuhan kastil di Sahara Syustar, yang berjarak 12 hari perjalanan dari Baghdad. Aku berjanji kepada Tuhanku bahwa aku tidak akan makan dan minum sebelum meraih kesempurnaan ruhani.
Pada hari ke-40, seseorang datang membawa setumpuk roti dan makanan, kemudian meletakkannya di depanku. Lalu ia menghilang. Tubuhku berteriak: “Aku lapar, aku lapar!”
Nafsuku berbisik: “Janjimu telah kau tepati. Mengapa kau tidak makan?” Tetapi aku tidak melanggar sumpahku kepada Allah.
Saat itu Abu Sa’id al-Muharrami lewat di hadapanku. Ia mendengar jeritan lapar tubuhku, meski aku tidak mendengarnya. Ia menghampiriku dan ketika melihat keadaanku yang lemah, ia berkata: “Apa yang kulihat dan kudengar ini, wahai Abdul Qadir?”
Jawab Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: “Jangan hiraukan wahai sahabatku. Itu hanyalah suara nafsu yang menantang dan tidak setia. Padahal jiwaku tunduk kepada tuhanku dengan keadaan gembira, tenang dan bahagia.”
“Datanglah ke madrasahku di Bab al-Azj,” pinta Abu Sa’id.
Aku tak menjawabnya, namun dalam hatiku berkata: “Aku takkan meninggalkan tempat ini hingga datang perintah Allah.”
Tak lama setelah itu, Nabi Khidhir datang dan berkata: “Pergilah dan ikutlah bersama Abu Sa’id.”
Setelah menerima perintah itu, aku pergi ke Baghdad, ke madrasah Abu Sa’id. Kudapati ia sedang menungguku di depan pintu. “Aku telah memintamu untuk dating,” katanya. Lalu ia memberiku jubah darwis. Sejak saat itu, aku tak pernah meninggalkannya.
Selama 40 tahun aku tak pernah tidur malam. Aku mendirikan shalat dengan wudhu shalat Tahajudku . Aku membaca al-Quran setiap malam untuk menghilangkan kantuk. Aku berdiri dengan satu kaki dan bersandar ke dinding dengan satu tangan. Aku tidak beranjak dari posisiku hingga khatam al-Quran.
Ketika rasa kantuk tak dapat kutahan, satu suara akan menyeru dan mengejutkan seluruh tubuhku: “Hai Abdul Qadir, aku tidak menciptakanmu untuk tidur! Kau bukan apa-apa. Kuberikan kepadamu kehidupan. Karena itu, meskipun kau hidup, kau tidak mengenal kami.”
Suatu hari, seseorang bertanya: “Wahai Abdul Qadir, kami mendirikan shalat, berpuasa dan menaklukkan nafsu sepertimu. Mengapa kami tidak menerima tingkatan ruhani yang tinggi dan mendapatkan karamah sepertimu?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Pantas saja, kau hanya berusaha menyaingiku dalam amal. Kau kira telah melakukan apa yang kulakukan, padahal kau hanya meniruku. Kau mencerca Allah karena tidak memberimu imbalan yang sama. Allah adalah saksiku ketika aku tak makan dan tak minum kecuali jika Penciptaku memerintahkanku. Makan dan minumlah, kau berhak atasnya karena aku dan demi tubuh yang telah kuberikan kepadamu. Tak pernah kulakukan sesuatupun tanpa perintah Tuhanku.”
Ketika Hujan Takut kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Ali bin Musafir menuturkan: “Bersama ribuan orang lainnya, aku berkumpul untuk mendengarkan ceramah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di tempat terbuka. Ketika ia berbicara, hujan turun lebat dan sebagian orang mulai meninggalkan majelis. Langit tertutup awan pekat. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani lalu menengadahkan tangannya seraya berdoa: “Ya Allah, aku telah berusaha mengumpulkan manusia demi Engkau, apakah Engkau menjauhkan mereka dariku?”
Tak lama kemudian hujan pun berhenti. Tak ada setetes pun air hujan turun hingga Syaikh Abdul Qadir al-Jailani selesai berceramah, meskipun di luar tempat kami berkumpul hujan turun dengan derasnya.
Takluknya Orang Terkaya Baghdad di Hadapan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Dikisahkan bahwa Abdus Shamad bin Humam termasuk orang terkaya di Baghdad. Ia dikenal sangat cinta dunia, sombong dan takabur. Ia bangga telah memiliki dunia dan banyak orang yang bekerja kepadanya, ia mengira dapat menguasi dan memerintah mereka untuk melakukan apa saja sesenang hatinya.
Sebagai materialis sejati, ia terang-terangan tidak menyukai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan mengingkari karamahnya. Ia menuturkan pengalamannya berikut ini:
“Sebagaimana kalian ketahui, aku tak pernah menyukai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Meskipun kekayaanku berlimpah dan aku dapat memiliki apapun yang aku inginkan, aku tak pernah merasa puas senang dan tenang.
Pada suatu Jum’at, ketika aku lewat di dekat madrasahnya, aku mendengar adzan. Aku berkata dalam hati: “Apa sih keunggulan orang ini, yang telah menarik perhatian banyak orang melalui karamahnya? Aku akan shalat Jum’at di masjidnya!”
Masjid itu telah penuh sesak. Aku merengsek menerobos kerumunan orang dan kuperoleh tempat persis di bawah mimbar. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mulai menyampaikan khutbahnya dan apapun yang dikatakannya membuatku jengkel.
Tiba-tiba aku merasa mulas ingin buang hajat. Tetapi aku tak dapat keluar dari masjid. Aku takut dan sangat malu, karena rasa mulas itu tak dapat kutahan.perasaan jengkelku kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani kian menjadi-jadi.
Namun, ketika aku dibasahi keringat dingin karena malu dan menahan mulas, pelan-pelan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menuruni tangga mimbar dan berdiri di atasku. Seraya berkhutbah, ia menutupiku dengan bagian bawah jubahnya. Tiba-tiba saja aku telah berada di lembah yang hijau dan indah. Kulihat sebuah sungai kecil yang mengalirkan air yang jernih. Segera saja aku buang hajat lalu membersihkan diri dan berwudhu. Setelah itu, kudapati diriku kembali berada di bawah jubah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Ia pun kembali ke atas mimbar.
Aku sangat takjub. Tidak hanya perutku yang merasa nyaman, hatiku pun merasa tentram, semua kejengkelan, amarah dan kekesalan sirna sudah.
Usai shalat, aku keluar dari masjid dan pulang. Di tengah jalan, aku sadar bahwa kunci lemariku hilang. Aku kembali ke masjid dan mencarinya, namun tak kutemukan.
Keesokan harinya aku harus melakukan perjalanan niaga. Tiga hari perjalanan dari Baghdad. Kami tiba di sebuah lembah yang sangat indah. Seakan-akan dituntun ke tepi sungai yang sangat jernih. Aku langsung teringat bahwa di sinilah aku buang hajat dan membersihkan diri. Kini, sekali lagi kubersihkan diri. Dan ternyataa, di sana kutemukan kembali kunci lemariku. Sekembali ke Baghdad, aku menjadi pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Menghidupkan Tulang Belulang

Karena terpikat oleh ketenaran Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, seorang perempuan dari Baghdad memutuskan untuk menitipkan anaknya kepada beliau. Ia mengantarnya kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan berkata: “Kuserahkan anakku kepadamu. Anggaplah ia sebagai anakmu sendiri, dan besarkanlah ia seperti dirimu.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menerimanya dan mulai mengajarkan kebaikan, kesederhanaan dan penaklukan hawa nafsu.
Selang beberapa waktu, si ibu datang melihat keadaan anaknya yang ternyata bertubuh kurus, pucat dan tengah makan roti kering. Ia marah dan meminta bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Sang ibu melihat syaikh berpakaian rapi, duduk di ruang yang menyenangkan dan tengah memakan daging ayam.
“Sementara kau makan daging ayam! Anakku yang malang yang kutitipkan kepadamu tengah mengunyah sepotong roti kering.” cercanya.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani meletakkan tangannya di atas tulang ayam lalu berkata:“Dengan nama Allah yang membangkitkan tulang dari debu, hiduplah!”
Lalu beliau angkat tangannya dan ayam itupun hidup lalu berlari ke atas meja seraya berkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menoleh ke arah perempuan itu dan berkata: “Jika anakmu dapat melakukan hal ini, ia dapat makan apapun yang diinginkan.”
Kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Lebih Tinggi Daripada Leher Semua Wali
Suatu malam, lima puluh syaikh terkemuka pada zamannya di Baghdad berkumpul di rumah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Termasuk diantaranya adalah al-Hafidz Abu al-Izz Abdul Mughits bin Harb, yang menuturkan kisah berikut:
“Malam itu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tengah mendapatkan ilham. Mutiara hikmah berhamburan dari mulutnya. Kami benar-benar merasa tenang dan khusyuk, perasaan yang tak pernah kami alami sebelumnya.
Tiba-tiba Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menunjuk ke arah kakinya dan berkata: “Kaki ini lebih tinggi daripada leher semua wali.”
Tak lama kemudian, salah seorang muridnya, Syaikh Ali bin al-Hili, merunduk ke kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Ditempelkannya kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ke lehernya, lalu kami semua mengikutinya.
Diantara hadirin yang lainnya, yakni Syaikh Abu Sa’id al-Kailawi berkata: “Kaki ini lebih tinggi daripada leher wali.”
Kurasakan kebenaran Allah mewujud dalam hatiku, aku melihat semua wali di dunia berdiri di hadapannya, menutup seluruh penglihatanku. Semua yang hidup hadir secara jasmani, semua wali yang sudah meninggal hadir secara ruhani, langit dipenuhi malaikat dan makhluk ghaib lainnya. Sejumlah malaikat turun dan memberi jubah Rasulullah kepadanya. Lalu kami mendengar suara berkata:
“Hai penguasa zaman dan pembimbing agama, wahai pengamal firman Allah Yang Maha Pengasih, wahai pewaris kitab suci, penerus Rasulullah, wahai orang yang diserahkan kepadanya kekuatan langit dan bumi, yang doanya dikabulkan, jika ia meminta hujan hujan akan turun, wahai yang dicintai dan dimuliakan seluruh makhluk.”
Usai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyampaikan ucapannya itu, bukan hanya orang-orang yang ada di hadapan beliau, melainkan semua ulama merasakan bertambahnya ilmu mereka, kebijaksanaan mereka, cahaya Ilahi dalam hati mereka, dan tingkatan ruhani mereka.
Ketika kejadian ini tersiar luas di seluruh dunia Islam, semua syaikh dan guru bersujud untuk menghormati dan menerima kepemimpinannya. Orang-orang yang berbuat dosa datang kepada beliau untuk bertaubat dan disucikan kembali. Para bajingan, pencuri dan penjahat datang kepada beliau lalu menjadi pengikut beliau. Dan beliau menjadi pusat kutub ruhani.
313 wali pada zaman itu, termasuk diantaranya 17 orang yang tinggal di kota suci Makkah, 60 di Irak, 40 di Iran, 20 di Mesir, 30 di Damaskus, 11 di Abissinia, 7 di Ceylon, 27 di barat, 47 di daerah terpencil di gunung Qaf, 7 di kawasan Ya’juj dan Ma’juj, dan 24 di belahan dunia lainnya hingga di lautan. Semuanya patuh dan tunduk, kecuali satu orang Persia.

Syaikh Persia Kuwalat karena Kesombongannya kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Syaikh Persia ini dikenal sangat tekun beribadah. Ia mendirikan shalat lebih banyak dari siapapun dan terus-terusan berpuasa. Ia sering beribadah haji ke Makkah. Ia sangat mendambakan ridha Allah. Selama lima puluh tahun ia mengasingkan diri bersama empat ratus orang muridnya, yang dilatih siang dan malam untuk menyempurnakan diri. Ia banyak memiliki ilmu dan karamah.
Ketika ucapan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sampai kepadanya. Ia tengah menunaikan ibadah haji bersama murid-muridnya, di kota suci Makkah. Entah meremehkan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani atau mengagungkan dirinya sendiri, ia menolak menghormati dan memuliakan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Malam harinya, ia bermimpi meninggalkan Makkah menuju Bizantium dan di sana ia menyembah berhala. Karena sedih mendapatkan mimpi itu, ia kumpulkan semua murid-muridnya dan mengatakan ia harus pergi ke Bizantium untuk menyingkap makna mimpinya. Mereka mengikutinya dengan setia.
Ketika memasuki kota itu, ia melihat seorang gadis cantik berdiri di balkon. Rambut gadis itu hitam sepekat malam, matanya laksana dua purnama dengan alis mata tebal melengkung bagaikan bulan sabit kembar, parasnya memikat para pecinta, bibirnya merah delima tampak basah dan lembut. Melihat gadis itu, hati ia terbakar birahi. Lekat-lekat ia menatapnya, hasratnya membara meruapi rongga dadanya. Karena cintanya kepada gadis itu, agama dan iman tersingkir dari hatinya. Kecantikan gadis itu benar-benar menjadi pemuas nafsu iblis.
Ia berdiri di depan pintu gadis kafir itu dengan mulut terbuka seraya menatap lekat-lekat ke arah balkon, berharap dapat melihatnya lagi. Pikirannya terkoyak. Puasa yang dilakoni bertahun-tahun dan menguruskan badannya tak dapat membandingkan derita yang dialami kini, begitu pikirnya. Ia kerahkan segenap pengetahuan dan akalnya untuk memahami keadaan ini, namun semua pengetahuan telah sirna meninggalkan dirinya.
Dengan rasa takut segan, murid-muridnya memohon kepadanya untuk pergi bertaubat dan berdoa. Ia menjawab bahwa sekira ia harus bertaubat, ia akan bertaubat dari kebodohan telah menyisihkan dunia dan kesenangan hanya karena agama. Jika diharuskan berdoa, ia akan memohon kepada gadis itu daripada kepada Allah.
Ketika diperingatkan akan adzab Allah dan neraka, ia bilang bahwa perpisahan dengan gadis yang dicintainya dan api cinta dalam hatinya dapat memadamkan tujuh neraka. Mereka berusaha keras membujuk ia. Namun, melihat upaya mereka sia-sia, mereka pun meninggalkannya.
Syaikh itu diam sebulan suntuk di depan pintu pelacur kafir itu. Debu menjadi kasurnya dan anak tangga sebagai bantalnya. Ia tidur di jalanan bersama anjing-anjing kudisan.
Akhirnya, si cantik kafir itu membukakan pintu dan berkata: “Hai orang tua yang mengaku syaikh muslim, kau telah dimabuk kemusyrikan yang membuatmu melakukan kebodohan ini di jalan kafir.”
Ia berkata: “Akan kuserahkan bukan hanya agamaku, melainkan juga jiwaku asal aku dapat menyentuh bibirmu.”
“Sungguh memalukan, kau orang tua budak nafsu. Betapa beraninya kau menciumku sementara kau sudah nyaris masuk liang kubur. Pergilah! Tak sudi aku menyentuhmu.”
Tanpa memperdulikan caci maki gadis itu, ia tetap berdiam di depan pintu. Lalu, gadis itu turun lagi dan berkata kepadanya: “Jika kau sungguh-sungguh mencintaiku, kau harus keluar dari Islam, membakar al-Quran, menyembah berhala dan minum arak.”
Ia berkata: “Aku tak dapat sepenuhnya meninggalkan Islam dan membakar al-Quran, tetapi aku bersedia minum arak demi kecantikanmu.”
“Kalau begitu, mari minum bersamaku, pasti kau akan mau melakukan permintaanku yang lainnya.”
Ketika gadis itu menuangkan arak, hati dan pikirannya menyala-nyala. Ia mencoba mengingat al-Quran yang pernah dihafalnya, kitab-kitab yang pernah dibaca, namun tak ada sedikit pun yang diingatnhya . Dalam keadaan mabuk ia berusaha menyentuh gadis itu. Namun, gadis itu menampiknya: “Tidak, kecuali jika kau menjadi orang kafir sepertiku dan membakar kitab sucimu.”
Ia turuti permintaan pelacur itu. Dilemparkannya al-Quran dan jubah sufinya ke dalam api, lalu ia menyembah berhala. Sekali lagi ia berupaya menyentuh gadis itu. Namun, sekali lagi gadis itu menolaknnya: “Sungguh kau tua bangka budak nafsu yang tak tahu diri. Kau sama sekali tak punya harta, bukan pula orang yang tenar. Bagaimana mungkin gadis sepertiku mau melayani pengenis jorok sepertimu? Aku butuh , emas, perak dan sutera. Karena kau tak punya apa-apa enyah saja kau dari hadapanku!”
Waktu terus berlalu, ia masih saja berdiri di depan pintu rumah gadis itu. Akhirnya, suatu hari, gadis itu menyerahkan dirinya sambil berkata: “Bayarlah aku, hai orang tua yang malang, dengan menjadi penggembala babi-babiku selama satu tahun.”
Tanpa daya, ia pun menjadi penggembala babi.

Wanita Kafir yang Mereguk Manisnya Iman di Akhir Hayatnya

Berita sedih mengenai syaikh yang tidak menghormati Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pun tersebar luas. Murid-muridnya yang meninggalkan dirinya telah tiba di Baghdad. Mereka berusaha menemui Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Usai menceritakan keadaan guru mereka, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Jika seseorang tidak tunduk dan menjadi seekor kambing bagi seorang penggembala, ia akan menjadi penggembala sekumpulan babi. Ketahuilah, setiap orang memiliki seribu babi, yakni seribu berhala di hatinya, yang hanya dapat diusir dengan ketundukan dan pertaubatan.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani juga memarahi mereka karena meninggalkan guru mereka. Kemudian Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berdoa bagi orang tua yang sesat itu dan meminta para muridnya untuk kembali ke Bizantium dan memberitahu guru mereka bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memintanya untuk kembali.
Murid-muridnya langsung pergi ke Bizantium. Sepanjang jalan mereka selalu berdoa bagi guru mereka. Mereka berpuasa dan berdoa memohon kepada Allah untuk memberikan pahala mereka untuk guru mereka. Mereka bershalawat kepada Rasulullah Saw. dan meminta syafaatnya.
Anak panah doa itu melesat mencapai sasaran. Ketika bertemu dengan orang tua itu, mereka melihatnya bercahaya di tengah kumpulan babi. Dan ketika diberitahukan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memintanya menghadap, segera ia campakkan pakaian kekafiran. Air mata penyesalan mengalir deras, dan ia angkat tangan ke langit untuk bersyukur. Seketika itu juga semua yang telah dilupakannya, al-Quran dan rahasia Ilahi, kembali kepadanya. Kini ia terbebas dari kehinaan dan kebodohan, setelah itu ia mandi berwudhu dan berangkat ke Baghdad.
Ketika peristiwa itu berlangsung, gadis kafir itu bermimpi melihat cahaya turun kepadanya dan mendengar suara berkata: “Ikutilah syaikhmu. Anut agamanya, jadilah debu di kakinya. Kau yang pernah kotor, jadilah sesuci dia. Kau yang telah menariknya ke jalanmu, kini masuklah ke jalannya.”
Ketika bangkit dari tidur, ia rasakan perubahan pada dirinya, ia berlari menyusul syaikh dan murid-muridnya. Tanpa makan dan minum, melewati lembah dan pegunungan. Akhirnya, di tengah-tengah padang sahara , ia jatuh ke tanah, ia berdoa: “Wahai Dzat yang telah menciptakan aku, ampuni aku, jangan hukum aku. Aku telah menantang agama dan jalanMu. Namun kulakukan itu karena kebodohanku, sebagaimana syaikhku melakukannya karena kesombongan. Kau telah mengampuninya. Kini ampunilah aku. Aku tunduk dan menerima agama yang benar.”
Allah memungkinkan syaikh , yang memang belum terlalu jauh, mendengar ucapannya sehingga ia dan murid-muridnya segera kembali dan mendapatinya tengah berbaring. Wanita itu berkata: “Kau telah membuatku malu. Ajari aku Islam agar aku dapat bertemu dengan Tuhanku melalui agama ini.”
Ketika syaikh menjadi saksi atas keimanannya dan para muridnya menangis haru, wanita itu hembuskan nafas terakhirnya. Wanita itu, yang tak lebih dari setetes air di samudera khayal, telah berpulang ke samudera sejati. Syaikh itu pun datang ke Baghdad lalu menundukkan lehernya dengan penuh hormat di bawah kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Pengaruh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Seiring dengan semakin meluasnya pengaruh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ke seluruh dunia, banyak murid beliau meraih kedudukan penting, dan banyak penguasa menjadi muridnya. Ia menugaskan sebagian muridnya untuk menjadi wakilnya sesuai dengan kemampuan, kualitas batin dan tingkatan ruhaninya masing-masing. Sebagian mereka diangkat sebagai guru ruhani dan sebagian lainnya menjadi hakim. Bahkan, tidak sedikit yang diangkat sebagai gubernur dan raja.
Dikisahkan bahwa ada seorang fakir yang telah mengabdi sebagai pembantu di rumah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani selama empat puluh tahun. Selama itu, ia telah menyaksikan beberapa murid yang jauh lebih muda darinya dan belum lama mengabdi, telah ditunjuk Syaikh Abdul Qadir al-Jailani untuk menempati jabatan penting. Suatu hari ia menghadap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan mengajukan permohonan. Ia telah mengabdi kepada syaikh selama bertahun-tahun dan kini usianya semakin tua. Mengapa ia belum juga ditunjuk untuk menempati pos penting seperti murid yang lain.
Belum lagi ia tuntas menyampaikan maksudnya, satu utusan dari India datang. Mereka ingin Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menunjuk seorang maharaja bagi kerajaan mereka. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menatap pembantunya itu dan berkata: “Apakah engkau menyukai jabatan ini? Apakah engkau memenuhi syarat?” Pelayan itu mengangguk kegirangan.
Ketika para utusan itu keluar rumah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata kepada pembantunya: “Aku akan mengangkatmu sebagai raja di sana dengan syarat kau harus berjanji untuk memberikan kepadaku separuh dari keuntungan dan kekayaan yang kau peroleh selama berkuasa.” Tentu saja pelayan itu menyanggupinya.
Orang tua itu bekerja di rumah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai juru masak. Hari itu, ia harus mengaduk hidangan yang akan disajikan. Setelah berbicara dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, ia kembali ke dapur untuk mengaduk makanan itu di sebuah kuali raksasa dengan sendok kayu. Di tengah pekerjaan itu ia dipanggil untuk pergi bersama para utusan itu ke India sebagai raja mereka.
Di negeri itu, ia dinobatkan sebagai raja. Ia dapatkan kekayaan berlimpah, ia bangun banyak istana untuk dirinya sendiri, ia menikah dan punya seorang anak laki-laki. Ia sepenuhnya telah melupakan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan janji yang diucapkannya.
Pada suatu hari, ia menerima pesan bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani akan datang mengunjunginya. Ia bersiap-siap menyambut kedatangan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Setelah upacara, prosesi dan pesta yang megah, mereka berbincang berdua. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengingatkan kesepakatan mereka, yaitu bahwa ia harus memberikan separuh dari semua keuntungan yang dikumpulkannya selama berkuasa. Maharaja itu jengkel ketika diingatkan akan janjinya. Kendati demikian, ia berjanji esok lusa ia akan menyerahkan separuh dari semua kekayaannya kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Keserakahan yang bertambah seiring bertambahnya kekayaan tak membiarkannya membuat daftar kekayaan dengan jujur. Tepat pada hari yang direncanakan, ia membawa daftar kekayaanya itu yang menyerahkan kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Meski daftar itu mencantumkan banyak istana dan kekayaan, semua itu hanyalah sebagian kecil dari kekayaan yang sesungguhnya.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tampak puas dengan bagian yang diperolehnya. Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Kudengar kau juga memiliki seorang anak laki-laki.”
“Iya, sayangnya cuma seorang. Sekiranya ada dua, tentu akan kuberikan salah seorangnya kepadamu.”
“Tidak apa-apa, bawalah anak itu.” Tukas Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. “Kita tetap dapat membaginya.”
Anak itu dibawa di hadapan mereka. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menghunus pedangnya yang tajam tepat di atas bagian tengah kepala anak itu. “Kau akan mendapatkan separuhnya dan separuhnya lagi menjadi bagianku!” kata Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Sang ayah yang ketakutan, menghunus belatinya dan kedua tangannya ditusukkan ke dada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Ia lakukan itu dengan mata terpejam. Ketika membuka matanya, ternyata ia sedang mengaduk makanan di kuali besar dengan sendok kayu. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menatapnya dan berkata: “Seperti kau lihat sendiri, kau belum siap menjadi wakilku. Kau belum memberikan segalanya, termasuk dirimu, kepadaku.”

Sepenuh Hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Diperuntukkan kepada Allah dan RasulNya

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani telah menyerahkan dirinya kepada Allah. Malam beliau lalui dengan sedikit atau bahkan tak tidur sama sekali untuk Tahajjud dan tafakur. Sebagai pengikut setia Rasulullah Saw., beliau gunakan waktu siangnya untuk mengabdikan diri kepada umat manusia. Tiga kali dalam seminggu beliau berceramah di hadapan ribuan orang.
Setiap pagi dan sore beliau mengajar tafsir, hadits, tauhid, fiqih dan tasawuf. Usai shalat Dzuhur, beliau mengisi waktu dengan memberi nasehat kepada umat, baik pengemis maupun raja, yang datang dari belahan dunia. Sebelum Maghrib baik ketika hujan maupun cerah, beliau telusuri jalan-jalan untuk membagikan roti kepada kaum fakir.
Karena berpuasa nyaris sepanjang tahun, beliau hanya makan sekali dalam sehari setelah shalat Maghrib dan tak pernah sendirian. Para pelayan beliau berdiri di depan pintu seraya bertanya kepada setiap orang yang lewat apakah mereka lapar dan meminta mereka untuk makan bersama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Kewafatan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani wafat pada hari Sabtu tanggal 8 Rabiu’ts Tsani tahun 562 H/1166 M. Makam beliau yang dirahmati, yang terletak di Madrasah Bab ad-Darajah di Baghdad telah menjadi tempat ziarah penting bagi kaum Muslimin, dan khususnya kaum sufi.
Ketika beliau sakit, putra beliau, Abdul Aziz melihatnya meringis menahan sakit yang luar biasa. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bergulingan di atas tempat tidur. “Jangan cemaskan aku.”Kata beliau kepada putranya. “Aku telah tengah berubah terus menerus dalam pengetahuan Allah.”
Ketika putra beliau, Abdul jabbar, menanyakan bagian mana tubuhnya yang teras sakit, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Semuanya, kecuali hatiku. Tak ada sakit sedikitpun pada bagian ini karena ia bersama Allah.”
Putra beliau yang lain, Abdul Wahab, berkata kepada beliau: “Berilah aku nasehat terakhir yang dapat kuamalkan setelah ayah wafat.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Takutlah hanya kepada Allah. Berharaplah kepada Allah, dan sampaikan segala kebutuhanmu kepadaNya. Jangan berharap atau menghendaki sesuatupun dari selain Allah. Bertawakallah hanya kepada Allah, bersatulah denganNya, bersatulah denganNya.”
Sebelum wafat, beliau memandangi sekeliling dan berkata kepada orang-orang yang hadir: “Mereka yang tak pernah kalian lihat telah datang kepadaku. Berikan ruang dan bersikap santunlah kepada mereka. Aku adalah isi tanpa kulit. Kalian melihatku bersama kalian, padahal aku bersama yang lain. Tinggalkan aku sendiri.”
Kemudian beliau berkata: “Wahai malaikat maut, aku tak takut kepadamu atau apapun selain Allah yang telah menemaniku dan bersikap baik kepadaku.”
Pada detik-detik terakhir, beliau angkat tangannya dan berkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Segala puji bagi Allah, Yang Maha Suci, Maha Hidup. Segala puji bagiNya, Yang Maha Kuasa, yang mengalahkan hambaNya dengan kematian.”
Setelah menyeru: “Allah, Allah, Allah,” ruh beliau pun pergi meninggalkan jasad beliau.
Semoga Allah meridhai ruh beliau dan ruh beliau memberi barakah kepada kita semua. Aamiin.


Link asal klik di sini:

Tidak ada komentar:

Hukum “Pedekate” dengan Facebook dan Alat Komunikasi / sosmed Lainnya

Assalamualaikum wr.wb. Berikut ini adalah salah satu hasil bahtsul masail diniyyah atau pembahasan masalah keagamaan oleh Forum Musyawarah P...