Rabu, 13 November 2013

Hukum Walimah dan Memenuhi Undangan (Qurrat al-'Uyun Syarh Nadzm Ibnu Yamun)

Kemudian Ibnu Yamun memberi isyarah pada apa apa yang di perlukan dalam walimah (pesta pernikahan) dengan ucapannya:

وليولمن صاح ولو بشاة # كما اتى نقلا عن الرواة

“Hendaklah melakukan walimah wahai pemuda, walaupun hanya dengan seekor kambing. Sebagaimana keterangan yang diambil dari para perawi (hadits).”

Syaikh Ibnu Yamun menjelaskan bahwa walimah itu diperlukan. Mengenai apa hukum walimah itu wajib atau sunnah, ada dua pendapat:

1. Sunnah

Pendapat yang pertama mengatakan: “Disunahkan walimah setelah melewati malam pertama (setelah bersetubuh), dan sudah terpenuhi kesunnahan tersebut dengan sesuatu yang ia sanggup atasnya, selagi sesuatu tersebut tidak berlebihan dan sia-sia.

Paling sedikit walimah itu dengan menyembelih seekor kambing, karena ada hadits riwayat Imam Bukhari dari Anas Ra., ia berkata: “Nabi Saw. tidak mengadakan walimah dengan menggunakan sesuatu dari semua istri-istri beliau, melebihi walimah yang diadakan ketika menikah dengan Zainab Ra. Yaitu beliau Saw. mengadakan walimah dengan menyembelih seekor kambing.”

Dalam hadits dari Anas Ra., ia berkata: “Abdurrahman bin Auf Ra. datang kepada Rasulullah Saw. di saat dirinya masih ada bekas-bekas kuning. Lalu Nabi Saw. menanyakannya dan dia pun menjawab bahwa ia baru saja menikah dengan wanita dari golongan Anshar. Nabi Saw. kemudian bertanya: “Engkau memberi mas kawin kepadanya?”

Abdurrahman Ra. menjawab: “Mas kawin yang saya berikan kepadanya berupa emas seberat biji kurma.”

Rasulullah Saw. bersabda: “Buatlah walimah, walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing. Apabila kamu tidak mampu, maka adakanlah walimah dengan 2 mud gandum.”

Dan dengan 2 mud gandum inilah jumlah minimal yang digunakan untuk walimah oleh Nabi Saw. ketika menikahi istri-istri beliau.

Dalam Shahih Bukhari dari Shafiyah binti Syaibat Ra. ia berkata: “Nabi Saw. mengadakan walimah ketika menikah dengan sebagian istri-istri beliau cukup dengan dua mud gandum. Beliau Saw. juga mengadakan walimah dengan Shafiyah binti Huyai dengan menggunakan haes, yaitu bubur samin, kurma dan susu kental.”

Disebutkan dalam syair nadzam berikut:

“Bubur samin, kurma dan susu kental, itu namanya haes. Hanya saja haes tidak kental.”

Dalam Shahih Bukhari dari Anas Ra. ia berkata: “Nabi saw. tinggal di antara tanah Khaibar dan Madinah selama tiga hari dan mendukhul Shafiyah binti Huyai pada malam ketiga. Maka saya mengundang kaum Muslimin untuk mendatangi walimah beliau Saw. Di dalam walimah itu tidak ada roti dan juga daging. Beliau Saw. merintahkan untuk mengambil wadah besar dari kulit, kemudian diberi susu kental dan kurma, maka itulah walimah beliau. Kaum Muslimin saling bertanya-tanya: “Apakah Shafiyah binti Huyai termasuk Ummul Mukminin atau hamba sahaya beliau?”

Diantara mereka ada yang berkata: “Apabila nanti beliau menutupi Shafiyah dengan kain satir, maka Shafiyah termasuk Ummul Mukminin. Tapi jika beliau Saw. tidak menutupinya, maka Shafiyah termasuk hamba sahaya.”

Ketika berangkat, beliau Saw. membuatkan tempat duduk untuk Shafiyah di belakang Rasulullah Saw. Dan beliau Saw. menjulurkan hijab antara dirinya dan Shafiyah dan kaum Muslimin.”

Dan dari sebagian ulama, sesuatu yang dianjurkan di dalam walimah adalah, hendaklah walimah diniatkan bertujuan mengikuti sunnah Nabi Saw. serta menghibur para teman. Dan juga hendaklah ia memberi makanan tersebut kepada orang yang baik-baik (shaleh) saja, jangan kepada orang yang tidak baik (fasiq). Sebagaimana syair nadzam berikut:

“Khususkanlah undanganmu kepada orang-orang yang baik (shaleh), undanglah mereka. Dan tinggalkanlah orang-orang fasiq, maka kamu akan mendapat petunjuk di dalam beramal.”

Dari Imran bin Hasini Ra. ia berkata: “Rasulullah Saw. melarang mendatangi undangan untuk makan bersama orang-orang fasiq.”

Dalam undangan walimah hendaklah hendaklah tidak mengabaikan para kerabat dan sahabat karib. Sebab, mengkhususkan undangan hanya untuk sebagian kerabat atau sahabat, akan menimbulkan rasa kurang enak dan kecurigaan.

Menurut pendapat yang masyhur, mendatangi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun dalam keadaan puasa. Sedang menurut pendapat yang lain mengatakan hukumnya sunnah, karena ada sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Ra.:

“Apabila salah seorang diantara kalian diundang untuk menghadiri walimah, maka hendaklah mendatanginya. Apabila tidak sedang puasa, makanlah. Dan jika sedang puasa, maka tinggalkanlah makanan itu. Dan barangsiapa masuk ke tempat walimah tanpa diundang, maka dia masuk seperti halnya pencuri dan keluar dengan membawa kekacauan.”

Rasulullah Saw. juga bersabda: “Sejelek-jelek makanan suguhan adalah makanan yang disuguhkan pada waktu walimah, dimana undangan hanya dikhususkan untuk orang-orang kaya saja dan tidak mengundang orang-orang fakir. Barangsiapa tidak menghadiri undangan walimah, maka ia berdosa kepada Allah dan RasulNya.”

Akan tetapi wajibnya mendatangi undangan bila syarat-syaratnya telah terpenuhi, diantaranya adalah:

1. Bila tidak ada orang yang menyakitinya di tempat walimah tersebut.
2. Tidak ada kemungkaran di dalamnya, seperti tuan rumah menggunakan permadani sutra.
3. Atau di dalamnya ada hiburan yang bertentangan dengan syariat Islam.
4. Bercampurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.

Dan syarat-syarat tersebut di atas telah dinadzamkan dalam syair oleh Syaikh Abu Abdillah Sayyidi Muhammad at-Tawudi bin Saudah:

“Bagi Muslim yang diundang (wajib menghadiri undangan) jika, jalan tidak berlumpur. Atau tidak ada yang menghalang-halangi atau khalayak ramai tidak memperhatikan orang yang sedang makan.
Atau walimah diadakan dengan maksud kemegahan. Atau para tamu undangan makan bawang putih dan bawang merah sehingga menyebabkan bau mulut.
Atau bercampurnya laki-laki dan perempuan. Atau yang mengundang terkenal buruk tingkah lakunya.
Atau hadirnya wanita yang bukan mahram. Atau anak muda belia, yang dikhawatirkan bisa menjerumuskan ke dalam perbuatan dosa.
Jika mendapat dua undangan, dahulukanlah yang pertama. Jika bersamaan, dahulukanlah yang lebih dekat rumahnya.”

Dan diantara etika mendatangi undangan walimah adalah tidak bermaksud mencari kesenangan nafsu perut belaka, tapi harus mempunyai niat mengikuti perintah syariat agama, menghormati sahabatnya, berkunjung, menjaga diri dari buruk sangka sahabatnya yang akan timbul jika ia menolak undangan.

Kemudian Syaikh Ibnu Yamun menjelaskan hal-hal yang harus dijauhi di dalam walimah dengan ucapannya:

“Hindarilah kebiasaan di dalam walimah, wahai kawan dari kemungkaran dan perbuatan dosa.
Seperti berkumpulnya laki-laki dan perempuan, yang dilarang oleh norma syara’ dan masyarakat.
Dan qiyaskanlah, seperti memakai pacar, kebiasaan yang jelek dari wanita merdeka, jagalah dirimu dari hal-hal itu.
Juga minuman khamer dan memamerkan darah perawan. Itu bagian dari kemungkaran, maka jagalah dirimu dari semua yang aku isyarahkan ini.”

Syaikh Ibnu Yamun menjelaskan bahwasanya wajib menjauhi kebiasaan yang sudah umum dalam suatu walimah, yakni kemungkaran dan perbuatan dosa yang diharamkan syara’ seperti:

1. Bercampurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
2. Mewarnai tangan pengantin laki-laki dengan pacar, baik itu di depan para wanita seperti kebiasaan suatu kaum atau tidak.
3. Kebiasaan jelek wanita merdeka.
4. Adanya minuman keras.
5. Menaikkan pengantin wanita di atas usungan laki-laki.
6. Hal-hal yang biasa berlaku di kalangan orang-orang bodoh lainnya seperti memasuki kamar pengantin wanita untuk melihat darah perawan kemudian mereka bermain-main atasnya.
7. Serta berbagai bentuk kemungkaran dan kemaksiatan yang digelar di tempat walimah yang tidak bisa dihitung jumlah dan jenisnya karena perbedaan negeri, kampung dan adat istiadat.

Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi orang yang mengadakan walimah untuk tidak berusaha mengadakan hal-hal seperti di atas, kecuali dia memang berani menghadapi murka Allah Swt.

Syaikh Abu Qasim al-Asfahani telah mengeluarkan sebuah hadits marfu’ dalam kitabnya yang berjudul at-Tharghib wa at-Tarhib dari Anas Ra.: “Tidak henti-hentinya kalimat Laa Ilaha Illallaah memberi manfaat kepada orang yang membacanya dan menolak adzab dan siksaan, selagi tidak menghinakan haknya kalimat tersebut.”

Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan menghinakan haknya?”

Nabi Saw. menjawab: “Sudah jelas segala perbuatan manusia itu penuh maksiat kepada Allah Swt., namun mereka tidak mengingkari dan enggan untuk merubahnya.”

Dalam hadits marfu’ dari Abdullah bin Umar Ra.: “Perintahkanlah untuk berbuat baik dan cegahlah perbuatan mungkar, sebelum doamu tidak dikabulkan dan permohonan ampunmu tidak diterima Allah Swt. Sesungguhnya menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran tidak bisa menolak rizki dan tidak bisa mendekatkan ajal. Sesungguhnya tokoh-tokoh Yahudi dan pendeta Nasrani ketika mereka meninggalkan amar makruf nahi mungkar, Allah Swt. melaknat mereka melalui lisan para Nabinya. Kemudian bencana pun merata melanda mereka.”

Imam al-Muhasibi berkata: “Bagi yang berwalimah tidak boleh diam saja terhadap kemungkaran-kemungkaran dalam walimah. Dengan jalan apapun dia harus menghentikannya. Oleh karena hal itu terjadi di rumahnya, maka dialah yang berhak berbuat sesuatu.”

Dan ucapan Syaikh Ibnu Yamun pada lafadz “Al-Walaa-imu” adalah jamaknya lafadz “Waliimatun”. Dan “Waliimatun” itu adalah nama bagi setiap makanan yang diambil atau disuguhkan kepada orang-orang yang berkumpul.

Berkata Ibnu Faris: “Walimah itu adalah makanan pengantin”, sebagaimana yang ia katakan dalam kitab al-Mishbah. Dan pendapat Ibnu Faris inilah pendapat yang paling masyhur.

Adapun makanan selain walimah, ada juga makanan yang diberikan nama khusus sesuai kebutuhannya, sebagaimana berkata sebagian ulama:

“Nama-nama makanan yang sudah terkenal itu adalah Walimah, Ma’dubah, Wakirah.
Kharsun, A’dzar, dan katakanlah Aqiqah, Atirah, Naqi’ah, Taqiah.
Walimah hanya untuk acara pernikahan, wahai orang yang berbudi. Sedang Ma’dubah hanya untuk menjamu teman.
Wakirah adalah makanan sebab membangun rumah baru. Dan Kharsun adalah makanan dari hewan yang disembelih karena lahir anak.
Dan A’dzar adalah makanan karena sebab dikhitan. Maka fahamilah, semoga Allah Swt. menunjukkan kejelasan.
Aqiqah adalah makanan di hari ketujuh bagi anak yang dilahirkan. Atirah adalah sedekah untuk mayit, maka ambillah apa yang kami rumuskan ini.
Naqi’ah adalah makanan sebab kedatangan seseorang dari berpergian. Peliharalah keterangan ulama ini, maka kamu akan mendapat (kebahagiaan laksana) intan.”

Dan kesimpulan hukum dalam masalah makanan suguhan adalah, bahwa mendatangi suguhan di dalam walimah adalah wajib, jika beberapa syarat telah sempurna. Sedangkan makanan suguhan dalam resepsi yang ada karena adat istiadat, seperti suguhan dalam resepsi kelahiran atau khitanan, maka hukumnya tidak wajib dan tidak makruh.

Dan suguhan-suguhan yang tidak ada sebab atau tidak dalam rangka apa-apa, maka bagi orang yang memiliki sifat-sifat keutamaan tidak disunnahkan mendatangi undangannya, bahkan makruh bila bergegas mendatangi undangannya, sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Baji dalam kitab al-Muntaqa.

Imam Ibnu Arabi mengatakan, bahwa Nabi Saw. menghadiri setiap undangan kaum Muslimin. Namun, ketika perbuatan dan niat mereka telah rusak, maka para ulama tidak senang apabila orang-orang yang memiliki sifat-sifat keutamaan bergegas mendatangi undangan, kecuali jika telah terpenuhi syarat-syaratnya. Dan hal ini, karena tidak ada di dalam hadits, keterangan yang membolehkan mendatangi undangan yang hanya untuk bermegah-megahan dan memaksakan diri. Bahkan yang ada adalah pencegahan dari hal-hal seperti itu.

Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadits marfu’, bahwa dua orang yang saling membanggakan diri dalam resepsi tidak perlu dihadiri undangannya dan suguhannya tidak usah dimakan. Dan yang dimaksud saling membanggakan diri ialah saling menyombongkan diri soal makanan dengan niat yang tidak baik.

Dan perkataan Syaikh Ibnu Yamun, bahwa yan termasuk makanan mungkar adalah setiap makanan yang tidak ada dasar hukumnya, baik dalam al-Quran maupun hadits.

Lafadz “Wa al-Jaraa-imu” merupakan bentuk jamak dari lafadz “Jariimatun” yang berarti dosa atau perbuatan dosa. Walaawilu artinya mendoakan kejelekan. Dan ucapan penadzam “’U al-Masaa-ila” artinya adalah maka jagalah oleh kalian akan isyarat-isyarat ini. Adapun keberadaan dua kalimat itu adalah untuk menyempurnakan bait syair.

Lafadz “‘U” adalah fi’il amar yang disandarkan pada Wawu jamak yang diambil dari fi’il madhi Wa’aa dan mudhari’nya Ya’ii dengan menggunakan arti Hafidza yang artinya menjaga atau memelihara.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Hukum “Pedekate” dengan Facebook dan Alat Komunikasi / sosmed Lainnya

Assalamualaikum wr.wb. Berikut ini adalah salah satu hasil bahtsul masail diniyyah atau pembahasan masalah keagamaan oleh Forum Musyawarah P...