Selasa, 22 Oktober 2013

Buya Hamka dan Si Damir




KETIKA kami dalam perjalanan dari Suliki iyitu tempat domisilinya Gabenor Militer dan Pusat Pemerintahan darurat, menuju Maninjau, kami lalu disebuah desa yang namanya Palembayan. Orang kampung menyambut kedatangan Buya Hamka.

Kami tinggal beberapa malam, ayah memberikan penerangan dan mengobarkan semangat rakyat melawan Belanda. kebetulan kedatangan kami bertepatan dengan saat mereka menuai padi. Nah ini dia kesempatan kami mahu makan seperti ‘engku lebai’, pikir saya dan memang kami pun menikmati hidangan-hidangan enak, hidangan orang pulang padi.

Waktu pulang orang kampung memberikan kepada kami beberapa liter beras untuk dibawa pulang. Masing-masing kami dibebani dengan beras yang meskipun mengangkat pertama terasa enteng, namun bila dipikul terus dalam perjalanan yang memerlukan waktu sehari penuh, tentu sangat menyeksa kami.

Saya sangat segan membawanya, tetapi ayah memelototkan matanya kerana berdosa menolak pemberian orang. Kami pun berangkat bertiga dengan Ihsanuddin Ilyas. Belum lima ratus meter, kami sudah berhenti istirehat, apalagi bila mendaki gunung. Kami berhenti sejenak memandang tingginya pendakian yang bakal ditempuh. Dalam saat itulah seorang laki-laki yang belum kami kenal muncul diantara kami.

“Apa khabar Buya, mahu kemana buya, dari mana Buya?” tanyanya bertubi-tubi menyebut Buya, Buya, Buya. “Namo ambo Damir dari kampung anu. Mari saya bantu membawakan beban Buya,” katanya menawarkan pertolongannya.

Si Damir orang memang agak lucu, kulitnya putih dengan wajah kemerah-merahan dan pendek kurus. Ketawanya mengakak lengking dan pecinya sedikit kebesaran.

“Terima kasih atas bantuan sutan”, jawab ayah seraya memberikan bebannya. Kami pun melangkah mendaki bukit yang cukup tinggi dan Damir yang rupa-rupanya sudah mengenali situasi medan dengan lincah mendahului kami. Makin lama, Damir makin jauh lalu saya berteriak kuat-kuat; “Mak Damiiiiirrrr!” Dari jauh kedengaran jawab; “Ooooooiiii.”

Kami berjalan terus, makin lama beras dibahu saya semakin menekan, lalu kami berhenti membahagi dua beban itu, setengahnya dimasukkan ke dalam bungkusan ayah dan setengahnya lagi saya bawa, sedang beras yang tadi dibawa ayah telah diambil oleh Damir yang baik itu.

Tak lama kami tiba disuatu pondok tempat orang mengilang tebu, untuk dijadikan gula model Lawang yang berwarna coklat kemerahan. Damir telah lebih dulu menunggu. Dan dia lebih dulu pula melepaskan dahaganya. Kami pun duduk istirehat sambil memperhatikan jalannya kilangan tebu yang ditarik oleh seekor kerbau itu. Sewaktu akan berangkat, ayah bertanya kepada tukang kilang itu berapa harga air tebu yang kami minum. orang itu menghitung hasilnya; ayah, Ihsan dan saya minum dua mangkuk, mangkuknya dari tempurung kelapa. Tapi Damir minum 5 mangkuk. Ayah menyeluk kantungnya. Dan kami pun melanjutkan perjalanan.

“Lah litak Buya?” tanya Damir menanyakan apakah ayah sudah lapar. “Benar,” jawab ayah, dan saya serta Ihsan pun merasakan hal yang sama. Hari itu kira-kira pukul 12 siang, Damir memberikan keterangan bahawa tak jauh dari situ ada warung yang enak, gulai ayamnya selalu panas dan nasinya pun nikmat kerana selalu memasak beras baru. Mendengar cerita Damir, perut pun semakin litak.

Kami sampai di warung itu dan dengan agak kurang sabar memesan makan dan minum. Damir yang punya pengalaman dengan suara keras memesan makanan. Tapi lebih dahulu ia bertanya pada ayah;”Kopi Buya,” tanyanya dan ayah mengangguk. “Hei kopi dua,” kata Damir kepada yang punya warung, satu untuk ayah dan satu lagi untuknya.

“Tambah nasinya Buya,”, ayah mengangguk lalu Damir berteriak lagi, “Tambah dua,” dua piring tambah itu, satu untuk ayah dan satu lagi untuk Damir. Damir melihat pada saya dan Ihsan, rupanya kami berdua dilihatnya kurang banyak mengambil gulai, maklum kami tahu wang yang ada dalam poket ayah adalah untuk diberikan pada ummi yang menanti. “Hei, kenapa tidak pakai gulai, tambah gulainya ya,” kata Damir, sebelum saya menjawab, Damir telah berteriak “Tambah gulai,” gulai yang diminta pun datang tapi lebih dahulu Damir mengisi piringnya.

Saya dan Ihsan, juga ayah diam saja menyaksikan gerak geri Damir yang serba cepat makannya. Dan mulutnya tak berhenti berteriak-teriak sambil mengunyah nasi. Sekali-sekali dia berdiri menjangkau petai yang tergantung dan menyambar sambal yang memang selalu berpindah-pindah tempat.

Selesai makan, Damir masih sempat meminta pisang dan berteriak lagi tambah dua gelas kopi, satu untuk ayah dan satu lagi untuk dirinya sendiri, “kopi dua.” Perut kami memang lapar hari itu dan makan pun seperti kata Damir memang nikmat sekali, oleh sebab itulah saya dan Ihsan membiarkan saja berbagai-bagai permintaan Damir.

“Berapa semua?” tanya Damir kepada yang punya warung sambil berdiri siap-siap hendak berangkat. Saya lupa berapa harga makanan yang masuk perut Damir. Yang punya warung menghitung lama sekali dan kemudian menyebut sesuatu jumlah yang terasa agak mahal.

Tapi kami semua tenang saja karena Damir sudah berdiri lebih dahulu, kami kira dialah yang akan membayar.

“Seratus semua,” jawab orang warung. Damir tahu-tahu memandang kepada ayah dan meneruskan ucapan pemilik warung itu: “Seratus semua, Buya,” dia lalu mengangkat bebannya dan terus melangkah mendahului kami.

Saya lihat ayah menghitung-hitung kembali wang yang harus dikeluarkannya, yang barangkali menimbulkan penyesalan dalam hatinya. Saya ingat ummi dan adik-adik menyesal kerana makan lupa pada nasib mereka yang barangkali makan ubi sekali sehari selama kami tinggalkan. Ketika meninggalkan warung itu, ayah, ihsan dan saya tak banyak lagi berbicara.

Cerita tentang Damir belum selesai atau kalau diselesaikan cukup membikin hati sangat sedih. Sebelum kami menurun kampung Maninjau, Damir yang telah mendahului kami kelihatan duduk di sebuah pondok dekat sungai yang banyak batu-batunya. “Ada apa Damir?” tanya ayah. “Sakit perut,” jawabnya. Dia kemudian mempersilakan kami berjalan duluan. Katanya dia akan membongkar isi perutnya disungai itu.

Kami pun berjalan menurut kehendak Damir. Setelah lama berjalan, Damir belum juga kelihatan menyusul, berkali-kali kami melihat ke belakang, Damir tak kunjung nampak. Tapi perjalanan diteruskan, langkah kami pun semakin kencang ingin cepat sampai dirumah kerana kampung telah kelihatan.

Setiba kami di kampung, anak-anak kecil berteriak: “Buya Hamka pulang, Buya Hamka pulang,” dan orang-orang kampung keluar menyambut kedatangan kami. Beban-beban kami dibantu membawakan. Ummi berdiri didepan pintu dengan senyum bahagia.

Dalam suasana gembira itu kami lupa pada Damir. Barulah setelah segala beban yang dibawa dibuka bersama, ayah teringat pada Damir, Ihsan disuruh menyusul kalau-kalau tak tahu letak rumah kami. Tapi Damir tak kelihatan. Sampai matahari tenggelam Damir tak juga datang. Besok paginya pun Damir masih belum sampai-sampai juga.

Adapun beras yang dibawanya tak kurang dari 40 liter, bererti kami boleh makan selama sepuluh hari. Orang yang tak punya “Damir” (hati nurani) itu lambat laun kami lupakan atau terlupakan.

[Sumber : Hamka Pujangga Islam Kebanggan Rumpun Melayu Menatap Peribadi Dan martabatnya Oleh H. Rusydi Hamka m/s 98-103]

Tidak ada komentar:

Hukum “Pedekate” dengan Facebook dan Alat Komunikasi / sosmed Lainnya

Assalamualaikum wr.wb. Berikut ini adalah salah satu hasil bahtsul masail diniyyah atau pembahasan masalah keagamaan oleh Forum Musyawarah P...