Kamis, 28 Maret 2013

KETIKA MEKKAH SUDAH DI HATI

Rindu Mekkah, rindu Ka’bah, adalah rindu rumah bagi jiwa. Umat Islam setidaknya punya waktu lima kali sehari buat berjumpa Allah, di mana pun mereka berada. Tapi, selalu tersisa tanya: kapankah kita bisa menjumpai Allah di rumah-Nya ?

Ka’bah di Mekkah, kita tahu, adalah bangunan tua berbentuk kubus berjubah hitam. Ukurannya 11,03 m kali 12,62 m, dan tinggi 13,10 m. Pada saat Nabi Ibrahim dan puteranya, Nabi Ismail, pertama kali ke Mekkah, bangunan itu sudah ada sejak lama, dan mereka memugarnya, menyempurnakannya sebagai perlambang rumah Allah.



Pada zaman Nabi Muhammad pun, saat ia berusia kira-kira 30 dan belum jadi Nabi, Ka’bah harus dipugar lagi, gara-gara banjir bandang yang melanda pada tahun 600 Masehi. Kita tahu, waktu itu ada perselisihan antarsuku tentang siapa yang berhak meletakkan batu Hajar Aswad. Muhammad pun memberi solusi: semua kepala suku memboyong batu itu ke tempatnya. Peristiwa ini menaikkan pamor Muhammad di mata penduduk Mekkah, sebagai pemuda yang berhasil mencegah pertumpahan darah yang serius di Mekkah.

Banyak peristiwa silih berganti di sekitar Ka’bah, bahkan terhadap Ka’bah sendiri. Kejadian-kejadian bersejarah berupa perang, peralihan kekuasaan, bencana, yang beberapa kali bahkan sempat menghancurkan bangunan Ka’bah sendiri. Namun semua itu hanyalah memperkokoh sosok bangunan Ka’bah sebagai bangunan suci, kiblat salat umat Islam seluruh dunia sepanjang masa.

Bagaimana Ka’bah tak dirindu. Bukan saja ia perlambang rumah Allah. Setiap kita salat, di mana pun kita di planet ini, kita harus menghadap ke arahnya. Terbayang saat kita menutup mata, bangunan bersahaja itu. Kita ruku’, lalu sujud, dengan harap jiwa kita melesat ke rumah Allah, bertandang sejenak, mengobrol atau berhadap-hadapan dengan Sang Khalik, sumber jiwa kita. Kalau sudah begitu, rasanya akan afdhal hidup kita jika secara fisik pun kita ke sana, ke Mekkah, setidaknya sekali saja sebelum kita wafat.

Demikianlah kita paham, betapa rindu membuncah ketika penyair Sutardji Calzoum Bachrie naik haji dan menuliskan puisi Berdepan-depan Dengan Kabah. Ia menulis: Memang engkaulah tamu, engkaulah tuan rumah itu. Inilah rumah dirimu. Nah, mulai kini benahi lagi dirimu! O tamu dirimu, o jiwa batinmu. Roh yang lapar yang haus, ingin mereguk berpuluh-puluh shalat, mengunyah beratus doa! Jamulah dia. Ikuti maunya! Ingin berkitar-kitar tawaf, ingin bergegas bolak-balik Safa Marwah. O jiwa yang resah, kembalilah engkau kepada Tuhanmu.

Kita pun mengerti, mengapa Imam Hambali sampai rela jadi kuli pembawa barang, untuk menutupi biaya hajinya. Atau Ibn Abbas tak menyesali dunia yang terlewat baginya, tapi menyesali mengapa ia tak pernah pergi haji berjalan kaki. Naik haji, dan segala perjalanan sulit serta rindu yang menyertainya, adalah perjalanan menyucikan jiwa, sebuah fase perjalanan pulang jiwa kita sebelum jiwa kita terbang meninggalkan dunia ini selamanya.

Kalau Mekkah sudah di hati, maka segala aral rintangan yang menghalangi hanya akan menambah mutu niatan kita pergi ke tanah suci. Kalaupun akhirnya perjalanan itu tak kesampaian, karena Haji memang “rukun Islam bagi yang mampu”, jiwa kita telah menapaki penyucian itu. Seperti kata Emak dalam film Emak Ingin Naik Haji, “Emak yakin… hati Emak sudah lama ada di sana…”

"Kalau Mekkah sudah di hati, hati kita pun akan tiba di Mekkah" ....

*Yang kangen dan pengen ke Mekkah, Yuk Aamiin, Like dan Share :) semoga kita semua segera ke sana yah, Aamiin Allohumma aamiin :)

***

Foto: KETIKA MEKKAH SUDAH DI HATI  Rindu Mekkah, rindu Ka’bah, adalah rindu rumah bagi jiwa. Umat Islam setidaknya punya waktu lima kali sehari buat berjumpa Allah, di mana pun mereka berada. Tapi, selalu tersisa tanya: kapankah kita bisa menjumpai Allah di rumah-Nya ?  Ka’bah di Mekkah, kita tahu, adalah bangunan tua berbentuk kubus berjubah hitam. Ukurannya 11,03 m kali 12,62 m, dan tinggi 13,10 m. Pada saat Nabi Ibrahim dan puteranya, Nabi Ismail, pertama kali ke Mekkah, bangunan itu sudah ada sejak lama, dan mereka memugarnya, menyempurnakannya sebagai perlambang rumah Allah.  Pada zaman Nabi Muhammad pun, saat ia berusia kira-kira 30 dan belum jadi Nabi, Ka’bah harus dipugar lagi, gara-gara banjir bandang yang melanda pada tahun 600 Masehi. Kita tahu, waktu itu ada perselisihan antarsuku tentang siapa yang berhak meletakkan batu Hajar Aswad. Muhammad pun memberi solusi: semua kepala suku memboyong batu itu ke tempatnya. Peristiwa ini menaikkan pamor Muhammad di mata penduduk Mekkah, sebagai pemuda yang berhasil mencegah pertumpahan darah yang serius di Mekkah.  Banyak peristiwa silih berganti di sekitar Ka’bah, bahkan terhadap Ka’bah sendiri. Kejadian-kejadian bersejarah berupa perang, peralihan kekuasaan, bencana, yang beberapa kali bahkan sempat menghancurkan bangunan Ka’bah sendiri. Namun semua itu hanyalah memperkokoh sosok bangunan Ka’bah sebagai bangunan suci, kiblat salat umat Islam seluruh dunia sepanjang masa.  Bagaimana Ka’bah tak dirindu. Bukan saja ia perlambang rumah Allah. Setiap kita salat, di mana pun kita di planet ini, kita harus menghadap ke arahnya. Terbayang saat kita menutup mata, bangunan bersahaja itu. Kita ruku’, lalu sujud, dengan harap jiwa kita melesat ke rumah Allah, bertandang sejenak, mengobrol atau berhadap-hadapan dengan Sang Khalik, sumber jiwa kita. Kalau sudah begitu, rasanya akan afdhal hidup kita jika secara fisik pun kita ke sana, ke Mekkah, setidaknya sekali saja sebelum kita wafat.  Demikianlah kita paham, betapa rindu membuncah ketika penyair Sutardji Calzoum Bachrie naik haji dan menuliskan puisi Berdepan-depan Dengan Kabah. Ia menulis: Memang engkaulah tamu, engkaulah tuan rumah itu. Inilah rumah dirimu. Nah, mulai kini benahi lagi dirimu! O tamu dirimu, o jiwa batinmu. Roh yang lapar yang haus, ingin mereguk berpuluh-puluh shalat, mengunyah beratus doa! Jamulah dia. Ikuti maunya! Ingin berkitar-kitar tawaf, ingin bergegas bolak-balik Safa Marwah. O jiwa yang resah, kembalilah engkau kepada Tuhanmu.  Kita pun mengerti, mengapa Imam Hambali sampai rela jadi kuli pembawa barang, untuk menutupi biaya hajinya. Atau Ibn Abbas tak menyesali dunia yang terlewat baginya, tapi menyesali mengapa ia tak pernah pergi haji berjalan kaki. Naik haji, dan segala perjalanan sulit serta rindu yang menyertainya, adalah perjalanan menyucikan jiwa, sebuah fase perjalanan pulang jiwa kita sebelum jiwa kita terbang meninggalkan dunia ini selamanya.  Kalau Mekkah sudah di hati, maka segala aral rintangan yang menghalangi hanya akan menambah mutu niatan kita pergi ke tanah suci. Kalaupun akhirnya perjalanan itu tak kesampaian, karena Haji memang “rukun Islam bagi yang mampu”, jiwa kita telah menapaki penyucian itu. Seperti kata Emak dalam film Emak Ingin Naik Haji, “Emak yakin… hati Emak sudah lama ada di sana…”  "Kalau Mekkah sudah di hati, hati kita pun akan tiba di Mekkah" ....   *Yang kangen dan pengen ke Mekkah, Yuk Aamiin, Like dan Share :) semoga kita semua segera ke sana yah, Aamiin Allohumma aamiin :)  ***  Untuk mengikuti/berlangganan setiap kiriman tausiyah ini Silahkan Klik "SUKA"/Gabung di FP "Strawberry" ini dan Klik "BAGIKAN/SHARE". Sebarkan kepada semua saudara-saudara kita agar lebih berhati-hati. Moga Allah S.W.T akan membalas jasa baik anda dan semoga Allah memelihara kita di dunia dan di akhirat.  Aamiin Ya rabbal 'alamiin

Tidak ada komentar:

Hukum “Pedekate” dengan Facebook dan Alat Komunikasi / sosmed Lainnya

Assalamualaikum wr.wb. Berikut ini adalah salah satu hasil bahtsul masail diniyyah atau pembahasan masalah keagamaan oleh Forum Musyawarah P...