Selasa, 11 Maret 2014

“Para Sahabat yang Dicium Tangannya Oleh Nabi Saw.”




1. Sahabat Sa’ad bin Mu’adz Ra.

Ketika Rasulullah Saw. pulang dari perang Tabuk, beliau bertemu dengan salah seorang sahabatnya, Mu’adz Ra. Ketika bersalaman, terasa oleh beliau Saw. telapak tangan Mu’adz yang kasar. Ketika berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz, Rasulullah Saw. pun melihat betapa tangannya kasar, kering dan kotor. Ketika ditanya Sa’ad menjawab bahwa tangannnya menjadi demikian karena bekerja mengolah tanah dan mengangkut air sepanjang hari. Mendengar itu Rasulullah Saw. serta merta mencium tangan Sa’ad bin Mu’adz Ra. dan bersabda: “Tangan ini dicintai Allah dan RasulNya dan tidak akan disentuh api neraka!”

2. Mu’adz bin Jabal Ra.

Rasulullah Saw. juga pernah merasakan tangan Mu’adz bin Jabal yang kasar dan tebal saat bersalaman. Ketika ditanyakan Mu’adz pun menjawab bahwa tangannya demikian karena untuk bekerja keras. Tangan yang dipakai oleh pemiliknya untuk bekerja keras mencari nafkah. Diciumlah tangan kasar, keras dan tebal itu oleh Rasulullah Saw. dan bersabda: “Tangan ini dicintai Allah dan RasulNya dan tidak akan disentuh api neraka!”

3. Siti Fathimah az-Zahra Rha.

Siti Fathimah az-Zahra putri Rasulullah Saw. tangannya juga kasar dan keras. Tapi Rasulullah Saw. dengan penuh perhatian mencium tangan putrinya tersebut. Karena tangan itu digunakan untuk bekerja keras menggiling gandum di rumahnya, menyiapkan makanan bagi kedua putranya dan sang suami.

Lihatlah betapa Rasulullah Saw. sangat menghargai orang-orang yang bekerja keras untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarganya. Rasulullah Saw. mencium tangan mereka sebagai penghargaan akan ibadah mereka, dan bukan karena keshalehan mereka dalam ibadah ritual seperti shalat malam, puasa, sedekah dan berhaji.

Riwayat-riwayat di atas menggambarkan betapa Islam sangat menghargai orang-orang yang memiliki etos kerja yang tinggi. Orang yang bekerja dapat dikatakan sebagai jihad fi sabilillah, seperti sabda Nabi Saw.: “Siapa yang bekerja keras untuk mencari nafkah keluarganya, maka ia adalah mujahid fi sabilillah.” (HR. Ahmad).

Rasulullah Saw. juga bersabda: “Barangsiapa yang di waktu sorenya merasa kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapatkan ampunan.”(HR. ath-Thabarani dan al-Baihaqi).

Seperti halnya Sa’ad yang hitam dan melepuh tanganya karena bekerja, maka tatkala seseorang merasa kelelahan bekerja akan dibalas oleh Allah Swt. dengan ampunanNya saat itu juga dan dikategorikan jihad fi sabilillah. (Disadur dari buku “Tangan-tangan yang Dicium Rasul: Nasihat Islami tentang Bekerja Keras” karya Syahyuti, Pustaka Hira. Buku yang memuat bukti-bukti ilmiah, historis dan teologis tentang bagaimana Islam mencintai kerja keras).

“Para Sahabat yang Dicium Tangannya Oleh Nabi Saw.”




1. Sahabat Sa’ad bin Mu’adz Ra.

Ketika Rasulullah Saw. pulang dari perang Tabuk, beliau bertemu dengan salah seorang sahabatnya, Mu’adz Ra. Ketika bersalaman, terasa oleh beliau Saw. telapak tangan Mu’adz yang kasar. Ketika berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz, Rasulullah Saw. pun melihat betapa tangannya kasar, kering dan kotor. Ketika ditanya Sa’ad menjawab bahwa tangannnya menjadi demikian karena bekerja mengolah tanah dan mengangkut air sepanjang hari. Mendengar itu Rasulullah Saw. serta merta mencium tangan Sa’ad bin Mu’adz Ra. dan bersabda: “Tangan ini dicintai Allah dan RasulNya dan tidak akan disentuh api neraka!”

Senin, 10 Maret 2014

KH. Maimun Zubair tentang Cinta yang Langgeng



Jika Willy Surendra, menulis dalam puisinya “Dalam kalbu yang murni, usia cinta lebih panjang dari usia percintaan”, maka, Mbah Mun memberikan penjelasan dari sudut pandang yang lain tentang kelanggengan cinta.

Pernikahan adalah ibadah. Ibadah yang persyariatannya telah dimulai sejak manusia pertama, Nabiyullah Adam As. dengan Siti Hawa. Allah sendiri yang menjadi wali Siti Hawa dalam pernikahan pertama manusia ini. Setiap Nabi dan Rasul juga diperintah oleh Allah Ta’ala untuk menikah - bahkan, Nabi Isa As. kelak akan kembali turun ke bumi untuk melakukan pernikahan. Syariat pernikahan lalu disempurnakan melalui risalah yang dibawa Rasulullah, dan akan terus langgeng hingga di surga.

Pernikahan menjadi contoh suatu ibadah yang mengandung dua unsur sekaligus, unsur lahir hingga batin, sejak dunia hingga akhirat. Dengan demikian, berbeda dengan ibadah yang lain, legitimasi syariat pernikahan tidak mengenal tanggal kadaluarsa. Usianya bahkan lebih panjang daripada usia sejarah manusia di muka bumi.

Terdapat begitu banyak petunjuk Ilahiyah dan Nubuwiyah bagi kita untuk memahami bahwa Islam meletakkan pernikahan sebagai sesuatu yang sakral dan sangat mulia. Dengan menikah seseorang berusaha untuk menyempurnakan separuh agamanya.

Al-Quran memberi tuntunan bahwa pernikahan merupakan mitsaqan ghalidza, ikatan yang sangat kuat. Al-Imam al-Bulqini menyatakan dalam at-Tadrib: “Tak ada akad penghambaan atau ibadah yang membandingi akad pernikahan setelah akad keimanan.”

Tiap-tiap pasangan semestinya berusaha agar perjodohan mereka langgeng. Baik laki-laki dan perempuan memiliki persamaan, yaitu dalam asal penciptaan sebagai manusia dan sama sebagai hamba Allah, serta sama dalam hak-hak kewargaan mereka dalam masyarakat dan negara. Persamaan-persamaan semacam ini mesti senantiasa diingat mengiringi kenyataan bahwa antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan, baik yang secara kodrati maupun akibat dari proses kebudayaan. Persamaan dan perbedaan itu mesti dikelola dengan sepenuh pemahaman dan kesadaran. Karena laki-laki dan perempuan sama maka tak perlu “dibeda-bedakan”. Karena laki-laki dan perempuan juga memiliki perbedaan, sehingga tak perlu “disama-samakan”. Membeda-bedakan dan menyama-nyamakan secara berlebihan biasanya lahir karena sikap terlalu menuntut.

Karena itulah, dalam pernikahan, saling memahami posisi masing-masing merupakan tugas bersama. Yang sangat perlu dipahami oleh suami-istri ialah senantiasa memelihara keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing. Ini dilakukan dengan kebersamaan, dan rasa kasih sayang.

Sebaik-baiknya perhiasan adalah istri yang shalehah, sebaik-baik harta adalah anak yang shaleh-shalehah pula. Inilah kenikmatan akhirat yang kelak akan dialami keluarga mukmin. Mereka yang telah berkakek-nenek dan beranak-cucu pasti akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa indahnya manakala seluruh keluarga berkumpul, seperti ketika hari raya. Maka, kenikmatan serupa yang kelak dianugerahkan di surga oleh Allah Ta’ala dengan derajat yang berkali-kali lipat.

Boleh-boleh saja mengharap di surga akan ditemani bidadari atau bidadara. Tapi jika dibandingkan dengan kenikmatan bersama keluarga besar, bidadari dan bidadara itu nikmatnya seperti snack saja. (Disarikan dari dawuh KH. Maimun Zubair dalam buku “Nasehat Pernikahan, 9 Guru” Kado dari Mas Nabil Haroen dan Mbak Nina).

KH. Maimun Zubair tentang Cinta yang Langgeng



Jika Willy Surendra, menulis dalam puisinya “Dalam kalbu yang murni, usia cinta lebih panjang dari usia percintaan”, maka, Mbah Mun memberikan penjelasan dari sudut pandang yang lain tentang kelanggengan cinta.

Pernikahan adalah ibadah. Ibadah yang persyariatannya telah dimulai sejak manusia pertama, Nabiyullah Adam As. dengan Siti Hawa. Allah sendiri yang menjadi wali Siti Hawa dalam pernikahan pertama manusia ini. Setiap Nabi dan Rasul juga diperintah oleh Allah Ta’ala untuk menikah - bahkan, Nabi Isa As. kelak akan kembali turun ke bumi untuk melakukan pernikahan. Syariat pernikahan lalu disempurnakan melalui risalah yang dibawa Rasulullah, dan akan terus langgeng hingga di surga.

KH. ZAINUDDIN MOJOSARI, KYAI DAN PESANTREN YANG UNIK


Pondok berusia tua yang didirikan oleh KH. Ali Imron beratus-ratus tahun yang lampau ini memang tergolong cukup antik dan aneh (kontroversial). Bila Anda datang bertamu ke sana mungkin akan merasa kaget atau asing. Seringkali ada tamu atau santri baru yang datang langsung disambut oleh para santri Mojosari, lalu digendong beramai-ramai sambil dibacakan shalawat. Bila santri baru ini berani membalas dengan kata-kata, kontan dimasukkan ke dalam kamar dan diambilkan pentung kemudian penggojlokan dilanjutkan. Tidak main-main apabila masih berani juga bisa dipentung sungguhan sampai tunduk.

Oleh-oleh berupa rokok, jajan atau uang recehan tak segan-segan diminta oleh santri dan dikeroyok dibagi rata beramai-ramai. Banyak tamu menjadi malu, jengkel bahkan marah, sehingga mengadukan hal ini langsung kepada kiai.

Pada zaman Kiai Zainuddin masih memangku pondok, beliau sering memarahi santrinya yang bertingkah kurang etis tersebut, bahkan sampai memukul-mukul dengan tongkat. Akan tetapi tradisi itu tak pernah sembuh, hanya sempat berkurang dan kambuh lagi. Akhirnya kiai pasrah menganggapnya sebagai suatu suratan pembawaan dari Pondok Mojosari. “Biarkah saja mereka nakal, ibarat padi mereka masih muda wajarlah kalau tengadah, nanti jika mereka sudah berisi akan merunduk dengan sendirinya,” begitu ungkapan beliau.

Namun santri Mojosari mengaku bahwa sama sekali tak ada maksud negatif apalagi akan menyakiti kepada para tamu atau santri baru. Gojlokan hanyalah suatu tradisi yang maksudnya untuk melatih kesabaran dan memperkuat mental dalam menerima cobaan. Sebagaimana layaknya perpeloncoan untuk mahasiswa baru di universitas.

Suasana setiap hari di Pondok Mojosari sangat berbeda dengan pondok-pondok salafiyah pada umumnya. Di pondok ini tidak nampak santri-santri tekun belajar, melakukan riyadhah atau tirakat puasa, ngrowot, mutihan dan sebagainya. Banyak santri yang bergerombol bersenda-gurau, ngobrol dengan bebas, yang penting mereka mengaji dengan tertib dan rajin shalat berjamaah.

Namun bukan berarti permasalahan ukhuwah sesama santri diabaikan. Bahkan suasana keakraban dan persamaan nasib nampak sangat menonjol. Tidak ada seorang santripun dapat menyimpan jajan untuk dimakan besok pagi, semuanya mesti dibagi-bagi.

Ada lagi yang lebih antik, pada zaman dahulu belum ada fasilitas kamar mandi dan WC, jadi para santri seluruhnya mandi ke sungai. Sudah lumrah bagi santri Mojosari apabila telanjang bulat dari kamarnya bergerombol menuju sungai, padahal santri-santri pada zaman itu sudah besar-besar, suatu pemandangan yang sungguh mengerikan. Terkadang mereka ke sungai sambil mencari ikan dan tentu saja hasilnya buat dimakan keroyokan. Solidaritas (persaudaraan) sesama santri tidak hanya sampai di situ, sudah menjadi kebiasaan pula apabila mereka merokok terjadilah salome (satu batang ramai-ramai). Dan banyak lagi contoh yang lain.

Keantikan Pondok Mojosari ini ada asal-usulnya. Alkisah, KH. Ali Imron, asal Grobogan Purwodadi Semarang, tatkala masih muda pergi berguru kepada Kiai Salimin di Lasem Jawa Tengah. Suatu malam Kiai Salimin keluar melihat-lihat santrinya yang tengah nyenyak tidur di lokasi pondok. Tiba-tiba beliau melihat pancaran sinar yang keluar dari balik sarung seorang santri. Beliau mendekati santri tersebut dan sarungnya diikatkan.

Lalu esok paginva semua santri ditanya. Ternyata si empunya sinar adalah Ali Imron. Oleh karena itu setelah dirasa cukup ilmu yang diperoleh, Kiai Salimin memilihnya menjadi menantu dan menugaskannya untuk membuka hutan di daerah Nganjuk dan kemudian didirikan pondok pesantren yang tak lain adalah Pondok Mojosari sekarang ini.

Demi pengabdian kepada ilmu dan ta’dzim kepada gurunya, Kiai Ali Imron berangkat menuju lokasi yang diperintahkan. Dijalaninya tirakat luar biasa sampai bertahun-tahun lamanya di tengah hutan belantara yang sangat angker. Menghadapi para penghuni rimba raya yang terdiri dari macan, ular, jin dan hantu bukan perkara yang ringan. Rupanya Kiai Ali Imron sangat dekat dengan Allah Sang pemilik hutan dan jagat raya, sehingga tak satupun makhluk jahat yang sanggup merintanginya dan akhirnya sukseslah beliau mengemban amanat guru sekaligus mertuanya. Tirakatnya benar-benar mengeluarkan daya kekuatan batin yang luar biasa dan doa-doanya sangat makbul.

Di tengah-tengah tirakat yang amat berat itulah beliau mengucapkan rangkaian kalimat nadzar: “Santri santri yang belajar di pondok ini kelak, tak perlu puasa dan tirakat macam-macam, seluruh tirakat aku yang menanggung. Pokoknya mereka mau mengaji dengan tekun di sini, insya Allah diberkahi.” Sebuah nadzar yang makbul dan menjadi kenyataan di kemudian hari.

Mantapnya keyakinan para santri Mojosari akan keampuhan nadzar Kiai Ali Imron lambat laun membawa warna lain di Pondok Mojosari. Para santri benar-benar tidak menjalani tirakat semata-mata mengandalkan tirakatnya sang pendiri pondok. Ciri khas ini terus berkesinambungan dari generasi ke generasi sampai sekarang.

· Siapakah Kiai Zainuddin?

KH. Zainuddin berasal dari Padangan Bojonegoro Jatim. Di masa mudanya ia belajar di Pondok Langitan Babat. Sudah menjadi tradisi yang baik di kalangan para ulama untuk menjodohkan putrinya dengan santri-santri berbobot, begitu pula dengan Kiai Zainuddin. Karena prestasinya yang menonjol beliau lalu dijadikan menantu oleh gurunya. Kemudian diutus untuk meneruskan kepemimpinan Pondok Mojosari.

Beliau tampil pada urutan kelima sebagai pengasuh terhitung dari KH. Ali Imron sang pendiri pondok. Berkat kepribadian dan kepemimpinan Kiai Zainuddin yang agung nama Pondok Mojosari melejit ke segenap penjuru.

Beliau dikenal oleh masyarakat sebagai waliyullah, namun aktivitas sehari-harinya tak beda dengan petani-petani desa yang bersahaja, karamahnya tak pernah dibuat pameran. Bahkan beliau lebih nampak sebagai seorang ulama syari’ah yang kokoh, tugas-tugasnya dijalankan dengan disiplin dan istiqamah. Setelah selesai mengajar di malam hari, sekitar pukul 22.00 beliau istirahat dan bangun jam 02.00 akhir malam, beliau menjalankan tahajjud, tilawah al-Quran dan lain-lain, mendekatkan diri kepada Allah Swt. sampai menjelang Shubuh.

Terkadang selepas ibadah tengah malam, beliau keluar dari rumah mungkin sebagai refreshing dari rasa penat. Lalu beliau berputar-putar di sekitar pekarangan yang dipadati dengan pohon buah buahan. Beliau mengumpulkan sawo, jambu dan sebagainya yang jatuh akibat bosok atau sisa kelelawar. Makanan itu cukup lezat untuk sarapan ternaknya besok pagi.

Tatkala fajar menyingsing beliau berkeliling membangunkan santri di pondok, disebutnya nama masing-masing santri yang dibangunkannya. Begitu banyak nama santri yang mampu beliau hafal. Apabila musim dingin telah tiba, biasanya santri agak sulit bangun pagi. Untuk mengatasinya Kiai Zainuddin tak pernah kehilangan taktik. Beliau keliling membawa wadah air dan selembar serbet. Serbet yang sudah dibasahi itu kemudian ditempelkannya atau diteteskan airnya ke tubuh siapa saja yang belum bangun, tak peduli tamu atau bukan.

Beliau memang memiliki sifat humor sehingga santri-santri menjadi sangat akrab dengannya. Santri yang terkejut merasakan tetesan air sangat dingin itu mulai bergerak bangun, namun lucunya Kiai Zainuddin dengan sigap segera bersembunyi di balik pintu tak beda dengan anak-anak yang bermain kucing-kucingan (petak umpet). Apabila si santri merapikan kembali selimut atau sarungnya karena enggan bangun, dengan sangat sabar beliau mengulangi tetesan-tetesan berikutnya sampai akhirnya si santri bangun dengan sendirinya.

Untuk santri-santri yang masih juga membandel, diteteskannya minyak tanah dari sumbu lampu kaleng bekas yang dipergunakan para santri zaman listrik belum menyebar itu. Si santri pun bisa marah seketika sambil berteriak: “Wo nakal! Mbeling nganggo lengo gas” (Wah nakal sekali! Nakal sampai pakai minyak tanah segala).

Dan si santri hanya bisa tersenyum tersipu malu ketika tahu pelakunya adalah kiai yang mengajak shalat. Begitu juga ketika adzan shalat Dzuhur berkumandang Kiai Zainuddin naik ke masjid lebih awal. Dan dengan penuh kesabaran beliau memanggil-manggil santrinya selama hampir satu jam. “Ayo sholat Co, ayo sembahyang Co,” seru beliau berulang-ulang.

Pengajian yang beliau asuh amat banyak, dari kitab kecil sampai yang besar. Usai pengajian di pagi hari beliau mengganti pakaian dan memegang sapu. Disapunya halaman, kandang sapi, kandang kambing, ayam, bebek dan kuda. Beliau sangat suka memelihara binatang dari sapi sampai kucing, seakan-akan rumahnya mirip kebun binatang. Walaupun ada pembantu yang bertugas merawat dan memberi makan binatang-binatang peliharaannya, beliau sendiri turun tangan membagi-bagi makanan menunjukkan bahwa kiai ini benar-benar seorang penyayang binatang. Kedisiplinannya pada kebersihan sungguh mengagumkan, sehingga kandang-kandang binatang itu tak terkesan kotor sama sekali, apalagi halaman atau kamar-kamar rumahnya.

Adalah budi pekerti yang pantas diteladani disaat-saat kita sebagai umat Muhammad merasa bangga punya agama yang menjunjung kesucian dan kebersihan. Akan tetapi rumah kita lebih kotor dari orang Majusi. Kita gantung kaligrafi bertuliskan sabda Nabi Saw. “النَّظَفَةُ مِنَ اْلاِيْمَانِ”, namun sampah berserakan di bawahnya.

Kiai Zainuddin tidak hanya pandai menganjurkan sunnah Rasul, tetapi beliau praktekkan sendiri dalam kehidupan, sesuai dengan nasihat yang sering disampaikannya kepada para santri:“Co, ojo lali karo ayat

أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ

“Apakah kamu perintah orang lain untuk berbuat baik, padahal kamu melupakan dirimu sendiri?”

Syariat Islam dijalankannya dengan nyata dan konsekuen. Untuk keperluan hidup sehari-hari beliau mengolah tanah pertanian secukupnya. Beliau sendiri sering memegang pacul (cangkul) menanam singkong, jagung atau pisang. Beliau tidak menunjukkan tingkah khariqul ‘adah di hadapan masyarakat.

Akan tetapi sepandai-pandai menyimpan durian, tercium juga baunya. Begitu juga halnya Kiai Zainuddin, banyak ulama arif mengakui kewaliannya. Pada suatu ketika KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri dan Rais Akbar NU) membuat surat edaran untuk meluruskan acara perayaan Maulid Nabi, berhubung Mauludan di Pondok Mojosari dinilai kurang Islami.

Konon para santri Mojosari mengadakan pertunjukan wayang wong, kuda lumping, pencak, ketoprak dan sebagainya untuk memeriahkan perayaan Maulid. Sponsornya adalah santri-santri dari Blitar, Jombang, Ponorogo dan Banyumas. Setelah surat edaran siap dikirim, malam harinya Kiai Hasyim bermimpi bahwa alim ulama seluruh Indonesia shalat berjamaah di sebuah masjid jami’. Dengan jelas beliau melihat yang bertindak selaku imam adalah Kiai Zainuddin Mojosari. Surat edaran tersebut praktis tidak jadi dikirim, sebab pada dasarnya Kiai Hasyim cukup segan terhadap Kiai Zainuddin yang merupakan guru dari KH. Wahab Hasbullah, pendiri NU dan Rois Aam setelah KH. Hasyim Asy’ari. Tentu saja terdapat rasa sungkan di tubuh NU untuk mengatur (menegur) gurunya sendiri.

Ketenaran nama Kiai Zainuddin ternyata membawa dampak lain. Sehubungan dengan kewaliannya itulah, banyak orang datang mohon ijazah doa. Namun beliau tetap mengaku tidak punya doa khusus dan memang seperti itulah yang dapat disaksikan, beliau bukan ahli thariqah. Bila ada orang yang datang minta ijazah doa beliau spontan menjawab: “Enggih, sampun kulo ijazahi” (Iya, sudah saya ijazahkan). Entahlah apakah memang benar sudah atau belum, Wallahu a’lam bishshawab.

(Sumber: Buku biografi KH. Dzazuli Utsman, Kyai Blawong Ploso)

KH. ZAINUDDIN MOJOSARI, KYAI DAN PESANTREN YANG UNIK


Pondok berusia tua yang didirikan oleh KH. Ali Imron beratus-ratus tahun yang lampau ini memang tergolong cukup antik dan aneh (kontroversial). Bila Anda datang bertamu ke sana mungkin akan merasa kaget atau asing. Seringkali ada tamu atau santri baru yang datang langsung disambut oleh para santri Mojosari, lalu digendong beramai-ramai sambil dibacakan shalawat. Bila santri baru ini berani membalas dengan kata-kata, kontan dimasukkan ke dalam kamar dan diambilkan pentung kemudian penggojlokan dilanjutkan. Tidak main-main apabila masih berani juga bisa dipentung sungguhan sampai tunduk.

Detik-detik Kewafatan Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang)



Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) sebelum akhir hayatnya pada tahun 1968 mengalami pingsan selama kurang lebih 40 hari. Beliau hanya berbaring di tempat tidurnya tanpa sadarkan diri. Dalam keadaan itu beliau senantiasa disuapi air zamzam oleh putranya sebagai pengganti makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.

40 hari kemudian, akhirnya Habib Ali al-Habsyi mulai sadar. Dipanggillah putranya: “Ya Muhammad, antar Abah ke hammam (kamar mandi) untuk bersih-bersih diri.”

Mendengar ucapan ayahandanya seperti itu, Habib Muhammad merasa sangat senang karena ayahnya sudah berangsur sembuh. Diantarlah ayahnya oleh Habib Muhammad ke kamar mandi untuk bersih-bersih diri.

Usai Habib Ali al-Habsyi mandi dan berwudhu, beliau duduk di tempat tidurnya dan meminta dipakaikan pakaian kebesarannya yaitu jubah, imamah dan rida’nya. Lalu beliau meminta putranya untuk membacakan qashidah “Jadad Sulaima” yang menjadi kegemaran beliau. Qashidah tersebut adalah karangan guru beliau, yaitu al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (Shahib Simthud Durar). “Ya Muhammad, aku lihat Rasulullah sudah hadir. Bacalah qashidah Jadad Sulaima. Lekaslah baca, ayo Bismillah!”

Mendengar ucapan ayahnya, segera Habib Muhammad membacakan qashidah tersebut sambil menangis dan tidak mampu menyelesaikan qashidah tersebut. Akhirnya yang melanjutkan qashidahnya adalah Habib Husein bin Thaha al-Haddad (ayah dari Kak Diding al-Haddad).

Setelah selesai pembacaan qashidah tersebut, Habib Ali al-Habsyi berkata: “Ya Muhammad, hari apakah ini?”

Habib Muhammad menjawab: “Hari Ahad ya Abah. Jamaah sudah penuh hadir di Majelis.”

Kemudian Habib Ali al-Habsyi kembali berkata: “Ya Muhammad, kirimkan salamku pada seluruh jamaah. Dan pintakan maaf atas diriku pada seluruh jamaah. Pintakan maaf untukku pada mereka. Sesungguhnya diri ini tidak lama lagi, karena sudah datang Rasulullah dan datuk-datuk kita.”

Dengan perasaan sedih yang mendalam, Habib Muhammad pun akhirnya menyampaikan pesan ayahnya pada semua jamaah yang hadir di Majelis Ta’lim Kwitang hari Minggu pagi itu. Tidak lama setelah itu, Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sebelum wafatnya, beliau mengajak kepada yang berada di sekitarnya untuk membaca talqin dzikir “La Ilaha Illallah”.

Semua yang hadir, termasuk Habib Ali bin Husein Alattas (Habib Ali Bungur), Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, dan para keluarga mengikuti ucapan Habib Ali al-Habsyi yang semakin lama semakin perlahan hingga hembusan nafasnya yang terakhir kali.

Akhirnya al-Habib Ali al-Habsyi wafat di pangkuan al-Habib Ali bin Husein Alattas dalam keadaan berpakaian kebesarannya. Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi lahir di Jakarta pada hari Ahad 20 Jumadil Ula 1286 H/20 April 1870 M, dan wafat hari Ahad 20 Rajab 1388 H/13 Oktober 1968 M.

(Kisah dari Ust. Antoe Djibrel/Khadim MT Kwitang yang beliau dapatkan dari Alm. al-Habib Muhammad bin Ali al-Habsyi).

Detik-detik Kewafatan Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang)



Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) sebelum akhir hayatnya pada tahun 1968 mengalami pingsan selama kurang lebih 40 hari. Beliau hanya berbaring di tempat tidurnya tanpa sadarkan diri. Dalam keadaan itu beliau senantiasa disuapi air zamzam oleh putranya sebagai pengganti makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.

TERAPI RUHANI, NASEHAT AL-HABIB ALI AL-JUFRI


· Masihkan Diriku Merasa Alim?

Jika kita merasa telah alim, dan sudah banyak ilmu yang kita peroleh, apa arti ilmu kita di hadapan ilmu Iblis. Ilmu apa yang tidak dia ketahui? Sayangnya, ia tidak mengamalkan ilmunya dan tidak tulus bersama Allah. Allah tidak menerimanya. Kalaupun ilmu kita diterima, apakah kita satu-satunya orang berilmu?


Apa arti ilmu kita di hadapan orang-orang sebelum kita? Imam Ahmad bin Hanbal hafal ribuan hadits, begitupula Imam al-Hakim. Bagaimana kita akan tertipu dengan beberapa hadits yang kita hafal, namun tidak kita amalkan?

Imam Syafi’i hafal al-Quran di usia 7 tahun. Ia juga hafal kitab hadits al-Muwaththa’, dengan seluruh sanadnya pada usia 10 tahun. Guru-gurunya, terutama Imam Malik, mendudukkannya di atas kursi tempat mereka berfatwa, ketika usianya belum genap 12 tahun. Sampai-sampai karena tubuhnya yang kurus, ia harus minum pada siang hari bulan Ramadhan, karena tidak kuat dan belum wajib berpuasa. Jadi, ia mengajar sambil minum di atas kursinya itu.

Bagaimana ilmu kita dibandingkan ilmu mereka? Dengan karunia Allah yang diberikan kepada mereka? Soal dedikasi? Kita juga tidak perlu tertipu (dengan amal kita).

Jika kita berjuang, kita berjuang dengan perut kenyang. Padahal orang-orang sebelum kita berjuang dengan perut lapar. Mereka tidak memiliki apa-apa selain sebiji kurma, atau bahkan separuhnya. Setelah itu mereka tidak mempunyai apa-apa lagi.

Apabila orang beriman mau menelaah kehidupan orang-orang saleh zaman dulu, ia pasti tidak akan tertipu dengan amalnya. Ia akan melihat hakikat penyembahan kepada Allah, sehingga ia terpacu untuk terus meningkatkan amalnya dengan tetap menyadari bahwa amalnya itu tidak lain adalah anugerah Allah.

· Istighfarku Perlu Diistighfari

Rabi’ah al-Adawiyah pernah berkomentar singkat: “Istighfar kita sesungguhnya masih membutuhkan istighfar.”

Beliau menguraikan lebih lanjut bahwa pada saat mengucapkan “Astaghfirullah... astaghfirullah…”, hatiku tidak tersambung kepada Allah. Hal ini tak ubahnya seperti meminta maaf kepada seseorang atas suatu kesalahan sambil tertawa “Hahaha, maafkan aku, maafkan aku” dan berlalu. Itu namanya kurang ajar. Minta maaf itu artinya merasa bersalah. Jadi, harus dilakukan dengan perasaan yang hancur dan penuh malu.

(Dikutip dari: Al-Habib Ali al-Jufri dalam buku “Terapi Ruhani untuk Kita”, halaman 68 dan imtiyaz-publisher.blogspot.com).

TERAPI RUHANI, NASEHAT AL-HABIB ALI AL-JUFRI


· Masihkan Diriku Merasa Alim?

Jika kita merasa telah alim, dan sudah banyak ilmu yang kita peroleh, apa arti ilmu kita di hadapan ilmu Iblis. Ilmu apa yang tidak dia ketahui? Sayangnya, ia tidak mengamalkan ilmunya dan tidak tulus bersama Allah. Allah tidak menerimanya. Kalaupun ilmu kita diterima, apakah kita satu-satunya orang berilmu?

Hukum “Pedekate” dengan Facebook dan Alat Komunikasi / sosmed Lainnya

Assalamualaikum wr.wb. Berikut ini adalah salah satu hasil bahtsul masail diniyyah atau pembahasan masalah keagamaan oleh Forum Musyawarah P...