Senin, 24 Februari 2014

PROFIL AL-HABIB AHYAD BIN ABDULLAH BANAHSAN; PONPES. AL-ABIDIN


Meski usianya masih muda, tapi semangat dakwahnya luar biasa. Ia berhasil meyakinkan masyarakat akan bahaya kemaksiatan. Dan para preman pun segan, tak berani membuka tempat-tempat maksiat.

Kalau Anda lewat di Jl. Pahlawan Revolusi, Jakarta Timur, mulai dari Klender sampai perempatan Pangkalan Jati menuju Pondok Gede, Bekasi, perhatikanlah sebelah kiri dan kanan jalan dengan cermat. Di sana Anda tidak akan menemukan tempat-tempat perjudian, narkoba, biliar, penjual minuman keras dan tempat-tempat hiburan lain yang akrab dengan maksiat.

Apalagi jika Anda masuk ke dalam perkampungan di dalam. Secara sembunyi-sembunyi, mungkin saja ada orang yang membuka tempat-tempat seperti itu. Tapi, jangan harap mereka berani terang-terangan melakukannya. Mengapa? Sebab, jika hal itu terdengar oleh Habib Ahyad bin Abdullah Banahsan, dalam tempo singkat ia bersama masyarakat Pondok Bambu dan sekitarnya akan segera menggusurnya. Tak peduli siapa yang membuka tempat maksiat dan yang menjadi backingnya.

a. Muda Berwibawa

Ketokohan Habib Ahyad Banahsan dan kekompakan masyarakat Islam setempat membuat lingkungan tersebut relatif bersih dari maksiat – hal yang cukup sulit dilakukan di tempat-tempat lain di Jakarta.

Kaum Muslimin, khususnya yang bermukim di Pondok Bambu dan sekitarnya, patut bersyukur. Sebab, anak-anak mereka relatif lebih aman dari pengaruh yang dapat merusak masa depan mereka, meskipun hal itu tidak menjamin mereka tidak akan terpengaruh sama sekali. Sebab, bisa saja mereka melakukannya di tempat lain atau secara sembunyi-sembunyi. Tapi, upaya seperti itu setidaknya bisa menjadi pagar yang cukup penting buat melindungi mereka.

Habib Ahyad memang dikenal sangat keras – bahkan ada yang menilainya nekat – dalam memberantas kemaksiatan. Jika membasmi tempat-tempat maksiat, ia tidak seperti jenderal di medan tempur yang mengerahkan pasukan sementara ia hanya menonton di belakang. Tidak. Ia selalu maju memimpin murid-murid dan para pengikutnya dalam memperjuangkan kebenaran menurut keyakinannya. Bahkan, terkadang ia sendiri tampil melakukannya, sementara yang lain cuma mengamati dari jauh.

Sikapnya yang konsisten dan keberaniannya memberantas kemaksiatan didasari keyakinannya yang kuat bahwa Allah Swt. akan membantu dan menolong orang-orang yang berjuang di jalanNya. Keyakinan itu semakin mantap, terutama karena langkahnya tidak hanya didukung oleh para santrinya, melainkan juga berbagai elemen masyarakat di sekitarnya, termasuk para tokohnya.

Meski demikian, tidak berarti ia bersikap semena-mena atau serampangan tanpa pertimbangan dan perhitungan matang. Sebelum bertindak, ia selalu menjalin komunikasi dengan berbagai pihak. Selain itu, ia terlebih dahulu juga memberikan peringatan kepada mereka yang menggelar praktik-praktik kemaksiatan. Jika peringatan itu tidak diindahkan, barulah ia mengambil tindakan. Memang tidak semua orang setuju. Terhadap orang-orang yang tak sepakat, jawaban Habib Ahyad singkat saja: “Anda lebih sayang kepada anak-anak Anda, atau kepada mereka yang membuka tempat-tempat seperti itu?”

Dalam melakukan dakwah dan mendidik masyarakat, ulama ini bukan tak pernah mengalami kendala. “Kadang-kadang kami didatangi bos-bos biliar yang membawa segepok duit,” tuturnya.

Bukan hanya dengan cara halus, cara-cara keras pun sering dihadapinya. “Ini Arab sialan! Nanti kita bawain pistol aja, Bos,” katanya menirukan ucapan seorang preman kepada bosnya.

Itu semua hanya salah satu dari beberapa aktivitasnya. Itu pun terbatas di wilayah yang masuk dalam pengaruhnya. la tak mau mencampuri wilayah orang lain. Paling-paling, ia mengingatkan dan memberi saran kepada para tokoh masyarakat yang bersangkutan. Selebihnya, ia serahkan kepada kebijaksanaan masing-masing. Dan sampai sejauh ini aktivitas utama -insinyur lulusan Institut Pertanian Bogor kelahiran 7 Juli 1969 ini- ialah berdakwah dan mendidik masyarakat.

Menurut warga setempat , mereka merasa terayomi oleh kehadiran habib muda ini. Hal itu tiada lain disebabkan oleh upayanya yang sungguh-sungguh agar perbuatannya senantiasa sejalan dengan ucapannya. “Kalau saya menulis se suatu yang ingin saya sampaikan kepada masyarakat, saya minta murid saya membaca dulu, lalu saya bertanya: “Menurut ente saya ini bagaimana?” Setelah membaca, muridnya bilang: “Ya, seperti yang antum tulis.” Jadi, saya menghindari menulis atau menyampaikan sesuatu yang saya sendiri tidak mampu melaksanakannya. Kalau kita mengajarkan sesuatu yang kita enggak laksanakan, ilmu kita tidak bermanfaat, dan jauh dari hidayah. Kalau kita memberikan ilmu yang biasa kita amalkan, insya Allah murid bisa menerimanya. Tapi kalau ceramah tidak disertai amal saleh, tentu tidak berwibawa”, katanya.

b. Latar Belakang Keluarga

Siapakah tokoh muda yang disegani, yang selalu menjaga keseimbangan dalam berbagai hal ini? Ia, anak sulung dari lima bersaudara, putra-putri pasangan Habib Abdullah bin Umar bin Utsman Banahsan dan Syarifah Husna binti Ahmad bin Utsman Banahsan. Ayahnya, yang masih gagah dan energik dalam usia 60-an, juga dikenal sebagai ulama yang disegani. Ayah dan anak ini memang pasangan serasi, mereka berjalan beriringan dalam membina dan mengayomi masyarakat. Jika Habib Abdullah menjadi sesepuh bagi orang-orang tua, Habib Ahyad menjadi pemimpin anak-anak muda. Pada hari-hari tertentu, sang ayah menggelar pengajian untuk kaum bapak dan di hari lainnya untuk kaum ibu.

Habib Abdullah bin Umar Banahsan adalah orang yang sangat mementingkan pendidikan bagi anak-anaknya. Mereka semua, termasuk putri-putrinya, dibekali pendidikan yang memadai agar dapat menjalani kehidupan dan menghadapi tantangan zaman dengan baik. Semua didorong untuk menguasai ilmu. Uniknya, tidak seperti sebagian habib yang lebih cenderung memasukkan anak-anaknya ke sekolah agama, Habib Abdullah lebih memilih pendidikan umum bagi putra-putrinya, terutama untuk tingkat dasar. Salah seorang adik Habib Ahyad, Sayyid Kamil, setelah menyelesaikan pendidikannya di jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UI menjadi dosen di almamaternya. Kini ia sedang menyelesaikan program doktornya di Jerman. Adik-adik Habib Ahyad yang lain semuanya juga menempuh pendidikannya dengan baik hingga jenjang perguruan tinggi. Mereka adalah Syarifah ‘Abidah, Syarifah Mahmudah, dan Sayyid Syafiq.

Meskipun pendidikan anak-anaknya adalah pendidikan umum, tidak berarti ia tidak peduli akan bekal pendidikan agama bagi mereka. Justru ia benar-benar mengarahkan dan membina mereka secara langsung agar dapat menguasai ilmu agama, minimal untuk kebutuhan pribadi. Khusus bagi anak-anaknya yang diharapkan dapat berperan mendidik masyarakat, dorongan dan arahan yang diberikan lebih besar lagi.

c. Pendidikan dan Para Gurunya

Diantara anak-anak Habib Abdullah Banahsan, Habib Ahyad sejak masih duduk di bangku sekolah menengah memang telah menunjukkan kecenderungan yang kuat sebagai calon penerus kepemimpinan Ma’had Al-‘Abidin, baik dari segi kecerdasan, minat keilmuan, semangat perjuangan, bakat kepemimpinan, maupun aspek-aspek lainnya.

Sejak kecil, disamping menjalani sekolah formalnya, ia juga terus membekali diri dengan ilmu-ilmu agama. Ketika masih duduk di bangku SD, tepatnya di SD PR V Pondok Bambu, Jakarta Timur, ia telah mulai serius mempelajari al-Quran dan kitab-kitab dasar, seperti Kitab Sifat Dua Puluh, Irsyadul Anam, Adabul Insan, dan sebagainya kepada Ustadz H. Sanusi dan H. Musa. Kemudian ia belajar kepada guru-guru lain, termasuk kepada ayahnya sendiri dan kepada pamannya, Habib Fadhil bin Umar Banahsan.

Kepada ayahnya, ia mengaji kitab-kitab dasar yang menjadi standar di lembaga-lembaga pendidikan tradisional, diantaranya kitab Jurumiyah, Mukhtashar Jiddan, Kailani, Kafrawi, Kasyifatus Saja, Kifayatul ‘Awam. Sebelumnya, kepada pamannya ia mempelajari berbagai kitab maulid dan kitab Safinatun Naja disamping terus mempelajari al-Quran. Selain kepada mereka, di waktu kecil ia juga belajar kepada kakeknya, Habib Umar bin Utsman Banahsan dan kepada Syaikhah Salamah binti Soleh (guru perempuan).

Disamping dari ayahnya, kitab-kitab dasar menengah ia pelajari juga dari Ustadz H. Abdullah, antara lain kitab Fathul Qarib, Fathul-Majid, Ibnu Aqil. Setelah itu ia menimba ilmu dari KH. Mundzir Tamam dengan mempelajari Shafwatut Tafasir dan Asybah wa an-Nadzairdan kepada Habib Hamid bin Abdullah al-Kaf dengan membaca Qa’idah al-Asasiyah danTarikh Ibn Hisyam.

Antara tahun 1996 sampai tahun 2000, ia mengaji kitab-kitab kepada KH. Rodhi Soleh, yang pernah menjadi Wakil Rais Am PBNU. Kepada ipar KH. M.A. Sahal Mahfudz ini ia mempelajari kitab-kitab al-Manhalul Lathif, Adabul ‘Alim wal Muta’allim, Lathaiful Isyarah, Lubbul Ushul dan Faraidul Bahiyyah.

Sejak tahun 1996 hingga kini, Habib Ahyad, yang menyelesaikan pendidikan menengahnya di SMPN 51 dan kemudian SMAN 12 Jakarta, belajar kepada KH. Drs. Saifuddin Amsir, yang kini menjadi salah seorang Rais PBNU. Kepadanya ia mempelajari beberapa kitab, diantaranya Qawa’idul Lughah al-‘Arabiyyah dan Ushul al-Fiqh al-Islamiy. Sejak tahun 1983 ia juga menghadiri majelis Habib Syaikh bin Ali al-Jufri, yang memberikan pelajarannya di Masjid al-Abidin.

Disamping itu, ia pun sering mengikuti majelis-majelis KH. Syafi’i Hadzami, seorang ulama terkemuka, panutan kaum Muslimin di Jakarta dan sekitarnya, utamanya pada pengajian-pengajian pasarannya di bulan Ramadan, diantaranya ketika membaca kitab Idhahul Mubhamdan kitab Jauharul Maknun.

Ketika ditanya siapa diantara para gurunya yang paling berpengaruh dan berjasa baginya, ia menjawab: “Semua guru sama berjasa dan berpengaruhnya bagi perkembangan diri saya. Tetapi yang paling banyak membantu saya tentu saja ayah saya.”

d. Besar dalam Nuansa NU

Habib Ahyad dibesarkan dalam dua kultur yang berkaitan erat, habaib dan nahdliyin. Sejak muda ayahnya adalah aktivis Anshor, bahkan sang kakek juga memiliki kedekatan dengan salah satu pendiri NU, KH. A. Wahab Hasbullah, yang juga menjadi Rais Am sepeninggal KH. Hasyim Asy’ari.

Mereka berdua juga menggerakkan kegiatan Ma’had al-‘Abidin, lembaga pendidikan di masjid dengan nama sama di Jalan Kol. Sugiyono, Sawah Barat, Duren Sawit, Jakarta Timur. Kegiatan utamanya pengajian anak-anak dan remaja yang diselenggarakan setiap malam, kecuali malam Jum’at.

e. Pengabdian dalam Pendidikan

Meskipun dilangsungkan di masjid, pelajarannya tidak kalah dibanding pelajaran di madrasah atau pondok-pondok pesantren. Ia berusaha mempertahankan tradisi dan sistem yang telah diwariskan oleh kakeknya, Habib Umar Banahsan. Beliau berasal dari daerah Mesteer Cornelis, yang sekarang lebih dikenal sebagai Jatinegara. Kemudian pada tahun 1935, oleh Ki Demang, beliau diminta pindah ke daerah Sawah Barat untuk mengajar warga setempat. Sawah Barat adalah sebuah wilayah yang masih masuk Kelurahan Pondok Bambu.

Murid-murid di pengajian ini sekarang jumlahnya sekitar 500 orang putra-putri di bawah bimbingan 50 orang guru. Mereka dibagi ke dalam kelas athfal (kanak-kanak) dan kelas lanjutan yang dibagi lagi menjadi lima tingkatan.

Untuk kelas-kelas athfal, para murid dibimbing oleh seorang guru; sedangkan untuk kelas-kelas berikutnya, mereka dibimbing oleh banyak guru, tergantung pelajarannya. Jadi, ada guru yang khusus mengajar fikih, tauhid, nahu, saraf, tarikh, dan sebagainya.

Selain melestarikan pendidikan agama yang memadukan sistem halaqah dengan sistem madrasah, al-Abidin juga menyelenggarakan pendidikan umum untuk jenjang TK dan SD dengan kurikulum Depdiknas, dan sudah berjalan hampir 10 tahun. Mengapa tidak membuka sekolah agama saja? “Kalau ada anak-anak yang mau mendalami agama, silakan datang ke Masjid Abidin. Jika pendidikan umum dan agama disatukan di bawah sebuah lembaga pendidikan, biasanya ada salah satu yang kalah,” kata Habib Ahyad.

Selain itu, menurutnya, sistem halaqah punya kelebihan tersendiri. “Pendidikan halaqah di masjid punya beberapa kelebihan. Kalau diadakan di kelas, kita kan harus membangun ruang kelas dulu. Kedua, murid-murid dengan bebas mengenakan kain sarung dan kopiah, sehingga bisa langsung shalat berjamaah, bisa langsung mengikuti maulid atau berdzikir. Jadi, ilmu dan amal bisa berlangsung sekaligus. Sebab, masjidlah laboratorium yang sebenarnya. Kalau mereka sudah di situ, kan bisa langsung praktik,” katanya lagi.

Sasaran dakwahnya memang generasi muda. Apalagi, katanya, pemikiran orang tua sudah sulit diubah. “Saya baru 15 tahun terjun di masyarakat. Kebanyakan orang tua itu kan agak sulit kita ubah. Tapi, kalau anak-anak muda, setelah beberapa tahun kita ajak mengaji, insya Allah ada perubahan. Lebih mudah lagi kalau kita menggarap anak-anak kecil, yang memang bisa menjadi lahan dakwah. Anak-anak kecil itu, seperti kata orang Betawi, pegimane maunye kite,” tambahnya.

Menurut perhitungannya, untuk mendidik anak muda diperlukan waktu 10 tahun agar mereka punya sebuah kesadaran, merasakan dan menyadari ajaran agama sebagai kewajiban. Sedangkan untuk mendidik anak-anak, perlu waktu sekitar 20 tahun.

Namun, di lain pihak, cara Habib Ahyad yang keras dan berdisiplin dalam mendidik terkadang diprotes oleh sebagian orangtua murid. Tapi, karena orangtua yang mendukungnya lebih banyak, dan yakin bahwa cara yang ditempuhnya benar, ia tetap pada kebijakannya.“Sebenarnya ada sebagian orangtua murid yang pusing melihat kebijakan saya. Tapi, Alhamdulillah, ayah, yang cukup berpengaruh di lingkungan sini, mendukung saya,”ujarnya.

Meskipun keras dalam mendidik, Habib Ahyad – ayah dua putri dari pernikahannya dengan Syarifah, Yuli Atikah Yahya pada 1994 – selalu mencoba mencari cara yang pas agar murid-muridnya tetap dekat dengannya. Salah satunya dengan menyelenggarakan kegiatan yang disukai anak-anak muda tapi tidak bertentangan dengan agama.

“Di Jakarta ini musuh dalam mendidik anak-anak ialah lingkungan dan pergaulan bebas. Untuk benar-benar memutuskan hubungan mereka dari hal-hal negatif itu, tentu cukup berat. Akhirnya, saya melakukan kan beberapa kegiatan yang ngepop. Misalnya, kompetisi sepak bola antar majelis taklim, juga camping setiap akhir tahun. Kalau tahun baru, kami biasanya ke pantai. Setelah salat Maghrib dan Isya, kami ke pantai hingga pukul 02.00 dini hari. Itulah antara lain yang kami coba lakukan agar mereka tidak jenuh,” tuturnya.

f. Ulama yang Tidak Alergi Politik dan Keberagaman

Ulama dan mubaligh muda ini tidak alergi politik. “Politik itu bagian dari perjuangan Islam, sebab Nabi dulu juga menjadi kepala negara. Kalau orang Islam enggak ngerti politik, berarti ada salah satu sisi ilmu Islam yang tidak ia ketahui. Islam kan lengkap, di dalamnya termasuk ilmu politik dan ilmu perang. Selain itu, kaum Muslimin kan sudah memiliki jamaah. Baik NU, Muhammadiyah, maupun partai-partai Islam. Menurut saya, semua partai berbasis Islam itu bagus. Tinggal kita memilih mana yang paling tepat dan paling sesuai dengan jamaah kita,” ujarnya.

Habib Ahyad, dalam bidang ilmu, agama dan dakwah, mengidolakan Prof. Dr. as-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Dr. Yusuf Qaradhawi dan Syaikh Muhammad al-Ghazali. Sedangkan dalam politik dan perjuangan, tokoh favoritnya adalah pemimpin Revolusi Iran, Ayatullah Khomeini. “Saya mengidolakan beliau karena keberaniannya menegakkan kebenaran dan menentang negara adidaya yang dzalim. Meski orang alim saat ini banyak, yang berani berjuang kan enggak banyak.”

Berbeda dengan banyak ulama dan mubaligh muda, Habib Ahyad lebih banyak berdakwah dengan tindakan. Disamping memberi contoh, ia juga dikenal tegas bersikap ketika sesuatu yang menurutnya tidak benar. “Saya cuma tidak ingin jarkoni,” katanya merendah.“Misalnya, masa saya nyuruh teman-teman tidak merokok sementara saya sendiri merokok?”

Bagaimana ia memandang kondisi Indonesia saat ini, khususnya kota Jakarta, yang sudah sarat dengan kemaksiatan? Bagaimana resep menghadapinya? “Menurut saya, setiap orang mendapat beban dari Allah Swt. sesuai kedudukan, kekuatan dan kemampuan masing-masing. Silakan masing-masing berkaca sampai di mana ruang lingkup yang Allah bebankan kepadanya. Lalu, masing-masing bekerja sesuai kemampuannya. Jika itu sudah dilakukan, selesailah tanggung jawabnya. Di lingkungan yang bagus ada tanggung jawab kita, di lingkungan yang jelek pun ada tanggung jawab kita,” katanya.

Tapi, ia tidak setuju jika dikatakan Jakarta sudah benar-benar rusak. Mengapa? Habib Ahyad menyatakan: “Kita wajib bersyukur karena di Jakarta ada ribuan masjid, majelis taklim, dengan sekian ribu habib dan kiai. Memang, panti pijat, diskotek, bar dan tempat-tempat maksiat lain juga banyak. Kalau dihitung, mungkin ada ribuan. Tapi, secara garis besar saya melihat, Jakarta ini bagus. Saya bersyukur dilahirkan di Jakarta. Mau mengaji, banyak gurunya. Mau shalat, di mana saja bisa. Jadi, menurut saya, Jakarta itu kota yang bagus. Tapi, itu juga tergantung bagaimana orang memandangnya.”

Disinggung mengenai pola dakwah yang tepat untuk masyarakat Indonesia, ada yang keras tapi ada juga yang lebih toleran, Habib Ahyad dengan arif mengatakan: “Biar saja semua berjalan, karena dua-duanya perlu. Kadang-kadang umat memerlukan figur yang tegas tanpa kompromi seperti Habib Riziq Syihab, tapi suatu ketika umat juga memerlukan tokoh dengan pendekatan yang lembut dan toleran seperti Habib Alwi Syihab.” Habib Ahyad sendiri mengaku menempuh kedua jalan itu sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi.

PROFIL AL-HABIB AHYAD BIN ABDULLAH BANAHSAN; PONPES. AL-ABIDIN


Meski usianya masih muda, tapi semangat dakwahnya luar biasa. Ia berhasil meyakinkan masyarakat akan bahaya kemaksiatan. Dan para preman pun segan, tak berani membuka tempat-tempat maksiat.

Kalau Anda lewat di Jl. Pahlawan Revolusi, Jakarta Timur, mulai dari Klender sampai perempatan Pangkalan Jati menuju Pondok Gede, Bekasi, perhatikanlah sebelah kiri dan kanan jalan dengan cermat. Di sana Anda tidak akan menemukan tempat-tempat perjudian, narkoba, biliar, penjual minuman keras dan tempat-tempat hiburan lain yang akrab dengan maksiat.

HUBUNGAN ANTARA NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN NAHDLATUN WATHAN (NW)


Tampak dalam foto adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika sowan di kediaman Almaghfurlah Maulana Syaikh TGKH. Zainuddin Abdul Majid Pancor NTB. Gus Dur sudah terbiasa sowan dan bersilaturrahim kepada pendiri Nahdlatul Wathan (NW) itu. Di mata Gus Dur, Syaikh Zainuddin adalah sosok maha guru yang sangat disegani. Beliau adalah adik kelas dari kakek Gus Dur sendiri, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Sowan Gus Dur adalah sebagai tanda penyambung pipa sanad ilmu yang bertemu pada sanad yang sama yaitu Syaikh Amin al-Kutbi.

Biografi lengkap TGKH. Zainuddin Abdul Majid bisa Anda baca di: http://www.muslimedianews.com/2013/09/manaqib-tuan-guru-kh-muhammad-zainuddin.html

Berikut ini adalah hasil sebuah wawancara tentang Gus Dur (NU) dengan TGKH. Abdul Aziz Sukarnawadi (Pendiri PWK-NW/Perwakilan Khusus Nahdhatul Wathan), Mesir. Beliau adalah kandidat Master The American Open University, in Cairo. Beliau seorang intlektual muda dan kiyai ternama, penulis buku “Sabda Sufistik”, lahir di Saudi Arabia, dan pernah dianugerahi shalat di dalam Kakbah, karena termasuk pelajar yang berprestasi.

Gus Dur di Mata Tuan Guru KH. Abdul Aziz Sukarnawadi, Pendiri PWK-Nahdlatul Wathan

1. Sosok Gus Dur, Pendekar Bangsa yang Agamis

Gus Dur sebagai anak kandung tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU), KH. Abdul Wahid Hasyim. Dalam tulisan tinta sejarah, Kyai Wahid banyak sekali memberikan ide-ide brilian, diantaranya “menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta”, bersama KH. Bagus Hadi Kusumo dari Muhammadiyah yang berisi kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya.

Di sini jelas, bahwasanya bapak Gus Dur sebagai mantan Menteri Agama di era 40-an, sudah menggulirkan sumbangsih yang sangat bermanfaat bagi bangsa ini, karena Indonesia adalah negara Islam secara substansial namun nasionalis secara formal. Dari keberanian KH. Wahid Hasyim, banyak pihak yang tidak menyukainya. Sehingga tak heran bila beliau meninggal karena diakibatkan kecelakaan, yang diduga akibat ulah musuh-musuh politiknya untuk melenyapkannya.

Dari silsilah kakeknya, Hadhratus Syaikh KH. Hasim Asy’ari, seorang tokoh kharismatik sepanjang sejarah Nahdlatul Ulama yang mampu mengumpulkan kiyai-kiyai untuk menyelamatkan nasionalisme bangsa ini, tanpa meninggalkan tradisi dan ideologi sebagai seorang muslim dan kiyai kharismatik. Tak heran, bila Bung Karno dan Bung Tomo sering meminta petunjuk dari beliau sebelum melangkah mewarnai hitam putih bangsa Indonesia. Peristiwa 10 November yang dijadikan sebagai hari pahlawan, sebenarnya berawal dari tradisi memperingati jasa para pahlawan yang ada dalam NU setiap tahun, atau yang disebut dengan haul.

Apabila ditarik ke belakang, Gus Dur adalah cucu dari Syaikh Abdurrahman Basyaiban alias Sultan Hadiwijaya yang menyelamatkan pertikaian kerajaan Demak dari politisasi agama. Anda jangan heran, tatkala semasa hidupnya, Gus Dur sering mengunjungi makam Sang Joko Tingkir ini, di Pringgoboyo, Lamongan. Seorang datuk yang merupakan seorang ulama sekaligus pahlawan nasional.

Dari beberapa hal yang saya sebutkan di atas, Gus Dur memiliki darah pendekar bangsa, yang diimbangi dengan nuansa keagamaan yang kental. Seperti nama kecilnya, Abdurrahman Addakhil; seorang penakluk, yang mendobrak bangsa ini dari keterbelakangan. Jadi, bila dirunut dari darah birunya, dan kapabilitas intelektualnya, Gus Dur adalah tokoh segala-galanya.

2. Sumbangsih Gus Dur bagi Bangsa

Ibarat sebuah bangunan, Indonesia memerlukan banyak pasak atau sokoguru. Maka, saya memposisikan Gus Dur sebagai salah satu pasak negara ini. Mengapa? Coba Anda perhatikan, ormas Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang identik dengan tradisionalisme, kaum sarungan, dan orang-orang ndeso. Tapi, setelah Gus Dur menjadi pemimpin Nahdlatul Ulama, eksistensi NU tidak hanya memberikan sisi progresif bagi bangsa Indonesia, tapi diakui oleh dunia internasional. Diantaranya, tokoh-tokoh barat banyak yang tertarik untuk mengkaji Nahdlatul Ulama. Dengan kata lain, Nahdlatul Ulama sekarang, tidak hanya dibatasi dengan literatur-literatur lokal tetapi juga turut mewarnai ensiklopedia internasional.

Di sisi lain, kaum non-Muslim banyak yang menganggap Gus Dur adalah sang penyelamat. Karena Gus Dur tidak hanya seorang Muslim yang berjuang untuk orang-orang Islam saja, tapi juga memusnahkan ketertindasan yang dialami orang-orang non-Muslim di Indonesia, seperti orang-orang Cina yang dilarang untuk merayakan hari raya Imlek dan orang-orang Kristen yang selalu dianggap sebagai kaum yang layak untuk diperangi.

Al-Quran menyebutkan: “Walan tardha ‘ankal Yahudu walan Nashara hatta tattabi’a millatahum”, ayat tersebut diaktualisasikan dalam tafsir sang Abdurrahman Wahid sebagai keyakinan terhadap identitas agama masing-masing. Jadi, bukan orang Yahudi dan Nasrani yang membenci Muslim, lantas harus diperangi, tapi seorang Muslim harus berani bersaing sehat dengan Yahudi dan Nasrani untuk mengembangkan ajaran Islam. Kenapa kita harus takut dengan Kristenisasi dan Yahudisasi, sementara kita sendiri berlomba-lomba untuk melakukan Islamisasi. Islam adalah agama universal, keberadaannya untuk mengayomi alam semesta, sebagaimana Rasulullah diutus bukan untuk memerangi orang-orang kafir, tapi untuk menyelamatkan mereka dari penyakit kekufuran.

Kaum minoritas tidak disingkirkan oleh Gus Dur, tapi diberikan hak hidup dan dibebaskan untuk menentukan pilihannya. Saya jadi teringat Jendral Thariq bin Ziyad tatkala menaklukkan Andalusia. Penaklukan-penaklukan (futuhat) yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan Islam tempo dulu, untuk menyelamatkan manusia dari ketertindasan, bukan agar mereka memeluk agama Islam dan menjalankan syariatnya.

Tak heran bila dikenal istilah kafir dzimmi dalam literatur hukum Islam. Rasulullah Saw. bersabda: “Man adza dzimmiyyan faqad adzani.” Artinya, siapa yang memusuhi non-Muslim atau kelompok minoritas yang dilindungi oleh bangsa dan negara, berarti memusuhi Rasulullah Saw.

3. Ide-ide Gus Dur dalam Mencerahkan NW di Mesir dan di Indonesia

Berawal dari titik tolak NW di NTB yang eksklusif, saya ingin menjadikan NW tetap pada khittahnya, namun bersifat inklusif. Sehingga saya dan teman-teman mencoba menggagas kajian al-Abrar yang kemudian menjadi PwK-NW (Perwakilan Khusus Nahdlatul Wathan). Sebab, sebagai negara yang bebas, banyak mahasiswa Indonesia di Mesir yang kadang-kadang tertutup cara berfikirnya dan picik pandangannya. Namun, tak sedikit dari mereka yang kebablasan dan liberal. 

Nah, Gus Dur sebagai tokoh moderat yang pernah belajar di Mesir sudah sepatutnya menjadi figur yang bisa menjadikan NW dalam garis moderat (wasathiyah). Kenapa saya katakan moderat? Karena Gus Dur selalu hadir sebagai penyeimbang, tatkala kebanyakan orang berbondong-bondong menuju arah kanan, Gus Dur mengingatkan arah kiri, dan sebaliknya. Jadi, bagi saya itu bukan sesuatu yang nyleneh, tapi merupakan stabilisasi keadaaan agar tidak timpang dan carut-marut. Selama masih berpegang kepada apa yang kita yakini, kenapa tidak?

NW di Indonesia, sering mengalami krisis gaya berfikir yang modern, dengan menafikan pihak lain. Padahal, TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid sebagai pendiri NW menamakannya dengan kebangkitan bangsa (Nahdlatul Wathan), bukan kebangkitan pribadi atau golongan. Cara berfikir yang sempit, tentu akan mempengaruhi dalam prilaku keseharian dan interaksi sosial.

Apa yang saya alami tatkala memberikan taushiyah atau khutbah di salah satu masjid tentang NW, padahal realitanya pengurus masjid tersebut adalah orang-orang NU, ternyata dianggap tabu. Tentu, saya khawatir tatkala ingin mengambil teladan tokoh NU di kalangan orang-orang NW. Sungguh cara berinteraksi sosial yang perlu dirubah.

Soal suksesi kepemimpinan, sudah selayaknya NW berkembang secara organisasi, sekaliber NU dan Muhammadiyah. Bila kepemimpinan NW disyaratkan harus pewaris secara biologis, berarti sang pemimpin tersebut harus memiliki kapabilitas. Sebagaimana dicontohkan TGH. M. Zainul Majdi sebagai pimpinan NW sekarang dan terpilih menjadi Gubernur NTB. Sebuah organisasi yang sehat, bukanlah sebuah kerajaan yang diwarisi oleh para pangeran, namun “the right man in the right place”.

Sementara meneladani Gus Dur dari sisi ideologi, harus dipandang dengan pikiran terbuka dan wawasan yang luas, sebagaimana beliau sering mnyitir kaidah fikih “Tasharruful imam ‘alarra’iyyah manuthun bil mashlahah”. Artinya, apa yang dilakukan oleh Gus Dur sebagai sang pendobrak, selalu memberikan maslahat atau kebaikan bagi orang lain, walaupun sering tidak difahami oleh kebanyakan orang. Dengan catatan, keterbukaan ideologis yang revolusioner tetap pada khittah organisasi dan tidak menyimpang.

Ironi, ketika pengikut setia Nahdlatul Wathan malah menjadi aktifis PKS atau FPI, bahkan HTI dan lain-lain. Karena, Nahdlatul Wathan sebagai penganut nilai-nilai sufistik, sangat berbeda 180 drajat dengan kelompok-kelompok yang saya sebutkan tadi.

4. Teladan Gus Dur

Gus Dur adalah sosok nasionalis sejati, tidak hanya harta dan benda yang beliau korbankan untuk bangsa dan negara ini, namun beliau sering lupa akan kesehatan dan keselamatan diri sendiri. Pernah terjadi tatkala beliau menjadi presiden, dokter kepresidenan kebingungan, karena beliau kencing darah. Tapi ternyata beliau menanggapi dengan enteng dan santainya: “Saya yang kencing darah, kok kalian yang repot..!!”

Sebuah kepribadian yang patut kita contoh karena sangat perduli terhadap kemaslahatan orang lain, bangsa dan negara, hingga tidak menghiraukan dirinya sendiri.

Gus Dur adalah seorang pengamal tarekat, Kiyai Sonhaji dari Kebumen yang menjadi mursyid tarekatnya, banyak memberikan pencerahan terhadap dimensi spiritualnya. Seperti memaknai hadits “Tabassumuka ‘ala wajhi akhika kashshadaqah”, tidak hanya diartikan secara tekstual, dengan kata lain, senyum adalah sedekah. Akan tetapi, hakikatnya, senyum adalah sebuah wujud solidaritas kepedulian seseorang terhadap orang lain.

Manifestasi nasionalisme Gus Dur adalah cerminan seseorang yang selalu menyempurnakan imannya, karena hubbul wathan minal iman. Di sisi lain, Gus Dur sering dihujat karena keyakinannya untuk membela yang lemah dan teraniaya, seperti membela Ahmadiyah yang secara undang-undang tidak bisa dilarang dan diusir dari bumi Indonesia, walaupun secara ideologi, Gus Dur bukanlah seorang Ahmadiyah. Tuduhan Syiah, sesat, antek Zionis, dan sebagainya sering diterimanya dengan lapang dada. “Gitu aja kok repot” balasan santainya yang masyhur di antara kita.

Privasi antara hamba dengan Tuhannya, bagi Gus Dur tidak dapat diganggu gugat. Bahkan Gus Dur tidak segan-segan untuk melawan arus kelompok yang seolah-olah melakukan perlawanan, padahal tidak. Mencabut TAP MPRS 1966, tentang pelarangan komunis, misalnya. Gus Dur bukanlah seorang komunis, tetapi beliau tidak ingin komunis difitnah oleh oknum-oknum yang terlibat dalam sejarah dan terdzalimi begitu saja.

Tatkala kebanyakan orang meributkan soal pembelaan Indonesia terhadap Palestina, justru Gus Dur menginginkan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Cara pandang Gus Dur jauh ke depan, banyak yang tidak mengerti jurus-jurus saktinya.

Tidak ada musuh bagi Gus Dur. Seperti kekejian FPI tidaklah merupakan sebuah perlawanan, justru sebenarnya hukum rimba lah yang berlaku. Hanya moral binatang yang mudah memangsa yang lemah dan tak berdaya.

Bagi seorang Gus Dur, melawan sebuah kemungkaran harus dengan strategi dan tehnik yang teratur dan mengena sasaran. Adagium Arab menyatakan “Man ‘arafa lughata qaumin amina min makrihim”. Terjemahan bebasnya, sebuah perlawanan terhadap sesuatu yang tidak bisa dilawan, bisa dilakukan dengan hal-hal yang menurut kita tak terduga, seperti “melawan dengan lelucon”, hehehe!.

5. Menyikapi Gerakan Formalisasi Syariat, Seperti PKS dan HTI serta Partai-partai Islam

Partai Islam adalah sebuah kendaraan politik. Mungkin kita akan sering memperdebatkan tentang definisi politik itu sendiri. Tapi yang paling penting, eksistensi sebuah partai adalah sarana, bukan tujuan. Walaupun, realita dan fakta di lapangan berkata lain. Justru kendaraan politik yang seharusnya menjadi wasilah (sarana), sering malah menjadi ghayah (tujuan). Sehingga, tujuan mulia dari perjuangan politik menuju kemaslahatan umat sering terabaikan. Ketika terjadi sebuah bencana misalnya, peran partai politik justru memanfaatkan momen tersebut untuk mengapresiasi citra partainya sendiri dan seringkali mengatasnamakan agama atau kemanusiaan.

Meminjam istilah Habib Luthfi bin Yahya, fanatik kita kepada partai tidak lebih dari setinggi lutut kaki, sedangkan fanatik kita kepada bangsa dan negara tidak melebihi pusar, sedangkan fanatik kepada agama dan keyakinan merupakan titik tolak untuk memberikan maslahat bagi sinergi antara hubungan vertikal (hablun minallah) dan horizontal (hablun minannas).

Pemaksaan terhadap kepentingan yang dibungkus dengan baju agama sungguh menggiurkan, padahal secara substansial, nilai-nilai agama selalu dapat dimanifestasikan.

Menurut hemat saya, membeli minyak onta cap babi, jauh lebih menyenangkan daripada mengobral minyak babi cap onta. Buktinya, partai-partai Islam hanya mampu memberikan nuansa Islami pada saat-saat tertentu saja. Diharamkannya presiden wanita misalnya, suatu saat keharaman tersebut akan berubah sesuai dengan kepentingan yang diusungnya. Tatkala Megawati menjadi presiden, toh Hamzah Haz yang menjadi representasi partai Islam malah menjadi wakilnya. Baru-baru ini, kasus hebohnya Tifatul Sembiring bersalaman dengan istri Obama dibesar-besarkan, padahal kejadian yang biasa saja.

Perbedaan penafsiran, baik diformalisasikannya syariat atau tidak, biarlah terjadi. Namun, menghakimi orang lain dengan kesesatan atau bahkan menghalalkan darahnya dengan perbuatan anarkis dan kekerasan sungguh tidak etis, apalagi dilakukan oleh seorang Muslim. “Al-muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wa yadihi,” kata sebuah hadits. Islam tidak disebarkan dengan pedang, namun disebarluaskan dengan cinta dengan kasih sayang. Dakwah adalah ajakan, bukan ejekan. 

Mungkin PKS, HTI, dan lain-lain sedang digandrungi oleh sebagian kalangan, namun rasa kesengsem tersebut hanyalah temporal. Bila kita kaji sejarah, runtuhnya peradaban Islam di Andalusia disebabkan oleh partai yang mengatasnamakan agama. Nuansa cinta kasih sesama dan saling mengabdi satu sama lain, berubah menjadi keinginan untuk menjadi pimpinan yang memegang urusan penting. Agama yang sakral, menjadi tarik ulur sebuah kekuasaan. Begitu juga yang terjadi di Mesir, kasus IM yang banyak memakan korban. Tak heran bila al-Imam al-Akbar Grand Syaikh al-Azhar memiliki program untuk membersihkan al-Azhar University dari unsur-unsur Ikhwanul Muslimun.

Bila kita mau meneladani Gus Dur dalam perbedaan penafsiran, tentu kita tidak akan mudah menghakimi sesat dan kafir. Seperti kasus Mushaddiq yang mengaku nabi, Gus Dur membiarkan dia hidup, dan kebathilan itu akan mati dengan sendirinya tanpa harus diselesaikan dengan anarkisme. Merasa benar sendiri, seolah-olah telah melaksanakan syariat Islam adalah tindakan yang semena-mena. Apa bedanya Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku nabi dengan orang-orang yang merasa dirinya paling benar di sisi Tuhan. Biarlah Islam menjadi agama kasih sayang (rahmatan lil ‘alamin).

Sebagaimana doa pendiri NW, “Allahummanshur liwa-a Nahdlatil Wathan fil ‘alamin“, saya melihat NU tidak pernah memiliki doa seampuh itu. Tapi, Gus Dur memanifestasikan kasih sayang itu tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Semoga kita bisa meneladani beliau agar Gus Dur hidup kembali spiritnya untuk menebarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, bukan ruhamatan lil muslimin; rahmat bagi semesta alam, bukan hanya rahmat bagi orang Islam.

HUBUNGAN ANTARA NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN NAHDLATUN WATHAN (NW)


Tampak dalam foto adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika sowan di kediaman Almaghfurlah Maulana Syaikh TGKH. Zainuddin Abdul Majid Pancor NTB. Gus Dur sudah terbiasa sowan dan bersilaturrahim kepada pendiri Nahdlatul Wathan (NW) itu. Di mata Gus Dur, Syaikh Zainuddin adalah sosok maha guru yang sangat disegani. Beliau adalah adik kelas dari kakek Gus Dur sendiri, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Sowan Gus Dur adalah sebagai tanda penyambung pipa sanad ilmu yang bertemu pada sanad yang sama yaitu Syaikh Amin al-Kutbi.

Biografi lengkap TGKH. Zainuddin Abdul Majid bisa Anda baca di: http://www.muslimedianews.com/2013/09/manaqib-tuan-guru-kh-muhammad-zainuddin.html

DARI ADAB BERZIARAH KUBUR SAMPAI AMALAN LUHUR


Melaju dari Desa Talang Tegal, saya dan keponakan menuju ke Pesantren Darussalam di Jatibarang Brebes. Pengasuhnya adalah seorang ulama kharismatik di kalangan ulama thariqah maupun kalangan alim dan awam Nahdliyin, khususnya Brebes-Tegal dan sekitarnya.

Tepat pukul 19:20 WIB kami disambut oleh Syaikh Sholeh Basalamah di teras halaman rumahnya. Setelah menyampaikan maksud kedatangan kami, beliaupun tersenyum dan tak lama kemudian terdengar alunan suara adzan shalat Isya. Akhirnya kami diajak shalat Isya berjamaah di mushalla pondok pesantrennya sebelum melanjutkan perbincangan lebih lanjut.

Selesai shalat dan wirid berjamaah, kami diajak duduk-duduk kembali. Kami haturkan kepada Syaikh Sholeh ingin berziarah ke makam kakek beliau yang lokasinya tak jauh dari pesantren. Beliaupun berpesan kepada kami seperti pesan ayahandanya, bahwa sebelum berdzikir dan bertahlil di area makam bacalah surat al-Ikhlas sebanyak 31 kali. Hal itu bertujuan agar segala hajat kita lebih cepat terkabul oleh Allah Swt., disamping sebagai adab/tata krama dalam berziarah kubur ke makam para wali Allah.

Kami sampaikan juga kepada beliau bahwa kami ingin belajar lebih dalam tentang kehidupan Rasulullah Saw. Karena kami mengaku masih awam, jauh dari mengenal Nabi Saw. Sembari tersenyum, beliau pun berkata: “Kamu termasuk orang yang beruntung, merasa masih awam yang mau belajar.”

Akhirnya beliau memanggil salah satu santrinya untuk diambilkan dua buku karya terbarunya yang berjudul; “Peristiwa-peristiwa Penting dalam Kehidupan Nabi Muhammad Saw.” (terjemahan kitab Tarikh al-Hawadits karya as-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki) dan“100 Jalan Meraih Ampunan Allah” (kumpulan 100 hadits Rasulullah Saw.).

Beliau mengijazahkan kepada kami isi dari dua buku tersebut dan mengijazahkan satu amalan untuk didawamkan. Amalan itu adalah bacaan hauqalah “La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim”, dibaca setiap pagi dan sore masing-masing sebanyak 100 kali. Amalan itu untuk memperkuat dzahir dan bathin kita, kuat fisik, kuat mental dan kuat rizkinya.

Beliau berpesan: “Amalan itu yang terpenting bukanlah pada khasiatnya, melainkan istiqamahnya. Kalau mau mengistiqamahkan bacaan itu maka otomatis akan dirasakan sendiri khasiatnya.”

a. Sekilas Profil Syaikh KH. Sholeh bin Muhammad bin Ali bin Ahmad Basalamah

KH. Sholeh Muhammad Basalamah lahir di Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah 14 juli 1959 M. Putra kedua dari Syaikh Muhammad Basalamah. Sejak kecil dibimbing langsung oleh kakeknya, ulama kharismatik Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah.

Pengalaman belajar yang beliau miliki sungguh tidak diragukan lagi, setelah lulus SLTP di Jatibarang, beliau melanjutkan pendidikan di YAPI Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Setelah itu beliau menjadi santri salah satu ulama terkemuka di dunia yaitu Prof. DR. as-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani Mekkah, yang dimulai pada tahun 1978 sampai 1986.

Pada tahun 1994 beliau mengikuti “Tadribuddu’at al-Alamiyyah”, Training Dakwah Islam Internasional, di Universias al-Azhar Kairo Mesir. Pada tahun 2007 dan 2009 mengikuti Seminar Internasional tentang Tasawwuf dan Thariqah atas undangan Raja Muhammad as-Sadis dari Maroko.

Selain dakwahnya yang lemah lembut, beliau juga dikenal sebagai penulis yang sangat produktif. Diantara hasil tulisan beliau yang telah diterbitkan adalah:

1. Tabungan Hari Akhirat (koleksi Hadits-hadits Amal).
2. Pengantar Ilmu al-Quran.
3. Jurus-jurus Kehidupan (Pesan-pesan Moral).
4. Detik-detik Penting Kehidupan Rasullulah Saw.
5. Keampuhan Ayat-ayat Allah.
6. Keistimewaan Hari Jum’at . 
7. Sebaiknya Anda Tahu.
8. Peristiwa-peristiwa Penting dalam Kehidupan Nabi Muhammad Saw. (terjemahan dari kitabTarikh al-Hawadits karya as-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki).
9. 100 Jalan Meraih Ampunan Allah (kumpulan 100 hadits Rasulullah Saw.).
10. Dll.

Syaikh Sholeh Basalamah adalah pengasuh utama Pondok Pesantren Darussalam Desa Jatibarang Kidul, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Beliau merupakan salah satu pemuka tokoh ulama thariqah. Beliau mewarisi silsilah thariqah Tijaniyah dari ayah dan kakeknya. Sekarang beliau disamping aktif sebagai Muqaddam/Mursyid Tijaniyah juga aktif sebagai Syuriyah PCNU Kabupaten Brebes.

Diantara yang mengenal dekat dengan beliau adalah Maulana al-Habib M. Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan. Dulu al-Habib M. Lutfi bin Yahya lama berguru kepada kakek beliau yaitu Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah.

Basalamah adalah nama sebuah marga Arab dari Hadhramaut tapi bukan Habaib, atau biasa kita sebut sebagai kalangan “Masyayikh”. Kebanyakan saat ini marga Basalamah di Indonesia berfaham al-Irsyad, dan tak sedikit yang berfaham Salafi-Wahabi. Maka keluarga besar KH. Sholeh Basalamah termasuk diantara marga Basalamah yang tersisa atau langka yang tetap mengikuti faham para leluhurnya yaitu Aswaja ala Nahdlatul Ulama.

b. Sekilas Tentang Pondok Pesantren Darussalam

Setiap kota memiliki ciri khas tersendiri, begitu juga kota kecil di wilayah Kabupaten Brebes tepatnya di Jatibarang. Kota yang memiliki history sangat kental dengan peninggalan Belanda. Di pusat kota, berdiri kokoh bangunan-bangunan tua di area pabrik gula yang sudah beroperasi sejak zaman penjajahan dan hingga kini masih eksis peroperasi menghasilkan gula guna memenuhi kebutuhan masyarakat.

Tak hanya itu, kota ini juga terkenal banyak mencetak ulama dan pribadi-pribadi paripuna melalui perjuangan para ulama dengan dakwahnya. Dan termasuk yang terbesar diantara semua adalah Pondok Pesantren Darussalam di bawah asuhan KH. Sholeh Muhammad Basalamah.

Melalui perjuangan yang sangat melelahkan, beliau mendirikan sebuah yayasan Pendidikan Islam Darussalam pada tahun 1988. Seperti pendidikan Islam kebanyakan, madrasah ini dimulai dengan santri yang sedikit. Namun hal itu tidak pernah menyurutkan semangat dan tekad Syaik Sholeh Basalamah untuk tetap berkhidmat kepada agama melalui madrasah tersebut.

Berselang kurang lebih 11 tahun, madrasah ini kemudian menjadi sebuah pondok pesantren yang besar yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren Darussalam tepatnya pada tahun 1999.

Jika kita melihat rutinitas yang terdapat di Ponpes Darussalam sungguh sangat berbeda dengan pondok-pondok lainnya. Kebanyakan pesantren-pesantren di Indonesia selalu memperhatikan kuantitas santrinya, tapi tidak dengan Ponpes Darussalam, setiap tahunnya pondok hanya menerima 20-30 santri baru yang kebanyakan dari mereka sudah menyelesaikan pendidikan SMA/MA sederajat. Hal ini dilakukan karena beberapa alasan, diantaranya beliau ingin mengenal lebih dekat dengan para santrinya.

Pondok Pesantren Darussalam mendidik para santrinya dengan cara menerapkantarbiyyatus salaf, yang dikolaborasiakan dengan kurikulum yang diadopsi dari pembelajaran di Timur Tengah. Seperti kebanyakan pesantren salaf yang lain, pondok ini juga tidak menyertakan pedidikan formal, seperti SD bahkan sampai Perguruan Tinggi. Akan tetapi ijazah yang dikeluarkan bisa digunakan untuk mendaftar ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, baik di Indonesia bahkan di Timur Tengah.

Jenjang pendidikan yang ada di pesantren ini dimulai dari ibtida’, tsanawiyyah dan ‘aliyah. Untuk kegiatan sehari-hari, santri wajib bangun dimulai dari jam 03:00 dinihari untuk melaksanakan shalat Tahajjud bersama, dilanjutkan dengan shalat Shubuh berjamaah dan membaca awrad (wirid-wirid) setelah melaksanakan shalat. Semua santri mengikuti Kuliah Shubuh dengan sistem halaqoh sesuai dengan kelasnya masing-masing.

Setelah itu para santri beristirahat untuk mandi, sarapan pagi dan mempersiapkan diri untuk masuk ke kelasnya masing-masing. Sebelum memasuki kelas mereka masing-masing, para santri diwajibkan untuk melaksanakan shalat Dhuha. Kemudian kegiatan dilanjutkan dengan belajar mengajar yang dilaksanakan sampai pukul 13.00 WIB, dan dilanjutkan dengan shalat Dzuhur berjamaah.

Untuk menyelingi kepenatan belajar, para santri diberikan waktu berolah raga setelah mereka melaksanakan shalat Ashar berjamaah dan pembacaan surat al-Waqi’ah. Seusai shalat Maghrib berjamaah, para santri melanjutkan pembelajaran yang sistemnya sama dengan pembelajaran di pagi hari yaitu halaqoh yang disesuaikan dengan kelasnya masing-masing.

Setiap malam Rabu para santri dikumpulkan untuk mendengar taui’yah atau sejenis diklat dari pengasuh pondok pesantren. Kemudian pada malam Kamis para santri melakukantamrinan khithabah (latihan khutbah) yang bertujuan untuk membiasakan diri mereka sebelum terjun ke masyarakat. Pada malam Jum’at digunakan untuk pembacaan Maulid Nabi Saw.

Sedangkan pengajian rutin di Pondok Pesantren Darussalam yang disediakan untuk kalangan umum adalah mingguan dan bulanan. Untuk yang mingguan, diadakan setiap Senin pagi dimulai pukul 09:30 WIB sampai tiba waktu shalat Dzuhur. Kitab yang diajarkan adalah kitab-kitab karya gurunya, as-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki. Untuk saat ini yang sedang dikaji adalah kitab Dzakhair Muhammadiyyah, sudah dapat separo. Rencananya setelah khatam kitab tersebut akan dilanjutkan dengan kajian kitab Haul al-Ihtifal bi Maulid an-Nabiy Saw.

Sedangkan yang bulanan diadakan setiap malam Jum’at Kliwon. Sedikit berbeda dengan pengajian mingguan, dalam pengajian ini disertakan juga dengan dzikiran atau wiridan bersama dan istighatsah.

Keterangan foto: KH. Syaikh Sholeh Muhammad Basalamah saat acara haul ayahandanya di Pemakaman Umum Jatibarang Kidul, Brebes.

sumber : Pustaka Muhibbin

DARI ADAB BERZIARAH KUBUR SAMPAI AMALAN LUHUR


Melaju dari Desa Talang Tegal, saya dan keponakan menuju ke Pesantren Darussalam di Jatibarang Brebes. Pengasuhnya adalah seorang ulama kharismatik di kalangan ulama thariqah maupun kalangan alim dan awam Nahdliyin, khususnya Brebes-Tegal dan sekitarnya.

Tepat pukul 19:20 WIB kami disambut oleh Syaikh Sholeh Basalamah di teras halaman rumahnya. Setelah menyampaikan maksud kedatangan kami, beliaupun tersenyum dan tak lama kemudian terdengar alunan suara adzan shalat Isya. Akhirnya kami diajak shalat Isya berjamaah di mushalla pondok pesantrennya sebelum melanjutkan perbincangan lebih lanjut.

Dalil Doa dan Amalan Mengusap Mata Saat Adzan


Ketika muadzin membaca lafadz syahadat Rasul “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” biasanya ada sebagian orang yang mencium jempolnya terus diusapkan ke mata. Berikut adalah tulisan Ustadz Ma'ruf Khozin tentang penjelasan para ulama mengenai hal itu.

Masalah ini tidak berkaitan dengan hukum sunnah atau yang lain bila dilakukan dalam adzan, namun sebuah doa yang dilakukan beberapa ulama khususnya yang bermadzhab Malikiyah. Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman al-Maghrabi berkata:

وَرُوِيَ عَنْ الْخَضِرِ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنَّهُ قَالَ : مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ يَقُولُ : أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ مَرْحَبًا بِحَبِيبِي وَقُرَّةِ عَيْنِي مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يُقَبِّلُ إبْهَامَيْهِ ، وَيَجْعَلُهُمَا عَلَى عَيْنَيْهِ لَمْ يَعْمَ ، وَلَمْ يَرْمَدْ أَبَدًا (مواهب الجليل في شرح مختصر الشيخ خليل – ج 3 / ص 355)

Diriwayatkan dari Nabi Khidhir As. bahwa ia berkata: “Barangsiapa yang mendengar bacaan muadzin “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, lalu ia berdoa “Marhaban bihabibiy waqurrati ainiy Muhammadibni Abdillah Saw.”, lalu mengecup dua jari jempolnya dan diletakkan (diusapkan) ke kedua matanya, maka ia tidak akan mengalami buta dan sakit mata selamanya.” (Mawahib al-Jalil Syarh Mukhtashar asy-Syaikh Khaliljuz 3 halaman 355).

Bahkan dalam referensi ulama Malikiyah tidak sekedar dijelaskan ‘tata caranya’, namun juga faedahnya:

( فَائِدَةٌ ) قَالَ فِي الْمَسَائِلِ الْمَلْقُوطَةِ : حَدَّثَنَا الْفَقِيهُ الصَّدِيقُ الصَّدُوقُ الصَّالِحُ الْأَزْكَى الْعَالِمُ الْأَوْفَى الْمُجْتَهِدُ الْمُجَاوِرُ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الْمُتَجَرِّدُ الْأَرْضَى صَدْرُ الدِّينِ بْنُ سَيِّدِنَا الصَّالِحِ بَهَاءِ الدِّينِ عُثْمَانَ بْنِ عَلِيٍّ الْفَاسِيِّ حَفِظَهُ اللَّهُ تَعَالَى قَالَ : لَقِيتُ الشَّيْخَ الْعَالِمَ الْمُتَفَنِّنَ الْمُفَسِّرَ الْمُحَدِّثَ الْمَشْهُورَ الْفَضَائِلُ نُورَ الدِّينِ الْخُرَاسَانِيَّ بِمَدِينَةِ شِيرَازَ ، وَكُنْتُ عِنْدَهُ فِي وَقْتِ الْأَذَانِ فَلَمَّا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ يَقُولُ : أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَبَّلَ الشَّيْخُ نُورُ الدِّينِ إبْهَامَيْ يَدَيْهِ الْيُمْنَى وَالْيُسْرَى وَمَسَحَ بِالظُّفْرَيْنِ أَجْفَانَ عَيْنَيْهِ عِنْدَ كُلِّ تَشَهُّدٍ مَرَّةً بَدَأَ بِالْمُوقِ مِنْ نَاحِيَةِ الْأَنْفِ ، وَخَتَمَ بِاللَّحَاظِ مِنْ نَاحِيَةِ الصُّدْغِ ، قَالَ فَسَأَلَتْهُ عَنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ : إنِّي كُنْتُ أَفْعَلُهُ مِنْ غَيْرِ رِوَايَةِ حَدِيثٍ ، ثُمَّ تَرَكْتُهُ فَمَرِضَتْ عَيْنَايَ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَنَامِ ، فَقَالَ لِي لِمَ تَرَكْتَ مَسْحَ عَيْنَيْكَ عِنْدَ ذِكْرِي فِي الْأَذَانِ إنْ أَرَدْتَ أَنْ تَبْرَأَ عَيْنَاكَ فَعُدْ إلَى الْمَسْحِ أَوْ كَمَا قَالَ فَاسْتَيْقَظْتَ وَمَسَحْتَ فَبَرِئَتْ عَيْنَايَ وَلَمْ يُعَاوِدْنِي مَرَضُهُمَا إلَى الْآنَ . (مواهب الجليل في شرح مختصر الشيخ خليل للشيخ ابي عبد الله محمد بن محمد بن عبد الرحمن المغربي - ج 3 / ص 354 وحاشية العدوي على شرح كفاية الطالب الرباني للشيخ علي ابي الحسن المالكي - ج 2 / ص 281)


“(Faedah) disebutkan dalam kitab al-Masail al-Malquthah, bahwa telah bercerita kepada kami ahli fiqh yang sangat terpercaya, yang hsaleh, bersih, berilmu sempurna, seorang mujtahid, bertetangga dengan Masjid al-Haram, menyendiri, Shadruddin bin Sayyidina Shaleh Bahauddin Utsman bin Ali al-Fasi, hafidzahullah, ia berkata: “Saya bertemu dengan seorang syaikh yang ahli di bidang banyak ilmu, ahli tafsir, ahli hadits, yang populer keutamaannya, Nuruddin al-Khurasan di Kota Syiraz. Saya berada di dekatnya saat adzan. Ketika ia mendengar ucapan muadzin “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, maka Syaikh Nuruddin mengecup kedua jari jempolnya, kanan dan kiri, lalu mengusapkan dengan kedua kuku ke kelopak matanya setiap bacaan syahadat, dimulai dari ujung mata yang lurus dengan hidung lalu mengenyamping ke arah pelipis.

Saya (Shadruddin) bertanya kepadanya tentang hal itu, maka ia menjawab: “Dulu saya melakukannya tanpa riwayat hadits, lalu saya meninggalkannya. Maka kedua mata saya sakit dan saya mimpi bertemu Rasulullah Saw. dan bersabda kepadaku: “Kenapa kamu tinggalkan mengusap kedua matamu ketika menyebutku dalam adzan. Jika kamu ingin kedua matamu sembuh maka ulangilah mengusap matamu.”

Lalu saya terbangun dan mengusap kedua mataku. Dan sampai sekarang tidak pernah sakit mata lagi.” (Mawahib al-Jalil juz 3 halaman 354 dan Hasyiyah al-Adawi juz 2 halaman 281).

Kendati sudah masyhur dilakukan sebagian ulama, namun ulama Malikiyah menegaskan hal tersebut bukan bersumber dari hadits:

وَاشْتَهَرَ عِنْدَ بَعْضِ النَّاسِ وِرْدٌ إِلَّا قَوْلَ الْمُؤَذِّنِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّهِ يُقَبِّلُوْنَ إِبْهَامَهُمْ وَيَمُرُّوْنُ بِهَا عَلَى أَعْيُنِهِمْ قَائِلِيْنَ: مَرْحَبًاً بِحَبِيْبِي وَقُرَّةِ عَيْنِي مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللّهِ، وَهَذَا لَمْ يَرِدْ فِي حَدِيْثٍ (إرْشَادُ السَّالِك: للشيخ عبد الرحمن شهاب الدين البغدادي - ج 1 / ص 27)

“Telah masyhur di sebagian ulama sebuah wirid, kecuali saat ucapan muadzin “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, lalu mereka mengecup dua jari jempolnya dan diusapkan ke kedua matanya, kemudian mereka berdoa “Marhaban bihabibiy waqurrati ‘ainiy Muhammadibni Abdillah Saw”. Hal ini tidak bersumber dari hadits.” (Syaikh Syihabuddin al-Baghdadi dalam Irsyad as-Salik juz 1 halaman 27).

Sementara dalam madzhab Syafi’iyah penjelasan tersebut terdapat dalam kitab I’anat ath-Thalibin juz 1 halaman 281 yang mengutip dari Hasyiyah Abi Jamrah karya asy-Syaikh asy-Syinwani. Saya sendiri (Ustadz Ma’ruf Khozin) mendapat ijazah ini dari Syaikh Abdul Malik bin KH. Fathul Bari al-Makki, yang hadir saat itu adalah Alm. KH. Zainullah bin KH. Bukhari, abah saya Alm. H. Khozin Yahya dan saya sendiri, sekitar tahun 1990.

sumber : Pustaka Muhibbin

Dalil Doa dan Amalan Mengusap Mata Saat Adzan


Ketika muadzin membaca lafadz syahadat Rasul “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” biasanya ada sebagian orang yang mencium jempolnya terus diusapkan ke mata. Berikut adalah tulisan Ustadz Ma'ruf Khozin tentang penjelasan para ulama mengenai hal itu.

Meninjau Pernikahan dalam Persepektif Ilmu Nahwu; Syarat Mutsanna - Syarat Menikah

Cukup menarik apa yang dituliskan oleh Gus Ahmad Shampton bin KH. Mashduqi Mahfudz perihal “nikah” dalam persepektif ilmu nahwu. Di suatu malam, saat beliau lenger-lengermelihat para santri putra pada berdiri tidak hafal nadzam. Sementara para santri putri hafalan wush wush... lancar semua.

Memandangi bagan yang beliau buat, dari pemahaman nadzam Syarat Mutsanna, kok tiba-tiba terpikir, othak-athik matuk, ketentuan-ketentuan mutsanna (membuat kata benda yang bermakna dua) ini bisa digunakan untuk Syarat Menikah:

شرط المثني ان يكون معربا * ومفردا منكرا ما ركب
موافقا في اللفظ و المعني له * مماثلا لا يغني عنه غيره

Syaratnya bagi orang yang ingin menikah (mutsanna=berpasangan) adalah:

1. Mu’rab: kata yang menerima tanda perubahan kedudukan dalam susunan kalimat. Berbeda dengan kata yang mabni, dalam kedudukan apapun kata ini tidak menerima tanda kecuali yang sudah tercetak dalam kata itu. Seperti pula orang yang ingin menikah, dia tidak boleh egois (mabni), harus bisa fleksibel menerima perbedaan dari siapapun. Mampu memposisikan diri sesuai dengan keadaan, sebagai suami, sebagai menantu, sebagai orang tua bagi anak-anaknya nanti.

2. Mufrad: kata yang akan dibentuk bermakna dua tidak boleh berasal kata yang bermakna lebih dari satu. Begitulah seorang yang akan dinikahi harus single, karena seorang perempuan tidak bisa menikah lebih dari satu.

3. Nakirah: kata yang akan dibentuk bermakna dua tidak boleh kalimat yang makrifat atau sudah spesifik, harus kata yang masih bermakna umum. Seorang yang akan dinikahi belum ada yang meminang atau sedang dalam proses pinangan orang lain.

4. Ma Rukkiba: kata yang akan dibentuk bermakna dua tidak boleh berasal dari kata majemuk (berasal dari dua kata yang dijadikan satu rangkaian kata). Seorang yang akan menikah tidak boleh berstatus “bersuami” atau berstatus “beristri”. Dalam Tarkib Mazji (dua rangkaian kata yang digunakan untuk satu nama) untuk menjadi bermakna dua harus menggunakan kata dzu.Dzu mempunyai makna asal “mempunyai”, maka yang berpoligami harus memiliki/mempunyai harta lebih.

5. Muwaffiqan fi al-Lafdzi wa al-Ma’na Lahu: kata yang akan dibentuk menjadi kata yang bermakna dua, harus cocok dalam lafadznya maupun maknanya. Maka bila tidak bermakna sama meski lafadznya sama, kata ini tidak bisa dijadikan Mutsanna. Seorang yang akan melakukan perjanjian nikah harus memenuhi unsur kafa-ah, kesetaraan. Terkadang pernikahan yang mengabaikan kesetaraan rumah tangganya “susah” untuk menjadi sakinah, seperti suami isteri tetapi mereka berhubungan seperti orang lain. Kalimat yang tidak semakna dan lafadznya sama hanya bisa Mulhaq (dipersamakan mutsanna). Seperti keluarga tetapi tak mampu membangun bangunan keluarga yang baik.

6. Mumatsilan: kata yang akan dibuat Mutsanna haruslah menunjukkan dzat yang lebih dari satu. Bila hanya satu di dunia ini, maka tidak bisa ditatsniyahkan. Seorang yang ingin menikah haruslah memilliki sifat yang sama dengan manusia lain dan mampu memanusiakan orang lain, bukan orang yang angkuh yang merasa hanya dirinya yang ada dan penting di dunia ini hingga kepentingan orang lain menjadi tidak penting.

7. La Yughni ‘Anhu Ghairuhu: bila ada kata semakna yang bisa ditatsniyahkan, maka tidak perlu mentatsniyahkan kata yang sudah memiliki sinonim yang bisa dibuat makna dua. Bila seseorang hatinya sudah tertaut kepada seseorang, maka tidak ada manfaatnya dia dinikahi, karena dia hanyalah akan menyakiti hati. Seperti juga orang yang sudah tertaut hatinya kepada Allah, dan dikhawatirkan pernikahan hanya akan mengganggu intensitas hubungannya dengan Khaliq, dia tidak butuh menikah.

Othak-athik mathuk. Santai saja… Bagi yang tidak hafal nadzam berdiri bukanlah ta’ziran, tetapi kesempatan bisa mensyukuri nikmat bisa kuat berdiri dan tegak dari Allah.

Terakhir, pesan Romo KH. Maimoen Zubair: “Boleh-boleh saja mengharap di surga akan ditemani bidadari atau bidadara. Tapi jika dibandingkan dengan kenikmatan bersama keluarga besar, bidadari dan bidadara itu nikmatnya seperti snack saja. Eman sekali kalau nda nikah.”

Meninjau Pernikahan dalam Persepektif Ilmu Nahwu; Syarat Mutsanna - Syarat Menikah

Cukup menarik apa yang dituliskan oleh Gus Ahmad Shampton bin KH. Mashduqi Mahfudz perihal “nikah” dalam persepektif ilmu nahwu. Di suatu malam, saat beliau lenger-lengermelihat para santri putra pada berdiri tidak hafal nadzam. Sementara para santri putri hafalan wush wush... lancar semua.

Memandangi bagan yang beliau buat, dari pemahaman nadzam Syarat Mutsanna, kok tiba-tiba terpikir, othak-athik matuk, ketentuan-ketentuan mutsanna (membuat kata benda yang bermakna dua) ini bisa digunakan untuk Syarat Menikah:

MANAQIB AL-IMAM AL-HABIB MUHAMMAD BIN ABDULLAH AL-HADDAR (1340 H/1921 M - 1418 H/1997 M)


Meskipun beliau termasuk orang alim ‘allamah dan masyhur sebagai wali Allah, mungkin belum banyak yang tahu tentang jejak-rekam riwayat hidup beliau. Namun jika disebut nama al-Habib Umar bin Hafidz, mayoritas Muslimin dunia mengetahuinya. Padahal keduanya merupakan ulama yang memiliki hubungan erat satu sama lainnya, hubungan antara guru dan murid serta antara mertua dan menantu.

Daftar Isi:

a. Nasab Al-Habib Muhammad Al-Haddar
b. Kelahiran Al-Habib Muhammad Al-Haddar
c. Guru-guru dan Kegigihan Belajar Al-Habib Muhammad Al-Haddar
d. Perjuangan Dakwah Al-Habib Muhammad Al-Haddar
e. Karya-karya Al-Habib Muhammad Al-Haddar
f. Akhir Hayat Al-Habib Muhammad Al-Haddar

a. Nasab Al-Habib Muhammad Al-Haddar

Nasab lengkap beliau adalah al-Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar bin Syaikh bin Muhsin bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Shaleh bin Ahmad bin Syaikh Abubakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali Shahib ad-Dark bin Alwi al-Ghuyur bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Marbat bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad Shahib ash-Shauma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin al-Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin al-Imam Husain bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw. suami Sayyidah Fathimah az-Zahra binti Rasulullah Saw.

b. Kelahiran Al-Habib Muhammad Al-Haddar

Al-Habib Muhammad al-Haddar lahir di desa ‘Azzah, dekat Kota al-Baidha’ di utara Yaman, pada tahun 1340 H/1921 M. Ayah beliau adalah al-Habib Abdullah dan ibu beliau adalah Hababah Nur binti Abdullah Ba Sahi, seorang wanita shalihah yang dikenal karena amal dan ibadahnya. Ibunya sangatlah pemurah hingga sering membantu orang-orang yang kelaparan, terutama pada saat bencana kelaparan di Yaman selama Perang Dunia Kedua.

Pada masa kecilnya, al-Habib Muhammad al-Haddar belajar al-Quran dan ilmu-ilmu dasar agama dari ayahandanya sendiri dan para ulama Baidha’. Di salah satu malam terakhir bulan Ramadhan sewaktu dirinya berada di masjid disaksikan cahaya yang cemerlang, malam Lailatul Qadar. Merupakan hal yang sangat utama dan mulia tatkala seorang hamba diberikan anugerah oleh Allah Swt. dapat menyaksikan malam yang satu malamnya lebih baik daripada seribu bulan.

c. Guru-guru dan Kegigihan Belajar Al-Habib Muhammad Al-Haddar

Semangat dan hausnya dalam mencari ilmu mendorongnya untuk melakukan perjalanan ke Tarim pada usia 17 tahun. Setelah melakukan perjalanan dengan perahu layar dari ‘Adn ke al-Mukalla, dengan terpaksa beliau harus menghentikan langkahnya. Karena masa itu di tempat yang akan dituju beliau sedang terjadi pertikaian politik, dihimbau untuk kembali ke rumah.

Namun dengan semangatnya yang tinggi, beliau pun tidak patah arang untuk tetap melanjutkan pengembaraannya. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan melalui darat. Ayahnya turut serta menemaninya dalam perjalanan.

Ketika tiba saatnya bagi mereka untuk berpisah, sang ayah pun menghadap ke kiblat dengan linangan air mata dan berkata: “Ya Allah, orang yang mengirimkan anak-anak mereka ke Amerika dan tempat-tempat lain demi mendapatkan uang. Dan saya mengirimnya untuk belajar sampai ia mendapat kefutuhan dan menjadi seorang ulama, yang bertindak sesuai dengan pengetahuan mereka.”

Meski dalam perjalanannya menghadapi kepayahan dan kelaparan yang membuat dirinya hampir mati kehausan di jalan pegunungan antara Seiwun dan Tarim, akhirnya tibalah ia di Tarim dengan selamat. Langsung saja beliau menuju ke ribath terkenal dan bertemu dengan seorang guru utamanya, al-Habib Abdullah bin Umar asy-Syathiri.

Al-Habib Muhammad al-Haddar menghabiskan 4 tahun untuk belajar di Rubath Tarim dengan usaha yang sangat gigih. Kegigihan itu tergambarkan setiap sebelum dimulainya pelajaran beliau selalu mempersiapkan pelajaran-pelajaran itu dengan membacanya setidaknya hingga delapan belas kali. Dan sehari-harinya beliau hanya tidur sekitar dua jam, satu jam di siang hari dan satu jam di malam harinya. Sehingga menjadikan al-Habib Abdullah asy-Syathiri, sang guru, mengakui kemampuannya dan memberinya perhatian khusus serta tanggung jawab penuh.

Selain kepada ayahandanya sendiri dan kepada pengasuh Rubath asy-Syathiri, beliau juga telah belajar dengan para ulama yang masyhur pada zamannya. Diantaranya adalah:
1. Al-Habib Alwi bin Abdullah Shihabuddin.
2. Al-Habib Ja’far bin Ahmad Alaydrus.
3. Asy-Syaikh Mahfudz bin Salim az-Zubaidi.
4. Dan masih banyak lainnya.

d. Perjuangan Dakwah Al-Habib Muhammad Al-Haddar

Setelah gurunya, al-Habib Abdullah bin Umar asy-Syathiri, wafat tahun 1361 H/1941 M maka al-Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar kembali ke kampung halaman. Hatinya penuh dengan keinginan untuk menyebarkan pengetahuan dan membatu orang-orang menuju ke jalan Allah Swt.

Pada tahun 1362 H/1942 M, beliau mendirikan sebuah madrasah di tempat kelahirannya di ‘Azzah. Beliau juga termasuk berjasa dalam penyelesaian konflik antar suku pada waktu itu.

Beliau melakukan perjalanan dengan berjalan kaki untuk melakukan haji pada tahun 1365 H/1945 M. Sekembalinya dari berhaji, beliau menghabiskan beberapa waktu di Ta’izz untuk belajar kepada al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya.

Pada tahun 1375 H/1955 M, beliau melakukan haji untuk yang kedua kalinya. Dan setelahnya beliau selalu menyempatkan diri untuk berhaji tiap tahunnya. Disamping berhaji, tak lupa beliau mengambil ilmu dari para ulama Hijaz. Diantaranya beliau belajar kepada al-Muhaddits as-Sayyid Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani.

Pada tahun 1370 H/1950 M, beliau melakukan perjalanan ke Somalia dan menjadi imam Masjid Mirwas di Mogadishu. Akhirnya beliau menetap di sana selama satu tahun setengah. Selain itu, kesibukan beliau di sana adalah istiqamah mengajar dan mengawasi pembentukan ribath (pesantren) di Kota Bidua. Di sinilah beliau bertemu seorang guru besar bernama al-Habib Ahmad Masyhur bin Thoha al-Haddad.

Al-Habib Muhammad al-Haddar sudah lama ingin mendirikan ribath di Kota al-Baidha. Beliau mencari dukungan keuangan di ‘Adn dan Ethiopia. Usahanya nampak berhasil dengan selesainya konstruksi awal pada tahun 1380 H/1960 M. Beliau meminta agar al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz (ayah dari al-Habib Umar bin Hafidz) mengirim seseorang dari Tarim. Pada saat itu al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith adalah orang yang dipilih al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz untuk menjadi guru di ribath dan menetap di al-Baidha sekitar 20 tahun.

Pada tahun 1402 H/1981 M, al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz meninggalkan Hadhramaut yang saat itu sedang bergejolak perang saudara, dan datang ke al-Baidha. Beliau menghabiskan 10 tahun untuk belajar kepada al-Habib Muhammad al-Haddar. Akhirnya al-Habib Umar bin Hafidz pun bukan hanya menjadi murid gurunya itu, melainkan juga sebagai menantu dengan menikahi putri sang guru. Di ribathnya al-Habib Umar bin Hafidz juga diminta untuk mengajar.

Al-Habib Muhammad al-Haddar salalu setia dalam oposisinya terhadap pemerintah sosialis yang berkuasa di Yaman Selatan tahun 1387 H/1967 M. Hal ini menyebabkan beliau dipenjara di al-Mukalla dalam kunjungannya ke Hadhramaut pada tahun 1390 H/1970 M). Di dalam penjara beliau tak pernah putus dalam mengajar hingga para narapidanalah yang menjadi sebagai muridnya.

Hingga pada akhirnya beliau dibebaskan melalui perantara dari al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah dan al-Habib Ja’far Alaydrus. Kemudian beliau pun kembali ke al-Baidha setelah berterimakasih kepada mereka atas usahanya dan telah memperingatkan para ulama Tarim dan Seiwun dari bahaya yang tersisa di Hadhramaut.

Pada tahun 1395 H/1974 M, beliau pergi ke Kepulauan Comoros untuk mengunjungi seorang ulama besar di sana, al-Habib Umar bin Ahmad bin Smith. Setelah itu beliau menuju Kenya untuk mengunjungi gurunya, al-Habib Ahmad Masyhur al-Haddad.

Hubungannya sangat dekat dan erat dengan ulama besar Jeddah, al-Habib Abdul Qadir Assegaf. Mereka berdua pernah bepergian bersama ke Irak dan Suriah pada tahun 1396 H/1975 M. Al-Habib Abdul Qadir juga sudah dua kali mengunjungi al-Baidha dan ribath yang didirikan oleh al-Habib Muhammad al-Haddar.

Al-Habib Muhammad al-Haddar termasuk salah satu ulama yang mengapresiasi dan sangat menghormati gerakan Jama’ah Tabligh (JT). Terbukti di tahun 1402 H/1981 M, beliau menuju ke Pakistan, Bangladesh, Thailand dan Malaysia untuk mengunjungi para ulama gerakan itu dan menghadiri pertemuan mereka.

e. Karya-karya Al-Habib Muhammad Al-Haddar

Diantara kitab yang beliau ajarkan adalah Shahih al-Bukhari, Ihya ‘Ulumiddin, asy-Syifa’ DAN Minhaj ath-Thalibin karya Imam an-Nawawi. Beliau juga telah mengumpulkan sejumlah koleksi dari adzkar (wiridan-wiridan) untuk dibaca pada siang hari dan malam hari yang terkumpul dalam kitabnya yang berjudul al-Fawaid al-Itsna ‘Asyar dan Nasyi-at al-Lail. Dan wiridan yang dibaca saat dalam perjalanan dikumpulkannya dalam kitab Jawahir al-Jawahir.Wiridan-wiridan itu hingga kini masih banyak dibaca di Darul Musthafa, ribath yang didirikan oleh sang menantu.

Beliau juga menyusun koleksi adzkar dan doa-doa untuk Ramadhan yang dikumpulkannya dalam kitab an-Nafahat ar-Ramadhaniyyah. Dan juga wirid-wirid dan doa untuk haji dalam kitab Miftah al-Haji.

Beliau pun menulis sebuah risalah tentang pencapaian akhlak mulia dalam kitabnya yang berjudul al-‘Ajalat Sibaq. Risalah lain yang ditulisnya adalah tentang kinerja haji berjudul Risalat al-Hajj al-Mabrur dan risalah kompilasi pilihan hadits berjudul asy-Syifa Saqim.

f. Akhir Hayat Al-Habib Muhammad Al-Haddar

Sakit bisa datang kepada siapa saja dari hamba Allah, termasuk al-Habib Muhammad al-Haddar. Sebelum kewafatannya pun beliau menderita sakit. Hingga menjelang akhir hidupnya beliau masih sempat pindah ke Mekkah.

Kata-kata terakhir yang sering beliau lafadzkan setiap hari pada masa akhir hidupnya adalah:

لا إِلَهَ إِلاّ الله أَفْنِي بِها عُمْري
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَدْخُل بِها قَبْري
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَخْلو بِها وَحْدي
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَلْقى بِها رَبِّي


“La Ilaha Illallah, dengan itu aku mengakhiri hidupku.
La Ilaha Illallah, dengan itu aku masuk ke dalam kuburku.
La Ilaha Illallah, dengan itu aku memisahkan diriku.
La Ilaha Illallah, dengan itu aku bertemu Tuhanku.”

Hingga akhirnya beliau tersungkur bersujud dan ruhnya meninggalkan tubuhnya. Beliau pun wafat meninggalkan dunia yang fana ini pada tanggal 08 Rabi’ul Akhir tahun 1418 H/1997 M. Jenazahnya dimakamkan di dekat makam ibundanya.

Wallahu al-Musta’an A’lam. Lahu al-Fatihah…

sumber : Pustaka Muhibbin

MANAQIB AL-IMAM AL-HABIB MUHAMMAD BIN ABDULLAH AL-HADDAR (1340 H/1921 M - 1418 H/1997 M)


Meskipun beliau termasuk orang alim ‘allamah dan masyhur sebagai wali Allah, mungkin belum banyak yang tahu tentang jejak-rekam riwayat hidup beliau. Namun jika disebut nama al-Habib Umar bin Hafidz, mayoritas Muslimin dunia mengetahuinya. Padahal keduanya merupakan ulama yang memiliki hubungan erat satu sama lainnya, hubungan antara guru dan murid serta antara mertua dan menantu.

GUS DUR BUKAN HABIB? Upaya Klarifikasi Nasab Gus Dur


Salah satu fanpage aliansi HTI memuat tulisan tentang “Nasab Gus Dur” (https://www.facebook.com/photo.php?fbid=476329205806768). Admin mengaminkan sepenuhnya tulisan yang diposting oleh pengelola website MajalahMisykat Lirboyo. Padahal sedari dulu, saya sudah mengikuti baik di fanpage-nya maupun di website-nya, banyak komentar yang menanyakan balik pada admin yang belum dijawabnya: “Apakah klarifikasi itu benar-benar valid dari Habib Luthfi?”

Daripada menunggu-nunggu jawaban yang belum pasti, yang padahal jika ingin diketemukan solusinya cukup datang langsung kepada Habib Luthfi bin Yahya. Tapi sekedar mengeluarkan unek-unek dari salah seorang teman saya yang berfam Azmatkhan (nama dirahasiakan dulu), juga unek-unek saya sendiri sebagai rakyat jelata. Teman saya itu termasuk salah seorang yang ahli dalam ilmu pernasaban, terlebih nasab-nasab “Azmatkhan”.

_________________

Teman: “Assalamu’alaikum Ustadz. Saya melihat status Ustadz tentang Gus Dur. Mohon maaf ada hal yang sangat mengganjal buat saya, GUS DUR DIKATAKAN bukan HABIB. Lha memang pengertian keturunan Nabi itu hanya kata-kata habib saja? Sepertinya tidak. Ahlul Bait itu beragam panggilannya, di Jawa Timur YIK, di Palembang AIP, di Padang SIDI, di Malaysia SYED, di Pakistan dan India ASHRAFF, dll. Jadi masing-masing negara beda panggilan.

Mohon maaf pula ketika Rabithah Alawiyah mengatakan Gus Dur bukan Ahlul Bait, pertanyaan saya, apakah mereka punya sanad tentang AZMATKHAN? Apakah penyusun kitab yang mereka jadikan rujukan itu pernah ke Indonesia dan mendatangi kyai-kyai keturunan Walisongo?

GUS DUR adalah AZMATKHAN dan nasabnya tercatat lengkap di kitab al-Mausu’ah li Ansab al-Imam al-Husain. Nasab yang panjenengan share itu nasab yang salah, karena Gus Dur bukanlah generasi ke 33 atau 34. Gus Dur generasi ke 38 dan nasab ini sudah tercatat dan tersimpan lama di kitab yang disusun oleh ulama keturunan Sunan Kudus.

Sebaiknya, menurut saya, bagi pihak yang meragukan nasabnya Gus Dur, tanyalah kepada ulama yang mengerti tentang nasab Azmatkhan.

Jelas Mbah Hasyim Asy’ari adalah Ahlul Bait dari jalur AZMATKHAN. Bagi mereka, yang tidak mengakui Gus Dur, silakan saja. Namun sampaikan kepada mereka yang tidak mengakui Gus Dur dan juga Mbah Hasyim atau Mbah Kholil Bangkalan sebagai Ahlul Bait“Allah Tidak Tidur”.

Sekali lagi, jika ingin membicarakan nasab Azmatkhan, wajib mereka mempunyai sanad. Jika tidak, sampaikan kepada mereka, lebih baik mereka diam. Karena mendustakan nasab tanpa bukti yang ada, apalagi tidak mempunyai sanad, itu merupakan perbuatan yang luar biasa jahatnya. Kalau panjenengan mungkin faham.”

Sya’roni As Samfuriy menjawab: “’Alaikumussalam Wr. Wb. Izin share Gus. Saya juga belum mendapatkan pernyataan kebenaran klarifikasi itu, padahal mengatasnamakan Habib Luthfi. Sedangkan saya punya teman yang menjadi kepercayaan Habib Luthfi (KH. Zimam Hanifuddin Nusuk) mengatakan bahwa Gus Dur adalah termasuk salah seorang Habib.”

Teman: “Tapi ana khawatir mereka yang tidak faham ilmu nasab.”

Sya’roni As Samfuri: “Injeh, sendiko dawuh.”

Teman: “Kasihan Gus Dur dan Mbah Hasyim, jelas-jelas mereka ini Ahlul Bait, tapi kadang sering dijadikan sasaran tembak. Nasab Gus dur dan keluarga Mbah Hasyim itu sudah terdata jelas dan terang-benderang. Itu fihak Habib Lutfi sepertinya musti mengkerasi orang yang sering bawa-bawa nama Habib Lutfi.”

Sya’roni As Samfuriy: “Andai saja poro kiai (yang mayoritasnya Ahlul Bait berfam Azmatkhan) tidak bersifat khumul niscaya mereka mau saja membeberkan nasabnya di muka umum. Tapi memang amal lebih digemari olehnya daripada sekedar membanggakan nasab.”
___________________

sumber : Pustaka Muhibbin

GUS DUR BUKAN HABIB? Upaya Klarifikasi Nasab Gus Dur


Salah satu fanpage aliansi HTI memuat tulisan tentang “Nasab Gus Dur” (https://www.facebook.com/photo.php?fbid=476329205806768). Admin mengaminkan sepenuhnya tulisan yang diposting oleh pengelola website MajalahMisykat Lirboyo. Padahal sedari dulu, saya sudah mengikuti baik di fanpage-nya maupun di website-nya, banyak komentar yang menanyakan balik pada admin yang belum dijawabnya: “Apakah klarifikasi itu benar-benar valid dari Habib Luthfi?”

KISAH LAIN TENTANG USTADZ HARIRI

Setelah ramai diperbincangkan di berbagai media sosial, terutama di facebook, banyak kisah-kisah lain yang terungkap tentang sepak terjang Ustadz Hariri. Dan penuturan ini berani dipertanggungjawabkan oleh si penulis kisah.

1. Ustadz Hariri Dikenal Memiliki Emosional yang Tinggi

Cerita pertama dituturkan oleh saudara Zaenal, ia mengatakan: “Istri saya pernah mengundang beliau (Ustadz Hariri) karena kenal dekat sama teteh (kakak)nya. Kata tetehnya:“Ustadz (Hariri) memang punya sifat emosional, apalagi kalau masalah sound system paling bawel.” Ya dimaklumilah. Syukurnya pas acara soundnya bagus, jadi gak diomelin hehe…”

2. Terinjak Sandalnya, Ustadz Hariri Marah-marah dan Memaki Orang Tua

Cerita kedua dituturkan oleh saudara Danial Mukhtar Al kisah. Ia menuliskan kisahnya berikut ini:

“Ustadz Hariri, pernah waktu itu diundang berceramah di acara Maulid Nabi Muhammad Saw. di masjid daerah Cempaka Putih Jakarta Pusat. Dan kebenaran salah satu panitia dalam acara itu adalah sahabat saya, yaitu Ustadz Ridi, orang pribumi dari daerah tersebut.

Walhasil, setelah acara selesai banyak jamaah dari kaum bapak-bapak dan juga ibu-ibu yang langsung ingin mendekati Ustadz Hariri agar bisa mencium tangan da’i yang dianggap terkenal di media televise. Ternyata salah satu jamaah dari kaum bapak ada yang tidak sengaja menginjak sandal dari Ustadz Hariri, sehingga menjadi kotor sandal sang da’i ini.

Lalu Ustadz Hariri dengan ekspresi penuh dengan kemarahan serta muka merah memadam langsung memaki-maki orang tua tersebut, yaitu bapak-bapak yang sudah tua umurnya.

Akhiranya sahabat saya, Ustadz Ridi, langsung mendekati Ustadz Hariri dan berkata:“Wahai Ustadz, ternyata akhlak ente lebih buruk dan hina dari orang bodoh.”

Begitulah kisah dari sang da’i yang dianggap terkenal? Ini kisah dapat dipertanggungjawabkan atas kebenarannya, silakan bertemu saya untuk kuajak ke tempat lokasi kejadian.”

Hukum “Pedekate” dengan Facebook dan Alat Komunikasi / sosmed Lainnya

Assalamualaikum wr.wb. Berikut ini adalah salah satu hasil bahtsul masail diniyyah atau pembahasan masalah keagamaan oleh Forum Musyawarah P...